Tamu di Malam Hari

1509 Kata
Malam terasa tidak menyenangkan sekali kali ini, bukan hanya panas tetapi juga dikombinasikan dengan banyak nyamuk lebih dari biasanya. Amanda sudah berulang kali memukul bagian tubuhnya yang disengat makluk kecil bersayap itu namun tak juga habis hadirnya. Gadis bertubuh gempal itu mendengkus kesal karena konsentrasinya dalam mengerjakan PR buyar oleh campur tangan makhluk menyebalkan itu. Akhirnya Amanda mengakhiri apa yang sedang dilakukannya dan berbaring di atas tempat tidur. “Nyamuk menyebalkan sekali kehadiranmu, kayak Kak Arios,” kata gadis bertubuh gempal itu dengan sebuah senyum kecil di wajahnya. “Pagi-pagi sudah ketemu di kantin, menyebalkannya dia sudah mengenali aku sebagai Amanda Maharani Utami yang seperti ini, bukan Miss Perfect yang ada di n****+, aku harap dia tak membenciku karena beberapa kali kubohongi.” Amanda segera mengusir bayangan Arios yang datang bertandang ke benaknya tanpa diminta, pemuda itu mengulurkan tangannya dan mengajaknya pergi dari kamar yang panas dan dipenuhi nyamuk ini.  Sebuah dengkusan kecewa mengikuti apa yang dilakukan oleh gadis bertubuh gempal itu. “Sebuah kombinasi yang luar biasa sekali malam ini, nyamuk, panas, belum mengerjakan PR, belum mengetik n****+, ditambah bayangan Kak Arios yang datang menggoda. Aku harus pergi dari sini, tapi ke mana?  Mungkin pindah ke hati Mantan Ketua OSIS yang tampan itu akan menyenangkan sekali,” kata gadis bertubuh gempal itu dengan sebuah senyum di wajahnya membayangkan tempat baru yang akan disinggahinya. lagi-lagi dia segera mengusir bayangan itu, itu adalah sebuah imajinasi yang tak akan kunjung wujud. Gadis bertubuh gempal itu melihat jam di dinding kamarnya, waktu sudah menunjukkan jam setengah 8, tidak seperti biasanya Bunda tak mengingatkan sholat Isya. Ke mana Bunda? Amanda bangun dari tempat tidurnya dan beranjak hendak mencari  ke mana orang tuanya itu. Sebuah panggilan telepon mengalihkan niat gadis bertubuh gempal itu, tangannya segera meraih benda yang sedang berdering itu di atas tempat tidur. Amanda terkejut saat melihat nama siapa yang terpampang di sana, Kakak jelas pujaannya menelepon malam-malam. Ada apakah? Tidak mungkin sekali dia hanya bilang rindu, terlebih setelah mengetahui tidak ada gadis yang maha perfect seperti yang ada dalam imajinasi pemuda itu setelah bertemu dengan sosok asli penulis n****+ yang disukainya itu. Amanda memandangi layar ponselnya itu, dia ragu untuk menjawab panggilan itu atau tidak. Padahal sebelumya dia selalu antusias jika mendapatkan telepon dari Kakak kelas favoritnya itu, namun malam ini ada keraguan yang menahan tangannya untuk menekan tombol berwarna hijau di ponselnya. “Ada apa ya Kak Arios telepon malam-malam seperti ini? Gua enggak mau menerima panggilan ini jika hanya akan membahas mengapa gua kemarin membohonginya saat datang ke Saung Sehati. Gua enggak mau Kak Arios membuat tambah bad mood. Sudah cukup apa yang gua alami malam ini, panas, serangan nyamuk, belum mengerjakan PR, jangan sampai gua enggak mengetik n****+ gara-gara suasana hati sedang kacau.” Gadis itu berdialog dengan dirinya sendiri. “Tapi sebaiknya gua terima saja, enggak mungkin Kak Arios bela-belain menelepon jika enggak ada yang ingin dia sampaikan. Mungkin apa yang akan