Buat Reader Tersayang, yang sudah ngasih love dan komen, Terimakasih, ya. Semoga kebaikan anda semua di balas oleh Allah SWT. Aamiin.
Aku bergegas masuk ke dalam rumah yang hening, pesan w******p Isrina tadi siang seolah kidung syurga yang memanggilku untuk sesegera mungkin pulang ke rumah.
[Mas, aku mau ke rumah untuk mengambil barang- barangku nanti sore.] Isi pesannya, singkat.
[Bersama, siapa?] tanyaku, mengingatkanku pada laki-laki kukuh yang kemarin menunggu di samping pilar rumahku.
[Mang Habibi]
Jawabnya pendek. Alisku berkerut, tak ada rasa apa-apa di balik jawaban Isrina yang pendek. Tulisannya datar saat menyebut nama Habibi.
[Baiklah, Mas tunggu]
Pesanku terkirim, centang biru dua menandakan sudah terbaca. Kutunggu beberapa saat pesan balasan, tidak ada. Lagipula mengapa aku masih menunggu pesan terbalas, pesanku sudah jelas maksud dan tujuannya.
Aku merasa tiba-tiba menjadi anak baru gede yang lagi jatuh cinta, sepanjang hari menunggu dan berkirim pesan. Tapi sudahlah, yang penting aku tahu Isrina mau ke rumah, tak penting dia mau ngapain yang penting aku bisa merasakan kembali kehadirannya di rumahku, walau cuma sesaat. Duh.
Beberapa lampu sudah dinyalakan Bi Asih sebelum pulang. Aku betul-betul menunggu kehadiran Isrina
malam ini. Aku harus tahu siapa sosok laki-laki kukuh dengan sorot mata hangat mirip punya Isrina itu? Aku juga penasaran, ketika Isrinaku berlalu dengan cepat di gelapnya malam tanpa sungkan memegangi lengan kukuh disampingnya yang berjalan cepat seolah mau membawa Isrinaku pergi.
Hatiku berdenyut, mengapa aku harus merana sewaktu bibir Isrina tersenyum lepas, sewaktu tangan laki-laki yang menunggunya di luar mengacak hijab Isrina, membuat bola mata isrina yang berkabut perlahan berbinar.
Seharusnya aku yang menghapus air mata di manik mata perempuan itu, memberikan dadaku untuk berlabuh, atau cuma menjelaskan bahwa apa yang disaksikan antara diriku dan Anggita hanya sebuah kesalah fahaman. Mengapa aku selalu saja membisu tiap melihat mata perempuan itu menjelaga sendu?
Apa egoku masih terlalu tinggi untuk mengakui hatiku yang luruh dan mulai selalu merindukannya?
Kalau ada laki-laki paling bodoh di dunia, akulah salah satunya.
"Gara, tolong undang sahabat-sahabat Mama di pesta pernikahanmu dengan Anggita, Mama ingin mereka tahu sehebat apa mantu Mama yang baru."
Aku menghela nafas berat, Mama sangat antusias dengan pernikahan keduaku. Dia menganggap Anggita bidadari yang dikirim kembali dalam hidupku. Dengan karir sebagai foto model cukup terkenal, dan keluwesannya mendekati keluargaku, Anggita secepat kilat mampu mencuri hati hampir seluruh keluargaku,
Mama dan kakak perempuanku apalagi, kecuali papa dan kakak laki-lakiku yang terlihat dingin meski tidak secara langsung menolak.
"Masa lalu tak selamanya semanis madu, Gara. Mungkin secara fisik dia lebih sempurna dari istrimu, tapi itu bukan jaminan kamu akan bahagia," Mas Fadil mengingatkanku waktu aku memperkenalkan Anggita pada keluarga besarku di kampung hampir tujuh bulan yang lalu. Sementara Mas Fadil yang sedikit tegas, papa hanya terdiam tak banyak komentar, tapi melihat raut mukanya sepertinya papa tidak begitu restu, apalagi melihat penampilan Anggita yang hanya mengenakan rok bunga sebetis dan blouse hitam sesiku tanpa hijab, ditambah rambut panjang yang dicat merah yang dibiarkannya memburai sampai ke punggung.
Tapi sudahlah, toh Mama antusias, ketidak sukaannya pada kehadiran Isrina selama ini terbayar lunas. Tak heran Mama selalu punya amunisi buat mendukung hubunganku dengan Anggita dan menyuruh segera menceraikan Isrina.
Isrina bukan selera Mama, perempuan berparas sederhana dan berhijab itu dianggap tak pantas menjadi mantu seorang pengusaha kayu yang sukses di kotanya.
