ngan Rayu Suamiku
(Part 7)
Isrina sejenak mematung menatap pintu pagar rumahnya yang tidak begitu tertutup. Hening sekali, suasana sekitar rumah bercat putih dengan halaman rumput yang luas itu seperti tak berpenghuni. Lampu-lampu taman yang terpasang di beberapa sudut halaman membuat mata Isrina bisa memandang sekelliling haman dengan jelas, tak ada aktifitas yang mencolok selain sebuah mobil sedan keluaran terbaru terpakir tidak jauh dari mobil yang biasa dipakai Sagara.
Genap sudah beberapa purnama dia pergi dari rumah ini membawa sepotong hatinya yang terluka. Tak ada perubahan yang berarti, bunga-bunga anggrek kesayangannya tampak dari kejauhan tengah berbunga dengan indahnya, mungkin Bi Asih asisten paruh waktu yang merawatnya saat dia pergi, bisa juga Teh Marni anak Bi Asih yang bekerja di tempat tetangga depan rumah menyempatkan diri merawat bunga-bunga kesayangan Isrina.
Isrina selalu baik pada mereka, wajar jika mereka menggantikan Isrina merawat bunga kesayangannya.
Isrina mengibas dingin yang membelai pipinya, angin di penghujung kemarau ini memang sangat menusuk tulang. Hijab lebarnya meriap indah diterpa angin malam yang mulai menderu.
Entahlah apa pantas Isrina merindu pada rumah yang telah menoreh kenangan manis sekaligus kenangan paling pahit dalam hidupnya. Apakah pantas ia menyisakan sepotong rasa pada rumah yang telah menghadirkan sosok suami penyayang sekaligis suami yang telah tega menukar seluruh cinta sucinya dengan sosok seorang mantan terindah.
Isrina menengadahkan pandangan ke langit di atas kepalanya yang menjelaga, seandainya dia tidak meninggalkan ijazah dan surat penting lainnya di rumah ini, rasanya enggan dia kembali ke rumah ini. Kembali menjejakkan kaki di rumah besar ini, rasanya menatap kembali semua goresan luka dalam hidupnya.
Tapi apa boleh buat, hidup harus terus berputar. Isrina membutuhkan ijazah akademisnya, dia sudah bertekad menutup semua lembaran ceritanya bersama Sagara dan memulai hidup baru dengan menjadi seorang pendidik di kota kelahirannya, kebetulan di sekolah yang tidak begitu jauh dari rumahnya sedang membutuhkan guru, karena ada beberapa bapa dan ibu guru yang sudah sepuh dan memasuki usia pensiun.
Entahlah, Isrina tidak lagi pandai mengeja perasaannya untuk Sagara. Perempuan itu sadar waktunya hanya tinggal menghitung hari, setelah putusan sidang cerai resmi dibacakan, tak ada lagi tempatnya di rumah ini.
Perlahan tangannya membuka pintu gerbang yang setengah terbuka, ada debaran aneh saat matanya semakin awas melihat mobil sedan warna biru metalik yang terpakir tak jauh dari teras rumahnya. Itukan mobilnya, Anggita. Seribu pertanyaan muncul dalam hati.
Ada apa perempuan itu malam-malam bertandang ke sini? Ke rumah yang masih miliknya dan mendekati aki-laki yang masih menjadi suaminya beberapa hari ke depan, sampai sidang ikrar talak dibacakan. Segurat perasan nyeri tiba-tiba menjelaga di hati Isrina.
Perlahan Isrina membuka pintu rumah dengan menggunakan kunci duplikat yang milikinya.
Dadanya berdegub kencang, seribu kenangan indah menari dalam ingatannya, lembaran demi lembaran hidup yang telah dia habiskan bersama laki-laki bernama Sagara lapat menari kembali dalam memori nya.
Ternyata luka tak sanggup menghapus bayangan lelaki yang bertahun sudah menjadi imamnya, pemegang kunci syuranya.
Pahitnya cerita perkawinan, ternyata tak sanggup mengubur segala cerita manisnya bersama laki-laki yang selalu hadir dalam mimpinya yang memeluk sunyi.