disampaikannya penting sekali sehingga tidak bisa dibahas jika hanya menggunakan chat.” Dengan menghempaskan segenap keraguan dalam dadanya akhirnya Amanda memutuskan untuk menerima panggilan telepon Mantan Ketua OSIS itu. “Halo, Kak,” ujar Amanda sesaat panggilannya terhubung dengan Kakak kelas pujaannya. “Assalamualaikum, Manda,” kata suara di ujung sana. Dada gadis bertubuh gempal itu bergetar saat mendengar kalimat salam yang diucapkan oleh Arios, rasanya dia merasakan kenyamanan yang mulai merayapi dengan kehangatan dan kenyamanan setelah beberapa menit sebelumnya bad mood. “Waalaikumsalam, Kak.” “Aku kira kamu sudah tidur, Manda, karena tadi jawab teleponnya lama,” ujar suara di ujung sana dengan sebuah tawa yang menyertainya. “Aku tadi ... sedang mengerjakan PR, Kak, lagi tanggung soalnya,” kata Amanda. Gadis itu menemukan alasan yang tepat dengan tidak berbohong kepada pemuda tampan di ujung sana karena memang tadi dia sedang mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Tetapi sepertinya masih dibilang berbohong karena dia tidak mengerjakan PR tadi melainkan sedang bermalas-malasan di atas tempat tidur sambil meratapi apa yang dialaminya. “Oh, mantap. Aku kira sedang tik-tokan,” “What! Please deh, Kak, aku bukan anak tik-tok.” Intonasi suara gadis bertubuh gempal itu naik mendengar kalimat yang diucapkan oleh Kakak kelasnya di ujung sana, walau dia tahu apa yang diucapkannya tadi hanya sekadar basa-basi pembuka obrolan. Terdengar suara tawa di ujung sana. “Ya Allah tertawanya menggoda sekali," batin gadis bertubuh gempal itu seraya menelan ludahnya berusaha mengendalikan perasaannya. “Santai, Manda. Jangan nge-gas, aku jadi takut ni.” Masih terdengar suara tawa di ujung sana yang menggenapkan kalimat yang diucapkan Arios. “Maaf, Kak. Aku enggak bermaksud melakukannya, refleks. Maaf ya, Kak.”  Amanda menyesali apa yang dilakukannya barusan. Bagaimana jika nanti calon Abi dari anak-anaknya itu marah dan memutuskan untuk bercerai dengannya? Apa sih, Mandaaaaa. Halu terus, nikah saja belum masa mau diceraikan. “No problem for me, jadi kamu belum tidur ni?” tanya Arios. Ada sebuah pertanyaan hadir sekilas di benak gadis bertubuh gempal itu, ada apa Kak Arios ya menayakan sudah tidur atau belum? Jangan-jangan dia akan melamarku malam ini dan langsung menikahiku. Aduh, halu lagi. Please, deh! “Belum, Kak. Ada yang bisa aku bantu?” “Ada, Manda,” kata suara di ujung sana menjeda kalimatnya sejenak. “Aku sedang tersesat ini, bisakah kamu membantuku menunjukkan arahnya harus ke mana?” “Tersesat? Memangnya Kakak di mana dan mau ke mana?” Pertanyaan gadis bertubuh gempal itu diikuti sebuah kerutan dahi tidak mengerti. “Aku sedang mencari rumah seseorang, mau bersilaturahmi tapi enggak tahu letak rumahnya yang mana, aku hanya diberitahukan garis besar lokasi rumahnya saja enggak detil sampai yang mana, hasilnya adalah aku tersesat di kampung orang.” “Memangnya sekarang Kakak ada di mana, Kak? Mungkin bisa aku bantu.” “Aku di depan perumahan Platinum Hill.” “Platinum Hill?” Amanda agak tersentak mendengar nama perumahan yang disebutkan oleh Arios, apa yang dilakukannya di sana? Itu kan perumahan yang dekat ruamhnya. “Kakak mau ke rumah siapa memangnya? Kok ada di sana?” “Aku mencari rumahnya penulis Miss Perfect, Manda. Aku