"Bang, Pak Wili punya anak, nggak?"
Demikian, Genta yang sedang sibuk men-scroll mouse dan tatapan fokus di layar laptop pun teralih, menoleh kepada sang adik.
Marlena berdiri bersandar pada dinding ruang tengah seraya memegang mug kucing, isinya adalah s**u cokelat peninggi badan milik Bang Gilang. Namun, Lena sering minum ini pun tubuhnya segitu-gitu saja, tak lantas bertambah tinggi barang sesenti.
"Tujuannya apa nanya gitu?" kata Bang Genta.
Lena mengulum bibir. "Kepo aja."
"Tapi kenapa harus kepo?" Pekerjaan di laptop pun seketika jadi tidak menarik lagi bagi Genta. Dia menepuk sisi tempatnya duduk, meminta Lena mendekat. "Sini, Len. Biar enak ngobrolnya."
"Ah, nggak, deh. Gak jadi. Abang, kok, malah jadi serius gitu." Kan, Lena takut. Dia lantas melenggang.
"Habisnya nggak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba nanya itu. Kan, aneh. Kecuali kalau kamu tertarik sama Wiliam."
"Nggak, ya!" Lena agak ngegas, lalu dia tutup pintu kamarnya, seiring pintu kamar Ginandar yang terbuka dan muncul sosok abang nomor dua Lena dari dalam sana.
"Kenapa, Bang?" tanya Nandar, teruntuk Genta.
"Adek kamu, tuh. Naksir Wiliam jangan-jangan ...," gumamnya.
"Hah?" Ini Gilang. Dia baru tiba di ruang tengah sehabis 'setor tunai' di WC. "Gimana, gimana?"
"Wiliam temen Abang? Yang dosen itu?" timpal Nandar.
"Yang mana lagi?" Sambil kembali memusatkan tatapannya pada layar laptop, Genta menjawab santai.
"Marlenong naksir Bang Wili? Kok, kok, kok bisa?" Gilang langsung duduk mode gibah. "Ini gak bisa dibiarin, sih. Kalau kandidatnya Bang Wili."
"Tapi Bang Wili kaya raya, Lang."
"Terus?" Bang Genta melayangkan delikan tajamnya kepada Ginandar.
Nyengir di sana. "Ya, nggak terus-terus."
"Abang kurang setuju kalau sama Wili." Kembali Genta menyelorohkan isi kepalanya. "Mending sama temen kamu, Nan. Si Mahardika, anak juragan kampung yang merantau itu. Coba sesekali ajak main ke sini, mana tahu naksir Lena."
Sekadar informasi, Genta pernah bilang kepada adik-adiknya--yang pria--bahwa dia tidak akan menikah duluan selagi Lena belum menikah. Dia akan menikah kalau si bungsu sudah bersuami.
Sementara itu, Gilang yang sudah punya pasangan, dia tak mungkin tega melangkahi abang sulungnya. Jadi, berdoa saja semoga Lena lekas bersuami. Dan lagi, termasuk Ginandar.
Sama halnya dengan Gilang, Nandar juga tidak tega melangkahi Bang Genta, alhasil sampai detik ini hubungannya dengan wanita hanya sebatas HTS-an saja. Hubungan tanpa status. Berpegang teguh pada komitmen dan jalani saja dulu.
Nandar belum siap kalau masuk ke ranah pacaran seperti Gilang, takut terulang; pernah ditodong orang tua sang pacar, ditanya kapan melamar. Kan, Nandar tak bisa memberi jawaban pasti. Begitu dia terangkan duduk perkaranya, sang pacar minta maaf karena dengan begitu dia harus menerima pinangan lelaki lain.
Ya sudahlah.
Demikian itu, dulu mereka sangat mendukung hubungan Lena dengan Kean, si anak tetangga sebelah. Bahkan andaikata Lena minta mau langsung menikah sehabis lulus sekolah, akan mereka nikahkan dengan penuh sukacita.
Kean sosok yang baik di mata ketiga abang Lena. Namun, rupanya hubungan mereka tidak berlanjut sampai sejauh itu. Gilang bilang bahwa Kean mengirim undangan pernikahan, bukan dengan Lena. Kata Lena, mereka sudah putus setahun lalu. Agak kecewa, sih. Tapi mau bagaimana lagi kalau tak jodoh?
Lantas, saat ini, ketika Kean dikabarkan bercerai, lalu sepertinya mengejar adik bungsu mereka lagi, Genta yang paling serius bilang 'jangan mau' kepada Lena. Sebab, sosok Kean sudah tidak sebaik dulu lagi nilainya di mata mereka. Meski sampai detik ini Genta, Nandar, dan Gilang masih menjaga hubungan baik dengan mantan Lena itu.
"Jujur, Bang. Gilang, sih, maunya Lena cepet sold out. I mean, nikah. Tapi, ya, nggak asal nikah juga sampe ngelolosin sosok Bang Wili yang jadi suaminya. Bodoh amat mau beliau kaya raya juga, ini soal kelangsungan hidup adik kita selama-lamanya. Bukannya apa ... tapi dua kali gagal di pernikahannya, Gilang takut kalau emang ada yang gak beres sama beliau."
"Kalau Abang bukan masalah itunya, sih," kata Genta, "Abang kenal Wili, dia baik banget orangnya. Cuma takut belum move on aja dari bini pertama. Takutnya, ya. Kan, kita gak tau isi hati orang? Walau Wili sendiri yang bilang udah gak ada rasa apa-apa. Tapi kalau bisa selain Wili, kenapa harus Wili?"
Ya, gitu, deh.
Nandar terdiam.
"Makanya mumpung belum kelihatan naksir, baru kepo tipis-tipis, coba nanti kamu ajak Mahardika main ke sini pas ada Lena, Nan. Mana tau cinlok." Sambil kembali bekerja di laptop.
Sebagaimana Gilang yang suka membawa Aji ke rumah, sebetulnya itu ada maksud terselubung, tetapi tampaknya Lena telanjur 'emoh' alias 'ogah' sama Aji. Jadi, tidak mempan.
Dan lagi, mereka tidak berani bergerak secara terang-terangan meminta Lena untuk segera menikah. Takut tersinggung atau salah paham. Ini juga ngobrol sambil bisik-bisik pelan.
"Lagian apa di kampusnya nggak ada yang menarik? Bisa-bisanya si Lenong ngejomlo lama banget, padahal dia pacaran udah dari kelas enam SD, ngalah-ngalahin kita," decak Nandar.
"Oh, ya. Kalian kalo udah pada punya calon, kasih tau Abang aja, kapan mau ngelamar. Jangan nunggu Abang nikah duluan, lama." Genta bicara sambil mengetik dan tatapannya terpaku pada monitor.
Seketika Gilang dan Nandar bubar.
"Calon? Mana ada, Bang."
"Doain aja, haha!"
Begitu kata mereka.
***
Sementara itu, di dalam kamar Lena. Dia sedang gonta-ganti gaya rebahan. Aduh, mendadak tidak bisa tidur dengan tenang, padahal sudah minum s**u, waktu pun telah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
Bagaimana ini?
Malah sosok Pak Wili menari-nari di ingatan dan seakan memiliki kandungan kafein tinggi sehingga menyulitkannya untuk dihinggapi rasa kantuk.
Lena peluk guling bersarung pink itu. Dia sembunyikan wajahnya di sana. Huwaaa! Mau nangis saja kalau begini, sih. Malah semakin terbayang betapa rawr-nya sosok gerangan. Paham?
Jantung Lena malah jedak-jeduk tidak keruan. Mengingat lagi bagaimana tampang Pak Wili di ruang dosen tadi sore, tak biasanya punya efek sedahsyat saat ini, membuat hati Lena gonjang-ganjing. Sungguh, baru kali ini dia terguncang oleh pesona Bapak Wiliam Budiman.
Demi apa pun, tadinya sama sekali tidak.
Bukan sekali dua kali Lena melihat ketampanan Pak Wili, sosoknya sering seliweran di rumah ini saat main dengan Bang Genta. Dulu-dulu juga sering ketemu di kampus, apalagi saat beliau mengajar di kelasnya pada mata kuliah Digitalisasi Naskah. Biasa saja, tuh. Lena tidak tergugah oleh pesona bombastis lelaki itu.