Dada Isrina semakin berdebar, samar dia mendengar suara Anggita di ujung sana. Suara manja dan nakal mengusik telinga Isrina, ditingkahi suara jam dalam kesunyian setiap sudut ruangan rumahnya Isrina hapal dari mana arah suara perempuan itu datangnya.
Setengah tidak percaya dan langkah setengah berjinjit dia mendekati arah datangnya suara Anggita.
Ya Allah, apa yang aku dengar? Bisiknya antara tidak percaya dan terluka.
Suara itu datang dari arah kamar tidur utama tempat dia dan suaminya tidur selama ini. d**a Isrina semakin bergemuruh, sekarang dia dengan jelas mendengar dialog dua manusia di dalam kamar yang sedikit terbuka
"Ayolah, Mas... " suara Anggita merajuk. Telinga Isrina panas.
"Tidak, Gita.Tolong keluar dari kamarku," jawab Sagara penuh penekanan.
"Mas... "
"Mas... "
Tuhan, Isrina tidak sanggup lagi menahan gemuruh di dadanya, dengan tangan bergetar Isrina mendorong pintu kamarnya, berdiri dengan bibir dan wajah yang membesi menahan perasaan yang berkecamuk dalam dadanya.
Cahaya lampu dari ruang tengah yang memantul ke arah kamar Sagara, membuat Siluet tubuhnya dalam balutan hijab syari terlihat syahdu.
Mata Isrina basah, seulas senyum pahit menyungging di bibirnya yang bergetar.
"Mas.....? "
****
Aku menahan nafas, menyadari Anggita menyusulku ke kamar utama, padahal aku pamit sebentar untuk mematikan laptop yang lupa kumatikan saat tadi mengecek laporan perusahaan. Entah apa yang diinginkan perempuan itu, setelah penolakanku di malam kepulangan dari rumah Isrina beberapa waktu lalu, Anggita sepertinya belum menyerah untuk merayuku.
"Ayolah, Mas... "
Aku terus menggeleng. Aku bukan laki-laki laki sempurna, tapi aku tidak ingin menyentuh perempuan yang bukan istriku.
Wajah jelita Anggita terus menggoda, dengan tatapan nakal dan merayu. Tuhan, kuatkan imanku.
Anggita terus mendesakku sampai tubuhku menempel ke dinding kamar, berusaha melingkarkan lengannya di leherku. Saking dekatnya perempuan itu kini, aku bahkan bisa mencium wangi aroma tubuh dan rambutnya.
Aku berusaha menolak dan berusaha mengurai tangan Anggita yang memeluk dan menyandarkan kepalanya di dadaku, ketika tiba-tiba pintu terbuka, laksana mimpi, aku menangkap siluet tubuh Isrina yang berdiri tegak di ambang pintu.
Wajah sederhananya terlihat sendu menahan tangis, bola mata bening dan basah itu sukses membuat dadaku berdegup kencang.
Duhai, rinduku.. Kau hadir dalam situasi yang tepat.
Aku segera menggeser menjauhi tubuh Anggita, yang reflek menoleh ke arah datang suara deritan dari arah pintu. Aku melihat Wajah Anggita sejenak kaget dengan hadirnya Isrina yang tiba-tiba. Tapi jangan panggil Anggita, kalau tidak segera menyadari situasi.
Seringai senyum manis mengejek segera menghiasi bibir manisnya, memutar arah tubuhnya, menantang kehadiran Isrina dengan kepala mendongak, sebuah keangkuhan yang sempurna dari perempuan yang dengan tidak tahu malu merayu suami orang lain di kamar tidurnya.
"Angin apakah yang membawamu kemari, Rin? Atau jangan-jangan sikapmu yang tulus waktu itu memang pura-pura? Sehingga dengan tidak tahu malu kau masih berusaha hadir di kehidupanku dan Sagara," kata Anggita terkekeh, membuat Isrina sejenak tercenung.
Aku menahan napas, menyaksikan Isrina tak segera membalas ucapan Anggita meski sejurus kemudian wajah alaminya mengulas senyuman. Wajahnya memerah dengan sedikit tengadah dia menatap Anggita, aku terpesona bahasa tubuhnya mengatakan padaku Isrina luar biasa.
Isrina mendekati Anggita dengan langkah gontai, diraihnya ujung baju Anggita dengan mata yang menatap tajam. Dipegangnya erat-erat, seperti membuat penekanan.
"Dengarkan aku, Anggita," ucapnya sejurus kemudian.
"Aku memberimu kesempatan untuk menjadi perempuan yang seutuhnya, aku pergi dari kehidupan suamiku dan menyingkir baik-baik. Aku juga memberimu waktu untuk meraih cinta suamiku dengan ikatan yang mulia, dengan cara ini kamu membalas kebaikanku?"
Suara Isrina bergetar menahan isak.
"Merayu suamiku, di kamarku?"
"Aku memberikan Sagaraku tanpa syarat dan berharap kau menjadi wanita mulia yang pandai menjaga diri dan kehormatan," bisik Isrina mulai tersendat.
"Aku yang mengorbankan perasaan dan cintaku, agar kau bisa bersungguh-sungguh mempersiapkan ikatan perkawinan dan menjalani hidup berumah tangga dengan penuh berkah. Tapi seperti ini balasan mu Anggita? " Suara Isrina mengawang di keheningan, menyiratkan kekecewaan yang mendalam, Anggita mematung wajahnya memerah.
"Kau merayu suamiku dengan cara yang nista." Isrina mendesis kecewa.
Aku menelan ludah.
"Tidak bisakah kau menunggu ijab kabulmu untuk menyerahkan diri pada laki-laki yang kau cintai?"
"Tidak bisakah satu kali dalam hidupku, kau mengambil yang kupunya dengan cara yang mulia? "
"Aku sahabatmu, yang akan memberikan apapun yg kupunya agar kau bahagia. kau bisa, mengambil apapun yang kumilki tapi tidak harga diriku,"
Isrina memandang jendela kamar yang tertutup tirai biru warna kesukaannya, dengan senyuman sendu dia mendekati Anggita.
"Pergi dari rumahku, jangan kau coba ajak suamiku untuk berbuat dosa."
Isrina mengurai sesak dadanya dengan menghela nafas dalam.
"Aku mohon Anggita, sekali dalam hidupku pandang aku sebagai sahabatmu, "
Anggita bangkit, membetulkan bajunya yang sedikit tidak karuan. Dia tidak terbiasa ditentang, dengan wajah yang penuh rasa amarah dia mulai mensejajarkan dirinya dengan Isrina.
"Dengar Isrina, aku tidak terbiasa kalah darimu. Akan kubuat kau menyesal telah menghinaku."
Suara Anggita tajam, seringai mulutnya membuatku menelan ludah, tidak tahu malu sekali perempuan ini pikirku.
"Anggita, aku hanya mengingatkanmu."
"Tidak ada yang perlu kau ingatkan, kami saling mencinta. "
Anggita membalas dengan pongah. Isrina menggeleng, memilin jemarinya, entah gusar entah kecewa.
"Aku selalu memandangmu sebagai sahabat, Anggita. Aku selalu bahagia diatas kebahagianmu, rupanya aku salah. Aku salah karena telah memeluk perempuan yang sejatinya hanya seonggok sampah dalam hidupku."
"Isrina? " Anggita berteriak.
"Mas, dari awal aku sadar diri, dari awal aku tahu kau tidak pernah mencintaiku, tapi mas... Bisakah sekali saja di ujung pernikahan kita kau perlakukan aku sebagai istri," kata isrina pelan. Kali ini dia menatapku.
"Bisakah satu kali dalam hidupmu, kau raba hatiku, kau dengar deburan perasaanku. Aku tidak memintamu untuk mencintaiku, aku hanya minta sekali dalam hidupmu tolong hargai aku yang masih istrimu. Kamu boleh menghianatiku, tapi bukan di rumah ini, bukan di kamarku."
Isrina tersedu.
Aku terpaku, menatap sudut mata perempuanyang diam-diam mengisi setiap mimpi malamku.
"Aku bisa melakukan apapun yang kumau tanpa kau tekan, lagi pula sidang pembacaan ikrar talakmu tinggal menunggu hari." Anggita mendengus.
" Apa maksudmu, Gita?"
"Jangan ikut campur pada kehidupanku, karena sejatinya kau adalah perempuan yang terbuang," desis Anggita.
Aku betul-betul menahan napas, bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta pada perempuan yang sedikitpun tidak memiliki nurani?
"Gita, aku bisa membuat langitmu tak biru lagi."
"Aku juga mampu membuat konfrensi pers mengundang media dan kukatakan kalau foto model sekelasmu merayu pria beristri, didepan istri syahnya. Tapi aku tidak mau melakukannya, bagaimanapun kau adalah calon ibu dari laki-laki yang kucintai sepenuh hati,"ucap Isrina parau.
Deg.
Huh, Anggita mendengus keras.
"Aku masih perempuan yang menyayangimu dengan tulus, Gita. Jadi kumohon, pergilah dari rumahku, jangan paksa aku membuat harimu tak lagi mudah."
Anggita mendelik, sekuat tenaga dia berusaha menahan tangannya yang ingin menampar mulut Isrina.
Isrina tersenyum getir, membimbing tubuh Anggita keluar kamar dan mendudukannya di atas kursi di ruang tengah.
Sekarang dia memandangku dengan tatapan memohon.
"Mas, perempuan itu akan menjadi milikmu, ibu dari anak-anakmu, dari itu ajarkan dia menjadi wanita yang berharga. "
Belum sempat aku menjawab, Isrina sudah bangkit dan bersiap pergi, seulas duka menggayut di kedua kelopak matanya.
"Mau kemana, Rin? "
"Aku mau pergi Mas, tolong jangan biarkan Anggita menginap di sini."
Ingin sekali aku melarang Isrina pergi, tapi entah mengapa mulutku terkunci.
Aku mengikuti langkah lebar Isrina sampai ke teras depan, naluriku melarang dan menghawatirkan Isrina, pergi semalam ini.
"Kenapa Mas, mengikutiku? " tanya Isrina, tangannya mendekap sebuah map berisi ijazah dan surat penting miliknya, yang sempat dia ambil waktu akan keluar kamar.
"Kamu pergi di malam seperti ini, Rin? " tanyaku gelisah, menatap jalanan yang mulai sepi.
"Kamu perduli padaku? Sejak kapan? "
Bahkan lebih dari itu bisikku dalam hati.
"Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu, Rin. Biar aku mengantarkanmu... Kemana kau akan pergi? "
Entah kekuatan dari mana, aku sudah memegang tangan dingin Isrina.
"Tidak usah Mas, jangan buat calon mantanmu ini semakin susah melupakanmu."
Isrina menepis tanganku. Kata-katanya selalu berhasil membuat dadaku berdesir, membuat luka yang tidak berdarah.
"Isrina bersamaku."
Hah, aku terkejut. Sesosok tubuh tinggi kukuh dengan tatapan tajam muncul dari pinggir pilar rumahku.
"Mas, Cemburu? "
Tanya Isrina mengejutkan mungkin karena melihat ekspresi wajahku yang membeku. Aku menoleh sekejap ke arah isrina, pertanyaannya yangdi luar dugaan membuatku sedikit gelagapan.
"Belajarlah cemburu padaku mas, agar dengan siapapun kelak kau menikah, kau mengerti arti sebuah kekecewaan dan sakit hati karena penghianatan" Suara Isrina dingin, membuat mulutku kelu.
Isrina menggamit tangan sosok kukuh yang datang bersamanya, tanpa menoleh kembali, meski hanya untuk mastikan ekspresi wajahku.
Riap hijabnya yang tertiup angin malam membuaku hanya mampu tertegun menatap kepergian Isrina dan menghilang di kegelapan. Dadaku menderu. Aku cemburu.