mau main ke rumahnya. Kamu tahu kan di mana tempat tinggalnya?” Apa yang dikatakan oleh Arios itu membuat gadis bertubuh gempal itu kaget, Kak Arios mau main? Mau ngapain? Jangan-jangan mau membahas percakapan percakapan yang tadi sempat terputus di Warung Ibu? Waduh, kalau di rumah susah alasan ada bel masuk seperti yang tadi dilakukannya. “Kamu tahu kan di mana tempat tinggalnya, Manda?” tanya Arios lagi mengulangi lagi kalimat pertanyaannya. “A-Anu, Kak. Mengapa mesti malam-malam mainnya? Mengapa enggak siang saja?” “Sebenarnya sih aku juga enggak niat, tiba-tiba saja ada keinginan ke rumahmu malam ini.” “Besok siang saja ya, Kak. Aku ....” Gadis bertubuh gempal itu berusaha memilah alasan dalam benaknya yang hendak digunakan, namu tidak ada yang cocok. “Yaaah, aku sebenarnya mau malam ini mainnya, Manda, kalau siang suasananya agak berbeda. Kebetulan aku juga sudah membeli sate Mas Imron, rencananya sih mau makan bersama di rumah kamu,” kata Mantan Ketua OSIS itu sambil terdengar menghela napas kecewa. What? Sate Mas Imron? Amanda mendadak bersemangat setelah mendengar Arios mengucapkan  makanan kesukaannya itu. Entah sengaja atau sebuah kebetulan belaka jika Kakak kelas favoritnya itu membeli sate Mas Imron dan ingin makan bersamanya di rumah. Itu adalah dua hal menyenangkan yang datang secara bersamaan, Sate Mas Imron dan Arios sungguh kombinasi yang hebat sekali malam ini. Gua enggak boleh melewatkan kedua hal spesial ini, gumam gadis bertubuh gempal itu. “Bagaimana kalau Kak Arios sebentar saja mainnya? Aku enggak keberatan jika hanya sebentar, soalnya aku enggak biasa tidur larut.” Amanda berusaha mencari alasan yang baik supaya hasratnya akan makanan favoritnya itu tidak terbaca oleh Kakak kelas favoritnya itu. “Oke, kalau begitu. Enggak apa-apa sebentar juga. Minimal malam ini aku tahu di mana rumahmu supaya saat main lagi enggak mesti mencari-cari lagi.” “Oke, Kak. Aku tunggu ya.” “Shareloc dulu dong posisi rumahmu, masa langsung ditunggu saja,” kata Arios yang sepertinya tertawa. “Enggak usah shareloc, Kak. Kalau posisi Kakak memang sudah ada di depan perumahan Platinum Hill, rumahku ada di seberangnya. Kakak hanya perlu masuk melalui jalan kecil yang ada di samping kebun jati, terus ikuti jalan itu sampai mentok rumahku. Di ujung jalan itu hanya ada rumahku saja, enggak ada yang lain, kak.” “Oh, simple sekali ternyata. Tunggu ya. Aku sampai dalam satu menit.” “Oke, Kak. Aku tunggu.”  Sedetik kemudian panggilan telepon itu mati, Amanda segera meletakkan ponselnya di atas tempat tidur. Tiba-tiba gugup datang menyergapnya saat menyadari pakaian mana yang harus dikenakannya untuk menyambut kedatangan Kakak kelas pujaannya itu. Enggak mungkin hanya mengenakan pakaian tidur kayak begini. Gadis itu membuka lemari pakaiannya dan kebingungan karena tidak menemukan pakaian yang bisa dibilang layak itu. “Ke mana pakaian-pakaian gua? Jangan-jangan belum digosok oleh Bunda atau jangan-jangan malah belum dicuci,” gerutu gadis bertubuh gempal itu sambil memilih pakaiannya. Terdengar suara motor berhenti di depan halaman rumahnya, sebuah klakson terdengar membelah kesunyian malam. Amanda menghela napas. “Cepat sekali datangnya sih, Kak. Aku kan belum siap sama sekali.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN