Senja sudah pudar, semburat sinarnya sudah hampir musnah. Dalam siraman cahaya lampu jalan kota Garut, yang mulai dinyalakan, Anggita menangkap deretan show room kerajinan kulit yang berjejer. sayang ini sudah terlalu malam, sebagian besar Show room itu sudah tutup, membuat Anggita tidak bisa merajuk pada laki-laki di sisinya untuk belanja dan memuaskan keinginannya mengoleksi barang-barang yang disukainya seperti biasa.
Konon, kualitas kerajinan kulit dari kota ini, sudah terkenal. Membuat Anggita ingin memborong tas, sandal dan jaket kulit untuk dirinya dan Sagara, pasti keren.
Gara-gara kelamaan bicara sama Isrina, si wanita lugu yang jelek itu, huh. Anggita mengumpat dalam hati.
Anggita menyibak rambutnya yang sedikit meriap di terpa angin malam kota Garut yang dingin. Seharusnya Sagara melajukan mobilnya tidak sekencang ini. Anggita ingin Sagara menjalankan mobilnya dengan pelan, meski suasana kota Garut di malam hari bukan hal yang aneh, karena dulu beberapa tahun yang lalu kota inilah tempat paling menyenangkan untuk mengisi sebagian liburan semesternya yang panjang bersama Isrina, tetapi bisa kembali lagi ke kota ini dengan laki-laki yang dicintainya sungguh luar biasa.
"Mas, mengapa diam saja?" Anggita melirik ke arah Sagara yang dari tadi dirasanya hanya diam.
"Ayo mas, kita mampir ke area wisata pemandian Ci Panas, kita bisa berendam barang dua jam agar tubuh kita nyaman kembali," kata Anggita mencoba memberi usul. Sagara hanya menggeleng pelan, wajah tampannya tetap membeku menatap jalanan yang dilalui.
"Kalau begitu, sebaiknya kita menepi sejenak, aku ingin kita bicara," pinta Anggita, suaranya menyelinap di tengah deru suara mobil.
"Mas? "
"Hmm... "
"Cukup, Mas Gara. Ada apa, denganmu? Akhir-akhir ini aku melihatmu berubah."
Sagara hanya menoleh sebentar, tapi tidak urung menepikan mobilnya di alun-alun kecamatan yang kebetulan dilewatinya dan mengajak Anggita turun.
Namanya Alun-alun Tarogong, beberapa kilo meter sebelah utara dari pusat kota Garut. Meski sedikit sepi di malam hari, beberapa gerobak penjual makanan goreng-gorengan masih nampak berjejer di pinggir jalan raya, ada juga penjual nasi goreng dan beberapa gerobak penjual bakso.
Sesekali bus yang menuju arah Bandung dan Jakarta atau sebaliknya, melintasi jalanan yang mulai sepi. Cahaya lampu jalanan yang keemasan dan rimbunnya pohonan membuat suasana jadi sedikit romantis.
"Ayo kita bicara di sini." Sagara mengajak Anggita duduk di bangku di sebuah gerobak makanan yang posisinya paling nyaman dan agak jauh dari jalan raya. Meski dengan alis sedikit bertaut, perempuan modis itu terpaksa menurut.
Sejujurnya dia tidak terbiasa jajan di pinggir jalan seperti ini, dia bukan Isrina perempuan yang tidak mempunyai selera sedikitpun dan tidak pernah pusing, jajan atau cuma nongkrong di manapun.
"Apa yang mau kau tanyakan, Gita?" tanya sagara memulai, setelah memesan dua mangkok bakso.
"Aku tidak makan di tempat seperti ini, Mas." Anggita menolak, dan meminta sagara meralat pesanannya.
Sagara hanya tersenyum.
"Baksonya satu saja, Mang."
Sagara meralat pesanannya, Yang dijawab dengan anggukan ramah si emang bakso. Anggita mendekapkan tangan di d**a, udara dingin Garut memang luar biasa nyaris menusuk sampai ketulang, apalagi Anggita tidak memakai baju hangat dan hanya memakai blouse peach bermotif bunga-bunga dari bahan satin yang tipis, dipadu dengan setelan jeans biru muda.
"Aku merasa akhir-akhir kamu berubah, Mas. Aku merasa, setelah Isrina pergi, perlahan mulai ada jarak diantara kita. Ada apa, Mas?" tanya Anggita memecah kebisuan.
Dia harus tahu alasan dibalik sikap Sagara yang berubah dingin. Apa mungkin laki-laki itu menyesal karena telah memilihnya? Laki-laki bodoh.
Apa betul, Anggita merasa tidak habis pikir, mana mungkin Sagara menyesali pilihannya. Memilih dirinya yang jelita seharusnya menjadi sebuah anugerah, bukan malah merindukan Isrina, perempuan yang melukis alis dan memakai bulu mata palsu saja tidak becus.
"Jawab, Mas. Aku tidak biasa diperlakukan seperti ini. Aku tidak terbiasa menjalani hubungan yang meragukan, bahkan aku harus kehilangan harga diriku menyusulmu di rumah perempuan itu."
Anggita mendengus. Membayangkan wajah Isrina yang tadi sore menatapnya dengan tegar, membuatnya gusar. Ada apa dengan perempuan itu? Mengapa sikapnya begitu tenang dan senyumnya demikian tulus?
Anggita mendengus keras, tak ada yang salah dengan perempuan itu. satu-satunya yang salah dengan Isrina, dia mencintai laki -laki yang sama. Atau satu-satunya kesalahan Isrina karena akhir-akhir ini Sagara selalu menyebut namanya. Menyebalkan.
"Sebelum menjawab aku bertanya, sudah sejauh mana persiapan pernikahan kita?" tanya, Sagara sejurus kemudian.
"Hampir selesai semuanya, undangan sudah aku sebar terutama untuk orang terdekat."
Hening, Sagara tidak segera menjawab. Tarikan napasnya berat, sepertinya dia tidak suka mendengar jawaban perempuan di sisinya itu.
"Mengapa, Mas? Aku melihat kamu tidak antusias dengan persiapan pernikahan kita akhir-akhir ini." tanya Anggita gelisah.
"Maafkan aku, Gita. Sepertinya..., Aku tidak bisa melupakan Isrina."
"Apa, Mas? "tanya Anggita tidak percaya, kerongkongannya mendadak terasa kering.
"Aku tidak mampu menghapus bayangan Isrina dalam hatiku, Gita. Aku...."
"Cukup, Mas," teriak angita, matanya tak terasa memerah.
"Lalu apa artinya cinta kita, kenangan kita dan semua perjuangan yang telah kita lakukan untuk hubungan ini?"
Anggita mulai tersedu. Selalu begitu, setiap bertengkar. Perempuan cantik itu selalu punya cadangan air mata yang membuat Sagara menyerah.
Sagara hanya terdiam, entah mengapa kali ini dia tidak bersemangat untuk terus menjadi pelindung dan memberikan bahunya untuk bersandar.
Bahkan hanya untuk mengusap air mata Anggitapun, rasanya enggan.
"Mari kita pulang, Gita. Sepertinya aku butuh waktu untuk sepenuhnya mencintaimu seperti dulu."
"Mas? "
"Iya, Gita. Aku ingin, engkau sedikit berubah, agar aku tidak menyesal telah memilihmu."
Anggita menelan ludah. Ada sembilu yang menoreh kalbunya. Laki-laki itu sudah membuat penawaran dan Anggita tidak suka. Dia sudah terbiasa diperlakukan dan dipuja seperti ratu, menyuruhnya berubah sama artinya merampas kebahagiannya atau bahkan menghinanya. Dan semua itu terjadi hanya karena perempuan yang bernama, Isrina.
Setelah membayar pesanannya, tanpa basa-basi Sagara bangkit berjalan menuju arah mobil yang diparkir tidak jauh.
Langit Garut bertabur bintang dan cahaya bulan penuh yang eksotis. Dalam belaian angin gunung yang dingin, Anggita meresapi hatinya yang mulai digayuti rasa cemburu.
Awas kau Isrina, aku tidak terbiasa kalah darimu. Akan kubuktikan, aku adalah perempuan yang paling sempurna dulu, kini dan nanti. Ancam Anggita dalam hati.
Mata Anggita sejurus menatap langit yang indah. Isrina, takkan kubiarkan Sagara kembali padamu, kembali bisiknya dalam hati.
Anggita menyibak rambut yang menutupi sebagian wajahnya, Selarik senyum jahat, menyembul dari bibir perempuan cantik berwajah khas oriental tersebut.
Tak butuh waktu sampai lima jam untuk menempuh jarak Garut-Bogor, dan selama perjalanan hampir tidak ada satupun obrolan berarti. Sagara tak ubahnya laki-laki berhati kulkas, dingin membatu.
"Ayolah, Mas masuk dulu yuk," rajuk Anggita, sesaat kakinya menjejak teras rumahnya yang megah dan luas. Lampu-lampu taman yang bersinar temaram membuat siluet tubuh perempuan dengan rambut merah memburay itu sempurna.
"Ayolah sayang, aku ingin sekali saja kau menghabiskan malam bersamaku." Bisik Anggita, suaranya terdengar basah. Kerling matanya yang manja membuat Sagara tertegun.
"Tidak Gita, aku pulang saja," suara Sagara terdengar kering. Kakinya mundur kebelakang, mencari pegangan pintu mobil.
"Kamu jangan munafik, ketika seribu laki-laki rela berlutut di kakiku untuk mengemis cinta, penolakanmu sungguh tidak masuk akal."
Mata Anggita mengancam, dia tidak terbiasa menerima penolakan.
"Sebentar lagi kita menikah, apa yang menghalangimu untuk menyentuhku? " suara Anggita merayu, membuat tubuh Sagara terjajar ke sandaran mobil. Laki-laki itu berusaha menghindar, saat Anggita meraih pinggangnya.
"Maafkan aku Anggita, kita tidak bisa melakukan hal seperti ini."
"Jangan munafik, jangan membuatku terhina karena merasa tidak memiliki s*x appeal yang bisa membuatmu luluh dalam pelukanku."
Sagara termenung, matanya nanar menatap bayangan perempuan yang selama ini hadir dalam setiap sujudnya, calon ibu anak-anaknya.
Rendah sekali, cara dia menggapai hatiku. Bisiknya kecewa.
"Tunggu, Gita."
Susah payah Sagara melepaskan pelukan Anggita, mengurai lingkaran lengan perempuan itu di pinggangnya. Terlihat Anggita begitu kecewa. Sagara menghembuskan napasnya dengan kasar ke udara, entah mengapa bayangan Isrina terus menari dalam pikirannya.
"Tatap mataku Gita, bertahun kita bersama seharusnya kamu mengerti siapa laki-laki yang berdiri dihadapanmu." suara sagara dingin.
Sunyi.
"Aku yang selalu ingin memilikimu, mengenangmu dan mencintaimu tanpa syarat, tapi aku juga satu-satunya laki-laki yang tidak pernah berusaha menyentuhmu, "
Sagara lagi-lagi menghembuskan napas keras. Sementara wajah jelita Anggita memerah karena murka.
"Aku memang mencintaimu pada pandangan pertama, tapi aku tidak bisa menyentuh dan memilikimu dengan cara yang hina, lepaskan aku. "
"Siapa yang mengajarkanmu untuk berubah jadi laki-laki munafik? "tanya Anggita, suaranya meninggi dengan bola mata yang setengah basah.
"Isrina....Gita, dia yang mengajarkanku bagaimana cara aku mencintai perempuan dengan mulia, Aku bahkan tidak pernah menyentuh tangannya sekalipun, sebelum ijab kabul," jawab sagara, suaranya bergetar menahan deburan jiwanya? mengenang seorang Isrina adalah episode terindah dalam hidupnya.
Plak !!
Tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipi Sagara.
Sagara meringis, meraba sudut bibirnya yang perih.Tangan Anggita masih mengambang di udara. Wajah perempuan itu membesi menahan Amarah.
"Cukup sudah kau mengatakan secara tidak langsung kalau aku wanita murah. Pergilah, aku tidak suka kemunafikanmu," desis Anggita, lehernya memutar menunjuk jalanan yang mulai lengang.
Sagara hanya terdiam, tidak menjawab, dibiarkannya Anggia melangkah gusar ke arah pintu rumahnya dan menghilang dengan menyisakan debuman suara pintu yang dibanting.
Sagara, menghela napas. Untuk sesaat menekuri ujung sepatunya dan rumput yang terinjak dengan hati tidak karuan. Menyesali pilihan hidupnya, menyesali benang yang telah di rajutnya dengan Anggita, menyesali cintanya pada imitasi yang disangkanya logam mulia.
Untuk beberapa saat Sagara terpekur mencoba mendengarkan bisik hatinya yang meratapi pilihannya, pada batu jalanan yang dikiranya permata.
Sungguh Sagara tidak menduga, begitu mudahnya Anggita mengajak berbuat dosa.
Samar bayangan wajah Isrina menari di hatinya, tatapan lembut dan senyum hangatnya perlahan mengusik dinding jiwa.
Isrina, sedang apakah dirimu kini? Selarik rasa rindu makin menggebu di ujung hatinya yang sunyi.