[8] Adegan Dewasa

1530 Kata
Analisis Pengaruh Adegan Dewasa pada Literasi Digital Era 2024. Tolong dibaca baik-baik itu judul skripsi Lena. Oleh pembimbing satu sudah di-acc. Namun, entah bagaimana dengan pembimbing duanya ini, malah Lena kedapatan bermasalah pula dengan beliau. Baru saja. Itulah kenapa Lena meniti satu per satu anak tangga dengan amat terbebani. Tiba di puncak lantai tujuan, Lena mengambil napas panjang, dia embuskan perlahan. Bismillah. Semoga mood Pak Wili sedang bagus walau mungkin tadi tersentil oleh serapah darinya. Di depan ruang dosen, bibir Lena komat-komit baca mantra, doa baik agar bimbingannya ini berlangsung dengan baik juga. Lekaslah dia raih handelnya, ditekan, lalu didorong hingga pintu terbuka. Pelan-pelan saja, entah kenapa Lena takut menimbulkan bebunyian. Sepelan mungkin agar suara derit pintu dan langkahnya tersamarkan. Ya Allah, tolong! Apa karena pengaruh AC? Memasuki ruang dosen, Lena menggigil. Yang ternyata sudah sepi, bahkan hanya ada Pak Wili. Telah duduk di kursinya, memakai kacamata baca. Eh, kok, naik level, sih, gantengnya? Skip, Lena! Mau setampan apa pun kalau manusianya Dr. Wiliam Budiman, S.S., M.Pd., di-skip saja. "Permisi, Pak." Suara Lena juga tenggelam, serupa cicitan. Ya, gimana? Sudah syukur ini dia tak sampai pipis di celana. Ugh ... mendebarkan. "Duduk," tukas beliau. Dengar, kan? Lena dipersilakan duduk dengan aura pendidikan militer. Sebelum itu, izinkan Lena mempresentasikan ruangan dosen ini. Pertama, terbilang luas karena bukan untuk seorang saja. Mirip-mirip ruang guru waktu sekolah, banyak meja bertumpuk berkas. Bedanya, lebih eksklusif. Ada sofa di area dekat pintu, itu sejenis sofa tamu macam kalau ada kedatangan mahasiswa begini. Dipersilakan duduk di situ. Beda lagi dengan ruang jurusan. Begitu Lena telah duduk manis di sofa tersebut, lalu dia melihat Pak Wili mendekat. Berjalan dengan lengan kemeja digulung sampai sikut. Tipe-tipe orang yang rajin nge-gym. Otot lengan pun terbentuk dengan baik, bahkan jarinya tampak memesona. Tanpa sadar, Lena menggigit bibir bagian dalamnya. Well, kawan Bang Genta memang tidak ada yang gagal soal fisik, mereka mendekati sempurna. Cuma Pak Wili ini agak ngeri saja tampilannya, terlebih kalau sedang memelihara cambang. Serem, cui! Sudah seperti mafia luar negeri. Berarti Lena masih beruntung saat ini karena sepertinya Pak Wili baru habis cukuran. Bersih. Kelihatan dua tahun lebih muda dari usia asli, tetapi badannya tidak bisa bohong soal usia yang sudah 30 tahunan. Ehm. Jadi, sudahkah bisa dimulai bimbingannya? Satu epissode tak akan cukup untuk mendefinisikan seorang Wiliam Budiman soalnya, apalagi dari sudut pandang Marlena. "S-sebelumnya ... aku minta maaf, Pak." Karena merasa dekat dari status Bang Genta yang notabene kawan Pak Wili, Lena tidak saya-sayaan. Dia aku-akuan saja walau di kampus. Lain lagi jika di chat. Ketahuilah, tatapan Bapak Wiliam amat tajam. Apa memang normalnya begitu, ya? Dari bentuk mata, alis, hidung, rahang, bibir ... eh, kejauhan. "Untuk kesalahan yang mana?" sahut beliau. "Semua yang menyinggung Bapak, aku minta maaf. Habisnya aku kesel. Kan, janji Bapak habis zuhur, tapi ini asar juga udah lewat, Pak." Pak Wili bersedekap, duduk bersandar di sofa tunggal seberang Lena, kakinya bertumpang arogan. "Dengar, Marlena." Lena menelan gugup salivanya. Namanya tidak disebut sepenggal panggilan, melainkan komplit 'Marlena.' Aroma-aroma tak sedap dan tak aman bagi jantung, nih. "Pertama, mahasiswa saya bukan cuma kamu. Ada sekian orang yang saya bimbing skripsinya, belum yang saya ajar. Kedua, ranah hidup saya tidak hanya di kampus. Kamu juga tahu kalau saya founder Sastra Edu. Jadwal online dan offline saya sangat padat, meski yang kamu lihat tiap saya datang ke rumah Genta, itu seperti sedang bermain." Lena menunduk. Berasa dimarahi orang tua, terlepas dari Pak Wili memang orang 'tua' menurutnya. "Dan, sekali pun kamu melihat keterangan online di WA saya, itu tidak sedang haha-hihi jail, apalagi secara sengaja tidak membalas pesan, kecuali kalau yang menurut saya tidak penting. Tapi saya juga minta maaf karena kesibukan di luar kendali saya itu sudah membuat kamu menunggu tanpa kepastian." Lena mengangguk-angguk. Sangat tidak menyenangkan, bukan, menunggu tanpa kepastian itu? Apalagi kalau ending-nya malah buang-buang waktu. Yang sudah pasti saja bisa wassalam, apalagi ini, ya, kan? "Minimal Bapak kabarin aku." "Ya. Lain kali." Wiliam ubah gaya duduknya jadi lebih santai. "Dan minimal kamu tidak mendumal di tempat yang sekiranya bakal didatangi oleh subjek tersebut." "Baik, Pak. Maaf." "Masih untung itu saya. Coba kalau dosen lain?" Justru tidak untung karena itu Bapak, Pak. Lena bicara dalam hati. "Sini mana bundel skripsi kamu!" tukasnya. Oh, itu ... Lena serahkan. "Baru bab satu." Jelaslah. Yang Lena lihat, baru juga dibaca judulnya, Pak Wili coret silang besar di sana. Dan katanya, "Ganti." Arghdjnjrshsh@%!!! *** Perkara nama Sir Wiliam Budiman yang tercantum dalam kolom pembimbing dua Lena, dia jadi hanya melibatkan Bu Marta ketika pengambilan judul. Waktu itu Bu Marta hanya bertanya, "Kamu yakin mau pakai 'Pengaruh'? Ini nanti pendekatannya lebih condong ke kuantitatif." Mulanya judul skripsi Lena adalah 'Pengaruh Adegan Dewasa pada Literasi Digital Era 2024'. "Yakin, Bu. Biar nanti Lena pakai metode kuan." "Pengambilan datanya mau pake sistem apa?" "Salah satunya kuisioner, angket. Sekarang, kan, lagi marak n****+-n****+ digital. Lena udah masuk ke salah satu grup yang isinya pegiat karya fiksi. Selain itu, ada grup pembacanya juga. Lena bisa share kuisionernya di sana." "Tapi kualitatif lebih mudah, lho, Len. Bisa ditambahkan kata 'Analisis' di paling depan. Paling nanti rumusan masalahnya kamu ubah lagi. Belum buat latar belakangnya, kan?" "Belum, Bu. Baik, Lena tambah 'analisis' di judulnya." Itu baru bimbingan soal judul dan rumusan masalah, hingga kemudian latar belakang selesai berikut isian dari bab satu, Bu Marta langsung acc. Berarti cuma sekali revisi terkait metode penelitiannya saja disesuaikan dengan judul dan rumusan. Tertera tanda tangan beliau di lembar judul skripsi yang Lena serahkan kepada Bapak Wiliam sekarang. Dicoret. Coret, Pemirsa! CORET. Lena meringis samar melihat hal itu terjadi pada skripsinya. Lanjut melihat halaman rumusan masalah, Lena tatap Pak Wili yang sedang mode serius dalam balutan kacamata bacanya. Kayak cupu, tetapi suhu. Cupunya suhu. Eh, apa, ya? Rambut ditata klimis, kemeja kancingnya dikawinkan semua dengan lubang sampai ke kancing bagian kerah, celana licin hasil laundry-an. Tipe-tipe kutu buku kalau di dunia fiksi, tetapi badannya gigo--lho? Kejauhan lagi, Marlena! Istigfar. "Sudah otomatis harus diganti, sesuaikan dengan judul baru nanti." Terkait rumusan masalah dan isi skripsi Lena lainnya, Pak Wili ucapkan. Ganti. Ditutuplah skrpsi itu, yang mana kini mereka bertatapan. "Tahu salahnya di mana?" "Nggak, Pak." Bu Marta saja menyetujui hasil karya ilmiahnya ini, kok. Kenapa Pak Wili tidak? "Analisis Pengaruh Adegan Dewasa pada Literasi Digital Era 2024, judulnya ini kurang mengerucut. Kamu mau bicara soal adegan dewasa yang seperti apa? Karena ada n****+ yang memang dikhususkan untuk kalangan dewasa, tetapi bukan porno. Kalau-kalau tema dari skripsi kamu mau mengangkat soal adegan ranjangnya." Deg. Berasa ada yang bunyi di d**a Lena. Tepat sasaran. Dan lagi ... kok, frontal banget, sih? Pipi Lena, kan, sampai bersemu hanya karena kata 'porno' plus 'adegan ranjang' yang keluar dari lisan Pak Wili. "Kalaupun mau bawa-bawa pengaruh, kenapa tidak dikaitkan dengan moral? Alih-alih hanya ditekankan pada literasi digital." "Ja-jadi ... baiknya menurut Bapak gimana?" Pak Wili kembali mengambil pena merahnya. Dia tuliskan di lembar judul Lena, sebelah logo kampusnya. "Analisis Penulisan Unsur Dewasa 21+ pada n****+ Digital terhadap Kode Etik Literasi. Gimana menurut kamu?" ucap beliau. Lena agak mencondongkan tubuh dan membacanya. Wow. Dalam hati saja, Lena terkagum-kagum. "Saya hilangkan kata 'pengaruh' dan ganti dengan 'penulisan'. Di sini metodenya kelihatan 'sangat' kualitatif. Dan lagi, adegan dewasanya kita buat lebih mengerucut jadi yang mendekati unsur pornografi. Seperti yang kamu tahu, literasi digital banyak yang meloloskan bahan bacaan terkait itu. Tidak dikemas dengan diksi yang lebih ramah dibaca, juga terlalu vulgar, menggantikan film porno yang sekarang sudah susah diakses." Lena setuju. Ah, gilak! Pak Wili paham sekali dengan maksud skripsinya, meski agak menyebalkan karena belum apa-apa sudah dicoret. Disuruh ganti judul yang itu berarti semuanya diganti. SE-MU-A! "Dan daripada kamu menganalisis adegan dewasa pada literasi digital 2024, jelas laris manis bacaan yang seperti itu, malah jadi membuat skripsi kamu terkesan sebagai kunci jawaban pegiat literasi digital agar karyanya laris, ya, tulis saja adegan dewasa. Paham sampai sini?" Demi apa pun Lena tidak kepikiran sampai sana. Sontak mata Lena berbinar-binar. "Pun, tidak ada masalahnya di sana," imbuh Pak Wili. "Dengan adegan dewasa, karya digital banyak yang laku. Jadi, kamu mau menganalisis apa? Masalahnya tidak ada. Kecuali kalau kamu kaitkan dengan nilai moral. Nah, saya ubah dengan kode etik literasi saja. Selebihnya, silakan kamu lanjut ke rumusan masalah. Besok ketemu saya lagi habis zuhur. Saya usahakan tidak terlambat." "Baik, Pak. Terima kasih, Pak." "Nanti saya kabari kalau mau ngaret." Ah, iya. "Baik. Sekali lagi ... terima kasih, Pak." Sambil menahan senyumnya yang terasa kian lebar bibir ini melengkung. Duh! Gawat. Pak Wili melenggang, yang Lena tatap punggung lebar itu. Sekarang, sih, bukan cuma n****+ digital yang isinya adegan dewasa 21 plus, tetapi isi otak Lena juga, menari-nari sosok Pak Wili. Baru-baru ini. Dia ke mana saja sebelumnya, ya? Tak sekali pun Lena merasa Pak Wili, kawan Bang Genta, punya sisi sememesona ketika sedang mode bimbingan tadi. Ah ... sepertinya, Lena terpesona. "Ngomong-ngomong, Len. Saya tidak menyangka, kamu satu-satunya mahasiswa yang berani ambil tema sedewasa itu." Dengan seringai di sudut bibirnya. "Tapi melihat bagaimana kamu di kelab malam itu, saya tidak heran lagi." W-wait! "Maksud Bapak?" "Itu pujian." What the ... pujian dari mananya, Wahai Bapak Wiliam yang tidak Budiman?! Wajah Lena seketika merah padam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN