[0] Prolog
"Len, tunggu aku, ya? Dua tahun lagi aku wisuda dan kamu lulus sekolah, kita langsung nikah aja habis itu. Aku nggak mau kamu sama yang lain. Pokoknya, kamu punya aku."
Marlena tersenyum, balas menggenggam tangan sang pacar.
"Udah bahas nikah aja, Kak? Lagian dua tahun masih lama. Aku aja masih kelas sebelas." Dengan pipi tersipu.
"Iya, sih. Tapi belum sebulan aja ninggalin kamu buat kuliah, udah ada tiga yang nembak, kan? Padahal mereka tau kamu punya pacar, cuma LDR aja," decaknya. Kean Panji Pangalila.
Itu nama pacar Lena, yang katanya mau serius dengannya. Sudah direstui para abang Lena juga. Kean dipercaya sebagai sosok green flag yang keluarganya pun begitu baik. Maklum, Kean termasuk dalam jajaran teman masa kecil Lena.
Telah lama Kean menaruh hati kepada gadis cantik itu, tetapi tak berani mengungkapkan rasa pada mulanya, takut ditolak. Namun, siapa sangka bila Lena juga menyukainya? Sejak saat itu, Kean berjanji akan membawa status pacaran ini hingga jenjang pelaminan nanti, padahal sama-sama masih remaja walau Kean memang lebih tua dari Lena.
"Mau, nggak, nunggu dua tahun?"
"Langsung nikah, ya, Kak?"
"Iya, dong. Buat apa pacaran lama-lama? Kalau sekolah udah tuntas, gas aja. Toh, aku punya penghasilan, kok."
"Iya, tau. Kak Kean, kan, selebgram."
Mereka tertawa.
Hari itu Kean sedang libur semester, dia pulang dari rantauannya sebagai mahasiswa di Yogya. Masih dekat, bukan? Lena di Jakarta.
Kak Kean itu murid teladan, cerdas, dan pekerja keras. Dia masuk universitas ternama di Jawa Tengah dalam sekali ikut pendaftaran. Dari lama Lena cinta diam-diam, yang ternyata berbalas. Senang sekali rasanya, terlebih percintaan mereka sedari zaman 'bocah' direstui kedua belah pihak keluarga. Maklum, saling kenal.
Mendiang ibu dan ayah Lena adalah tetangga dari orang tua Kak Kean, dulu, sebelum akhirnya Kak Kean pindah sebab orang tuanya bercerai. Ikut dengan papanya, lalu di sini adalah tempat tinggal ibunya yang sedang Kak Kean datangi, sekaligus tetangga Lena.
Sudah seakrab itu, sejauh itu pula bayangan hubungan mereka. Lena yang merupakan anak bungsu dari empat bersaudara yang ketiga kakaknya adalah laki-laki, dipersilakan menikah jika itu dengan Kean si 'Green Flag'.
Nanti. Saat sudah lulus SMA.
Lena menunggu-nunggu hari itu, dia bersedia, toh cuma dua tahun.
Namun, tepat ketika Lena kelas 3 SMA, baru saja selesai ujian akhir sekolahnya, tinggal menunggu momen remedial, seseorang memberi kabar ....
"Kamu udah nggak sama Kean, ya, Len?"
Regilang Utama, kakak Lena nomor tiga. Gilang panggilannya. Lena menatap gerangan, lalu alih memandang pada selebaran kertas berplastik yang Bang Gilang letakkan di meja.
"Nggak bilang-bilang, sih, kamu kalo udah putus sama Kean? Abang, kan, jadi malu tadi pas Kean ke sini, kiranya mau ngapel. Eh, ternyata cuma--"
Telinga Lena terasa berdengung seketika, entah apa yang Bang Gilang katakan selanjutnya. Detik di mana seluruh indra pada tubuhnya dirasa mengetat, melihat barisan nama pada kertas undangan pernikahan yang Lena raih dan baca.
Cassandra Santika dengan mempelai pria yang bernama Kean Panji Pangalila.
Teruntuk Marlena Utama.
A-apa ini?
"Len?"
"Lena?"
"Marlena!"
Oh, astaga.
"Mimpi, ya, kamu? Mimpi apa, sih, sampe keluar air mata sebanyak itu? Bikin khawatir aja. Nih, minum dulu."
Lena mengerjap. Jadi, tadi itu mimpi, ya? Iya, sih. Soal hari di mana dirinya merasakan patah hati pertama, patah hati yang paling parah juga, perihal kabar pernikahan sang pacar yang dulu minta ditunggu dua tahun olehnya. Untuk menikah dengannya. Namun, Kean malah menikahi Cassandra, di saat Lena bahkan masih menunggu, masih belum genap dua tahunnya.
Oke, kesimpulannya yang tadi itu cuma mimpi. Lena pupus air mata, lalu nyengir.
"Sumpah, Bang. Sedih dan horor banget mimpi aku!" Sambil bergidik, menatap abangnya. "Betewe, makasih minumnya. Makasih juga udah dibangunin. Bang Gilang ter-the best!" Dibubuhi kedipan sebelah mata.
Gilang menggelinjang. Eh, ralat. Bergidik maksudnya. Geli. Dia cubit saja pipi sang adik.
"Akh--sakiiit!"
"Bodoh amat! Suruh siapa tidur sambil nangis sampe ngik-ngik, bikin orang kaget dan khawatir aja!"
"Haha! Iya, iya ... lepas, dong. Sakit pipi aku! Makin chubby nanti."
Gilang mendengkus, dia pun berlalu. Lena mengusap-usap pipinya. Betulan sakit. Namun, bagaimanapun Bang Gilang, nyatanya Lena lebih dekat dengan gerangan ketimbang sama dua kakak yang lain.
Oh, ya. Tadi dia sedang apa sebelum ketiduran?
***
Fio: [Len, sumpeh ini kamu?]
Melampirkan screenshot postingan Lena di Instastory. Adalah fotonya dengan seorang pria, pakai emotikon love segala pula.
Di grup persohibannya: Pejuang Move On Garis Lurus!
Itulah nama grupnya, menyindir Lena di tiap suasana hatinya berubah, nama grup pun akan sering diubah-ubah.
Lena: [Iya. Kenapa?]
Hilda: [Kok, kenapa? Ya, baguslah! Cieee~]
Hilda: [Siapa, nih? Udah bukan pejuang move on lagi, ni, yee? Ih, senengnyaaa! Spill, dong, Len ... siapa gerangan laki-laki yang sukses meluluhkan hati es queen kita semenjak ditinggal merit sama si bgst Keanpanuan itu, hm?]
Lena: [Sensor dikit napa, Hil. Diungkit-ungkit, kan, jadi pengin bales dendam. Haha!]
Fio: [Dari dulu! Dari duluuu banget kita berharapnya kamu bales dendam sama tu cowok semprul, Len. Balas dengan elegan dan syantik! Sumpah, sih, aku yang denger kisah kamu aja masih geram sampai detik ini.]
Zeedan: [Nih, gue siapin palu godam.]
Lena tersenyum membaca pesan dari ketiga kawannya. Sahabat, katakanlah begitu. Dan Zeedan satu-satunya lelaki di rumpun persahabatan ini.
Lena: [Udah, udah. Tuhan udah melakukan itu untuk aku, kok. Denger-denger mereka cerai, lho. Eh, ketawa boleh gak, sih? Jahat gak, sih?]
Hilda: [Nggak! Mereka yang jahat! Kamu sama sekali nggak jahat, Sayangku Marlenong! Ketawa aja 'HAHAHA' sepuas kamu, kita ngikut. Haha!]
Zeedan: [Kok, kamu tau, sih, Len, perkembangan kabar terbaru mereka? Nge-stalk, ya?]
Lena: [Ya elah, tetangga aku gak, sih, ibunya. Mau gak mau jadi tailah.]
Lena: [Eh, maaf. Tuh, kan, typo. Tau maksudnya, bukan tai.]
Hilda: [Haha! Emang kek taiii, kok.]
Fio: [Udah, udah, Guys. Back to topic. Itu siapa, Len, yang di Insta? Cakep, lho.]
Lena: [Kenapa? Mau aku kenalin? Masih jomlo, kok, katanya.]
Zeedan: [Yaaah. Berharap apa, sih, kalian sama Lena yang udah memutuskan buat jadi jomlowati abadi?]
Lena: [Nggak abadi juga, ya. Cuma emang lagi 'nggak' aja. Itu tadi di Insta juga aslinya bukan perbuatan aku, betewe. Cowoknya emang resek!]
Hilda: [Tapi, kok, nggak dihapus, Len?]
Lena: [Gara-gara kalah Truth or Dare aku, tuh. Dahlah.]
Hari itu.
Saat waktu telah berlalu pada masa-masa Lena yang bahkan sudah bukan murid kelas 3 SMA. Dia telah jadi mahasiswa sekarang, di kampus ibu kota. Dan tentang lekaki yang wajahnya sedang dibicarakan itu benar-benar bukan sesiapanya, sebatas teman dari temannya abang.
Paham, kan?
Fio: [Oke. Tapi asli, nih, kamu sebenernya udah move on apa masih ...?]
Hilda: [Berdasarkan chat di atas, sih, kayaknya Lena udah move on, ya. Sisa dendam-dendamnya aja paling.]
Lena: [UDAH, DONG! UDAH LALALALACUIH.]
Zeedan: [Hus!]
Lena: [Tapi serius udah.]
Fio: [Bener, ya? Kalo gitu ayo kita rayakan!]
Hilda: [Yuhuuu! Clubbing I'm coming~]
Lena: [Bahasa Inggrismu masih aja begitu, Hil.]
Hilda: [Bodoh amat. Intinya, ayo kita ke kelab dan kamu wajib ikut, ya, Len! Wajib!]
Fio: [Asal jangan sampe ketahuan kakak-kakaknya aja, tuh, si Lena. Aku, sih, ayok!]
Zeedan: [Jangan ngadi-ngadi, deh. Nanti ketahuan abangnya Lena, bahaya. Apalagi Bang Genta.]
Kakak nomor satu Lena, Bang Genta. Malam ini waktu Lena betul-betul habis dengan bercengkerama bersama mereka, para sobatnya di grup persohiban. Lumayan, Lena selalu merasa terhibur.
Di mana kali itu mereka membuat keputusan semena-mena tanpa mendengarkan pendapatnya, justru terus membujuk, satu kali saja kata mereka. Zeedan juga jadi ikutan setuju, padahal tadi bilang sebaiknya jangan macam-macam karena takut pada Bang Genta.
Hilda: [Plis, Len! Satu kali ini aja dalam rangka merayakan 'Hari Kemenangan Suksesnya Move On' kamu. Ya, Len, ya?]
Begitu.
Lama mereka merayu, akhirnya Lena mau.
Toh, hanya satu kali ini saja. Dengan jaminan bahwa Lena akan 'aman', entah dari omelan abang atau nuansa 'liar' di kelab malam.
Fine!
Mari ke kelab.
Setidaknya, di sana juga bersama Zeedan--pria yang selama ini jadi sahabat plus bodyguard teman-teman wanitanya, termasuk Lena. Ada Hilda dan Fio juga yang sudah punya banyak pengalaman main di sana. Ehm!
"Apa harus kayak gini?"
"Harus, Lena. Pokoknya, serahkan aja sama kami! Aku dan Fio bakal sulap simsalabim kamu jadi peri."
Lena tertawa. "Peri apaan yang seliweran di kelab malam?"
Namun, okelah. Dia pasrah. Dijemput mereka, mampir dulu di rumah Fio, lalu didandani, disuruh ganti baju juga, disertai memakai topeng sewarna dengan gaun merahnya.
"Wah ... gila! Selama ini aku tau di antara kita, kamu itu yang paling cantik, Len. Tapi ini, sih, cantik pake banget! Coba panggil Zeedan."
"Dan! Zeedan, liat, nih! Sohib kita ada turunan spek bidadari!"
"Apa, sih, Hil ... Fio. Kalian berlebihan," tukas Lena, dia lalu memakai topeng merahnya. Di detik Zeedan memasuki ruangan.
"Tuh, kan! Zeedan aja bengong. Cantik banget kamu, Len." Hilda pandai memuji, tetapi memang begitu adanya. Lena menanggapi dengan tawa.
"Ya udah, yuk, gas! Kita semua juga jangan lupa dipake topengnya. Jadi yang paling misterius di kelab malam ini, yuhu!" Fio bersorak riang.
Tak sabar tiba di tujuan.
Agaknya, Marlena deg-degan.
Apa boleh dia begini?
Untuk pertama kali dalam hidup, menjadi penduduk ibu kota, berteman dengan mereka ... Lena menginjakkan kaki di sebuah bangunan berlampu disko, jedak-jeduk lagunya, pun dengan beragam manusia memenuhi tempat itu.
Hanya untuk malam ini saja, Lena pun seketika jadi pusat perhatian barang sekilas. Gadis bergaun merah di antara dua teman wanitanya yang bergaun silver dan navy, lalu teman pria memakai kemeja hitam, bertopeng semua ....
"Len, jangan beli yang ada alkoholnya, ya!" peringat Hilda.
Tentu.
"Tapi aku gak tau ini semua namanya asing-asing, Hilda! Mana yang rekomen buat aku?"
"Ini aja! Non-Alcoholic Blood Orange Spritzers!" tunjuk Zeedan, menyebut nama minumannya.
Oh, iya. Tertera nonalkohol di sana. Lena pun memesan minuman tersebut. Duduk di bar bersama mereka.
"Eh, eh, dance, yuk! Musiknya enak buat goyang ini!" tukas Fio.
"Baru juga pesen minum," balas Lena.
"Ya udah, kamu diem di sini aja, ya, Len! Kalo mau gabung, langsung ke dance floor aja. Oke?!"
"Zeed, ayo!" Ditarik tangannya oleh Hilda dan Fio.
Yeah, sejatinya mereka sama-sama menyukai Zeedan, dan soal ini hanya Lena yang tahu. Hebatnya, Zeedan nol persen kepekaan. Lena pun melambaikan tangan dadah-dadah, tatapan Zeedan tertuju padanya meski ditarik oleh dua sobat mereka.
Khawatir, ya?
Namun, di sini sepertinya aman, kok. Duduk di meja bar. Bisa diajak ngobrol tidak, ya, bartendernya?
"Non-Alcoholic Blood Orange Spritzers ...."
Ah, iya.
"Makasih." Lena senyum, dia menerima sodoran minuman pesanannya. Diicip dikit, diseruput-seruput. Ewh!
Minuman macam apa ini?
Nggak enak, batin Lena. Bagaimana bisa ada tempat minum dengan minuman seperti itu? Dan banyak yang singgah di dalamnya pula.
Lihat sekeliling, mereka semua menikmati tempat ini. Mereka yang bergoyang tampak senang, yang duduk pun kelihatan--
"Boleh saya gabung?"
Oh, narasi dalam benak Lena terpangkas. Seseorang datang dan bicara padanya. Iya, kan? Lena benahkan topeng di wajah. Dia berdeham.
Apa ini tanda bahaya?
Bagaimana kalau dia diterkam?
Yang Lena lihat juga ini bukan tempat bagi orang-orang beriman. Sebagian dari mereka ada yang bermain dengan perempuan. Tadi Lena mau bilang, yang duduk ada yang sedang berciuman. Helooow!
Lena tahu, sih, kelab itu apa. Cuma agak kaget saja ternyata sesuai dengan ekspektasinya. Hingga pria yang tadi duduk di sebelahnya berkata, "Berapa tarif kamu satu malam?"
W-what?!
Setelah Lena mempersilakan. Lantas, kini mereka bertatapan.
Sekali lagi si pria berucap, "Berapa tarif kamu satu malam?" Dengan suara yang lebih kencang.
Maksudnya ....
Berapa harga Lena dalam satu malam dia bilang?!