Tiga tahun Isrina berjuang menghadapi bekunya sikap Mama, tiga tahun dia menyimpan diam-diam air matanya setiap Mama menelponnya atau sesekali berkunjung ke rumah ini. Ada saja komentar pedas dan tajam buat Isrina terlebih-lebih tiga tahun menikah belum ada tanda Isrina hamil, lengkap sudah ketidak sukaan Mama, tidak pake tedeng aling-aling.
Aku menghela napas berat, membayangkan sikap Mama pada Isrina. Tapi tidak dengan papa dan Mas Fadil, dimanapaun dan kapanku mereka bertemu Isrina, mereka terlihat sangat cocok, apalagi papa dengan tidak malu-malu menyebut Isrina mantu solehah sementaraMas Fadil meski tidak banyak cakap dia terlihat sangat mendukung pernikahanku dengan Isrina.
Beberapa kali keluarga kecil Mas Fadhil mampir kerumahku saat berkunjung ke mesjid Kubah Mas yang letaknya tidak begitu jauh dari rumahku, cukup setengah jam perjalanan kurang lebih, embak Aletta istrinya dan dua anaknya terlihat nyaman-nyaman saja bahkan mereka terlihat begitu kompak bermain di samping rumahku yang luas dan banyak ditumbuhi bunga kesukaan Isrina. Afgan bocah lima tahun, anak bontot Mas Fadil bahkan enggan pulang dan menempel terus dengan Isrina.
Saking lengketnya dengan Isrina, bocah berwajah lucu dengan tubuh bongsor itu minta nginep sama Bibi Isrina.
Isrina memang lembut, sabar dan penyayang. Betul-betul tipe ibu yang sempurna.
Aku menatap deretan guci di pojok ruangan, menghapus bayangan Isrina dalam memoriku, berbalik dengan kakak laki-lakiku dan papa Yang menyayangi Isrina dengan tulus, Mama membenci Isrina. Tiga tahun sudah Isrina berjuang sendirian, melawan penolakan Mama dan embak Mella.
Mungkin, semua itu menjadi salah satu alasan dia tidak mau berjuang dan mempertahankan rumah tangga bersamaku, memilih menepi, melanjutkan hidupnya sendirian di luar sana, atau karena selama menikah, aku tidak betul-betul mencintainya?
"Tak ada yang harus aku perjuangkan Mas, hatimu dan juga perempuan yang melahirkanmu bukan untuku."
"Sudah saatnya aku pergi dari kehidupanmu Mas, sudah saatnya Mama bahagia dengan mantu pilihannya."
Kata-katanya kala itu, sesuatu yang terdengar biasa waktu itu, tapi tiba-tiba terasa menyesakkan saat sekarang dimana hampir tiap malam aku tersiksa rindu.
"Mas,"
Suara lembut yang sangat kukenal memanggilku dari arah kamar utama.
Aku terkejut, tanpa aku sadari Isrina keluar dari kamarku menyeret sebuah koper besar.
"Kapan kamu datang, Rin?" tanyaku keheranan, melihat Isrina sepertinya sudah berhasil membereskan benda-benda miliknya.
"Tadi sore waktu mas masih di kantor," jawabnya pendek menyeret kopernya ke ruang tengah, menyenderkannya di sisi sofa. Aku melirik sekilas, koper warna maroon itu, hatiku rasanya sepi. Aku masih ingat tiga tahun lalu koper itu dibawa Isrina kerumah ini dan sekarang genap tiga tahun koper itu juga yang menemani kepergiannya dari rumahku.
"Mang Habibi nanti malam menjemputku," katanya tersenyum melihatku yang masih menilik-nilik keberadaannya di rumahku. Sepertinya aku terlalu banyak melamun sehingga aku tidak menyadari kehadiran Isrina di rumah.
Aku tidak segera menjawab kalimat Isrina, sejenak menghembuskan nafas dengan keras, berusaha menghapus bayangan Mama.
Tak sengaja mataku menyapu ke teras samping di mana Isrina sering menghabiskan waktunya untuk merawat bunga-bunga yang ditanamnya dalam pot.
Aku melihat sebetulnya Isrina tidak begitu hobby mengoleksi bunga, dia merawat bunga hanya biar tidak bosan menungguku pulang kerja. Sampai disini dadaku berdegup nyeri, betapa jarangnya aku menyempatkan diri menyediakan waktu bersama selama ini. Aku lebih suka menghabiskan waktu di kantor dan pulang menjelang malam, dan aku sering mendapati Isrina ketiduran di sofa karena lelah menunggu.
Entahlah, dia tidak pernah bertanya ataupun marah melihatku yang selalu pulang telat, tanpa banyak protes dengan cekatan dia akan melayani semua keperluanku sepulang kerja.
Kini melihat perempuan yang kunikahi dengan alasan hanya sebuah pelarian dengan sebuah koper berisi semua miliknya, yang siap dibawanya pergi, hatiku rasanya berdebar tak karuan, ada hampa yang tiba-tiba memenuhi relung hatiku.
"Rin, siapa laki-laki yang akan menjemputmu? "
aku merebahkan tubuh di kursi, berharap Isrina ikut duduk di sisiku tapi dia hanya mematung memandang tarikan bibirku dengan canggung. Ampun, perceraian masih beberapa hari lagi tapi Isrina sudah betul-betul menganggapku orang asing.
"Ayolah Rin, duduk dulu di sini. Kamu tidak pegel berdiri seperti itu?"
"Mas, foto-foto pernikahan kita belum sempat aku turunkan."
Bukan mengikuti permintaanku untuk duduk, Isrina malah celingukan, mencari setiap bilah dinding yang masih ada foto dirinya.
"Angita pasti tidak suka ada fotoku di sini, aku turunkan dulu semuanya."
"Rin,"
Panggilku, membuat Isrina menautkan alianya.
"Bisakah kau duduk sebentar di sisiku, dan menjawab pertanyaanku, siapa laki-laki yang kemarin menjemputmu? " Aku bersikukuh dengan pertanyaanku, aku ingin tahu siapa laki - laki yang telah berani menyentuh istriku.
What? Aku cemburu?
"Sepertinya tidak perlu di jawab, siapapun dia bukan hal yang penting lagi untuk di jawab," tukas Isrina pelan.
"Bukankah, dari sejak menikah tidak ada hal penting dari hidupku yang ingin kau ketahui, apa kegiatanku selama kau pergi, siapa temanku semenjak ikut bersamamu ke sini, apa perasaanku setiap kau bercerita tentang Anggita dengan mata berbinar."
Aku melengos, yang dikatakan Isrina benar. Mengapa aku tiba-tiba perduli? Toh perkawinan ini tinggal menghitung hari.
"Dengan siapapun aku pergi, bukan urusanmu," katanya bersiap pergi untuk menyusuri barangnya yang tersisa.
"Kalau aku perduli? Bisa saja dia bukan mahrammu? Kok, beraninya memegang tanganmu."
Mukaku memerah waktu mengucapkan kalimat ini, aku tidak main-main dengan hatiku, aku tidak rela ada yang menyentuh perempuan di depanku.
Isrina sejenak tercenung, dia, seperti asing dengan sikap perduliku. Sikap yang begitu mahal yang bahkan belum pernah dia dapatkan selama hidup bersamaku.
Aku memang baik, aku memang selalu menyediakan bahu dan d**a ini untuk bersandar tapi itu sebatas kewajiban sebagai suami, bukan sebagai kekasih.
Sikap kepo dan tulus seperti saat ini, begitu luar biasa.
"Baiklah, Mas," katanya sejurus kemudian, membetulkan letak hijabnya, menghela napas dalam-dalam dan membuangnya pelan.
"Aku tidak tahu apakah ini penting bagi kita atau tidak, ini hanya sebatas agar tidak ada fitnah diantara kita. Mas harus tahu bahwa laki-laki yang dua hari ini membantuku mengangkut barangku dari rumah ini adalah adik emakku yang paling bontot, jelas kami mahram. "
"Adik emak? Kok aku tidak tahu? "
Entah mengapa aku merasakan hatiku berdesir bahagia, serasa ada puluhan galon air yang menyiram hatiku. Isrina pernah bercerita kalau emak atau ibu mertuaku adalah kakak paling tua dari sembilan bersaudara, pantas kalau usianya, dengan adik bontotnya terpaut jauh.
"Sewaktu kita menikah dia masih belajar di Mesir dan baru kembali dua bulan yang lalu. Dia ditugaskan emak dan kang harun mengawalku disini, sampai sidang selesai dan membawaku kembali. "
"Body guard ceritanya? "
Aku tersenyum. Entahlah mendengar laki-laki yang bikin aku cemburu dua hari ini adalah paman Isrina selera humorku tiba-tiba saja keluar, Isrina mendelik.
"Memang kamu pikir dia siapa? Selingkuhanku? "
Aku terkekeh. Senang sekali melihat paras lembut Isrina jengkel.
"Aku tidak semurah itu, Mas. Aku bersaksi demi Allah, hanya dirimu yang pernah menyentuhku." Katanya judes tapi malah sukses membuat dadaku berdebar. Ada rasa bangga karena menjadi satu-satunya laki-laki yang pernah menyentuhnya.
Hati dan jiwaku berdesir indah.
Kulirik bayangan tubuh Isrina yang masih berdiri. Tuhan, ingin sekali aku memeluk dan meletakan wajah teduhnya, dalam dekapanku.