But, kenapa sekarang langit dan bumi pun seolah bersaksi bahwa Lena sedang dilanda demam Pak Wili? Hingga mencuri kantuk dari matanya.
Ini tidak bisa dibiarkan!
Lena ambil ponselnya. Melihat room chat-nya dengan Bapak Wiliam, lalu dia lihat foto profil gerangan. Betapa garang raut beliau di sana.
Tuh!
Malah tambah ser-seran hati Lena. Berasa tatapan Pak Wili di foto itu mencabik-cabik pertahanan dirinya untuk tidak lebih jauh terpesona. Ini yang dulu kalau melihat foto tersebut Lena bergidik, kenapa sekarang malah tergelitik? Betah dipandang-pandang, di-zoom malah.
Bentuk bibir, hidung bangir, kelebatan alis, dan tatapan tajam matanya malah semakin membuat Lena resah uring-uringan.
Ehm.
Next!
Lena lihat status beliau, ada satu postingan dari Pak Wili. Bukan apa-apa, hanya berisi jokes bapak-bapak.
[Barusan saya ke apotek beli obat tidur, pas pulang saya bawanya pelan-pelan, takut obatnya bangun.]
Dengan emot dua jari. Simbol dari bercanda.
Ya, itulah Pak Wili. Bisa bercanda, tetapi di status WA-nya saja.
Dosen yang terkenal garang bin killer, tetapi tiap postingan statusnya selalu humoris. Anehnya, tidak membuat image killer Pak Wili hancur barang sedikit. Sudah dikata beliau sangat profesional.
Pernah ada yang me-notice unggahan status Pak Wili di kelas, tahu apa jawaban beliau?
"Kamu pandai menghafal postingan status orang, tetapi kenapa kepandaian itu tidak berlaku untuk materi yang saya ajarkan?"
Langsung sunyi seruangan.
Tak ada yang menertawakan. Yang tahan tawa, sih, banyak, termasuk Lena. Tentu, bukan tertawa atas Pak Wili, tetapi atas teman mereka yang berani me-notice unggahan status beliau.
"Ya, kamu. Silakan maju. Ulangi apa yang baru saja saya sampaikan."
Seperti itu. Cukup untuk membuat seluruh mahasiswa di kelas tersebut tegang, waswas barangkali ikut-ikutan terpanggil maju ke depan.
Lena baru bisa menertawakan kasus itu dengan geli sekarang. Kejadiannya tepat di kelas Sastra Indonesia B, kelas Lena.
Soal Pak Wili dan caranya mengajar, Lena ceritakan kepada Bang Genta. Mengadu istilahnya. Dulu. Namun, tidak serta-merta membawa dampak perubahan. Pak Wili tetap killer.
Sampai tak terasa waktu berlalu dan Lena mengantuk. Dia sudah beres dengan tiga rumusan masalahnya untuk besok disetor kepada Pak Wili. Baru kali itu Lena bersemangat untuk bertemu beliau, sampai-sampai tidak bisa tidur.
Pak Wili oh Pak Wili.
Bagaimana bisa jantung Lena kembali merasakan degup yang dahulu kala dia padamkan mati-matian supaya kuat dengan prinsip hidup jomlowati?
Tak satu pun ada laki-laki yang membuat Lena berdebar setelah dia dikecewakan oleh Kak Kean, bahkan itu Zeedan sekali pun yang digilai oleh Fio dan Hilda.
Asal kalian tahu, sejak Lena merasa patah hati oleh Kean, seketika sosok laki-laki dalam pandangannya tak lebih dari cumi-cumi. Itu tips agar dia tak mudah jatuh hati.
Namun, saat ini ... ada apa dengan Pak Wili?
Kenapa cumi-cumi di mata Lena berubah menjadi Squidward versi tampan?
"Kali ini saya tidak ngaret, bukan?"
Ya, hari bimbingan dengan gerangan telah tiba. Di mana Lena kembali bertatap muka dengan Bapak Wiliam. Masih di ruang dosen, tepat sehabis zuhur. Lena tersenyum.
Pak Wili memakai kacamata bacanya. Duduk di sofa. Bedanya, sekarang bukan cuma mereka berdua yang ada di dalam ruangan tersebut. Dosen lain pun ada, di meja masing-masing.
"Aman, Len?"
Itu Bapak Sidik, dosen yang pernah mengajar Lena di semester kemarin. Masih ingat dengannya ternyata.
"Aman gimana, nih, maksudnya, Pak?" sahut Lena. Nyengir. Sebetulnya dia paham. 'Aman' terkait dibimbing dengan dosen se-killer Pak Wili, bukan? Namun, pura-pura tidak tahu saja.
"Dosbimmu Sir Wiliam, lho."
Tuh, kan.
Yang lain tertawa. Bercanda saja.
"Saya masih manusia, Bapak-Bapak sekalian." Pak Wili ikut menyahuti. Semakin bergelak tawa mereka.
Ya, ya, ya.
Lena sampai ikut tertawa.
"Sudah. Mana sini rumusan masalah kamu!" tukas beliau.
Dengan sigap Lena menyerahkan hasil garapannya semalam. Pak Wili menerima itu. Dibaca dengan teliti. Agaknya, Lena deg-degan.
Dalam film Spongebob, Squidward yang paling jelek menurut Lena, tetapi dia juga yang paling tampan di epissode kepentok tiang wajahnya. Nah, kira-kira Pak Wili jadi seperti itu, jadi tampan. Dengan proporsi tubuh Larry si lobster.
Tapi bagaimana, ya? Pak Wili menyebalkan.
Rumusan masalah Lena lagi-lagi bernasib seperti judul skripsinya, dicoret mutlak.
"Kamu serius tidak dengan skripsi ini?"
"Serius, Pak."
"Tapi hasil garapanmu tidak menunjukkan itu," tekannya. Menatap tajam Lena, alis Pak Wili sampai menukik.
Ganti, beliau jadi seperti angry bird. Lena menggigit bibir bagian dalamnya, menjadi kebiasaan di kala tegang.
"Atau kamu tidak paham dengan judul skripsinya?"
"Paham, Pak."
"Coba terangkan apa yang saya sampaikan terkait judul ini kemarin dan apa masalah yang diangkat di sini."
Lena meringis lirih. Dia duduk dengan tertekan. Pelan-pelan Lena ucapkan apa yang dia pahami dari bimbingan kemarin. Karena sejujurnya, judul dari Pak Wili ini sangat selaras dengan maksud skripsi yang Lena inginkan.
"Itu kamu ngerti," kata beliau, "tapi kenapa rumusan masalahnya acak-acakan?"
"Maaf, Pak. Kalau boleh tau, salahnya di mana? Terus ... apa Bapak bisa kasih masukan seperti kemarin?"
"Maunya disuapi!"
Ish, ish!
Pak Wili menyerahkan berkas rumusan masalah Lena, diletakkan di meja.
"Besok temui saya lagi. Habis asar. Topik satu dipercantik saja kalimatnya, topik dua diganti total, yang ketiga beri tambahan keterkaitan dengan kode etik. Dan satu lagi, jangan gunakan kata tanya 'apa', tapi 'bagaimana'. Saya ada kelas sekarang."
Demikian, Pak Wili berlalu menuju mejanya.
Lena kicep di situ.
Dosen lain terkekeh, juga bilang, "Semangat, Len!"
"Taklukkanlah Pak Wili sampai ter-Lena-Lena dengan skripsimu, Neng! Saya kawal. Haha!"
Lena nyengir, lalu pamit undur diri. Sekeluarnya dari sana, tiga sobatnya menyambut, mereka menunggu.
"Gimana, gimana?" Fio menarik Lena duduk di kursi samping ruang dosen.
"Nih, minum dulu." Zeedan menyodorkan s**u banana kesukaan Lena, sudah dia tusukkan sedotannya, Lena hanya tinggal seruput.
"Aman?" tanya Hilda.
Tepat di kala Pak Wili melintas, yang seketika itu mereka berempat menyalaminya. Tentu, termasuk Lena. Dia mencium tangan Pak Wili.
Lho, lho ....
Kok, dadanya ser-seran lagi, sih?!
Apalagi saat beliau berucap, "Semangat."
Arghbcdefghijkl-%@$!
Fix, Lena menyublim.