Aku terbangun keesokan harinya dengan kepala berat dan mata yang terasa tak nyaman karena semalaman terus menangis. Baru bisa tidur sekitar jam dua dini hari. Aku langsung beranjak duduk saat menyadari tertidur di lengan Mas Ali. Ia masih terlelap.
Segera saja kukenakan pakaian yang sedikit robek lalu mengguyur tubuh dengar air dingin. Segar. Tapi sama sekali tak mengalirkan kedamaian. Rasanya, aku ingin menangis terus. Tak dianggap oleh suami sendiri, lalu semalam ....
Aku menggeleng sedih. Air mata yang keluar segera membaur dengan air keran yang terus memercik di kepala. Mas Ali sungguh tak punya perasaan. Tak bisakah melakukannya dengan lembut? Seolah aku binatang saja.
Mataku terus terasa basah walau sudah berkali-kali tanganku bergerak menyekanya. Sesekali aku bersenandung kecil untuk melupakan kesedihan. Kuangkat roti bakar dari teplon, meletakkan ke piring, lalu membawanya menuju ruang tamu. Mas Ali sudah duduk di sana sedang membaca koran. Melihat wajah dinginnya, membuatku lagi-lagi ingin menangis tapi berusaha menahannya. Sungguh lelaki kejam. Lebih baik, aku menyingkir saja dari hadapannya.
"Temanku dan istrinya ngajak nonton. Kamu mau ikut?"
"Gak," sahutku sambil menghentikan langkah. Memandangnya sekilas yang tengah membaca koran.
"Istri temanku ingin berkenalan denganmu. Cepat berkemas."
"Aku gak mau ikut." Aku kembali melangkah.
"Cepat berkemas!"
Enak sekali memerintah orang sementara sikapnya selalu saja kasar. Apa aku ini bonekanya? Ingin rasanya menonjok wajahnya.
"Tunggu apa lagi? Cepat berkemas!"
Aku mengepalkan tangan. Sungguh menyebalkan. Aku mengentakkan kaki lalu berlari menuju kamar. Terisak. Tanganku segera meraih gamis hijau polos lalu mengenakannya. Memakai jilbab, mengusap bedak tipis ke wajah juga kelopak mata yang sedikit bengkak, kemudian melangkah keluar dengan malas. Seharusnya, libur kerja untuk bersenang-senang dengan teman-teman, bukan malah tertekan seperti ini.
"Di hadapan temanku, kita harus terlihat seperti pasangan bahagia," katanya saat aku menghampirinya yang sudah menunggu di mobil.
"Ya."
"Kamu harus terlihat ceria, jangan diam terus." Ia menatapku.
"Ya."
"Jangan membuatku malu."
"Ya." Aku terus menjawab datar. Mas Ali mengembuskan napas, lalu mencengkeram kemudi. Ia terlihat sangat kesal, dan sepertinya aku harus bersyukur karena ia tak melemparkan sesuatu ke wajahku.
***
Sudah setengah jam lebih menunggu tapi teman Mas Ali tak juga datang. Di sampingku, Mas Ali terus sibuk dengan HP-nya. Sesekali aku memandangnya, lalu memandang ke depan, pada beberapa orang yang tengah membeli jajanan dengan wajah ceria.
"Temanku tidak bisa datang. Mendadak ada urusan, katanya."
"Yasudah pulang saja." Aku menyahut datar. Lalu mengembuskan napas lega. Ssetidaknya kalau di rumah, aku bisa mengurung diri di kamar tanpa Mas Ali di dalamnya. Atau menyibukkan diri memberesi rumah.
"Pulang? Sudah jauh-jauh sampai sini pulang?" Ia menatapku dengan wajah tak percaya. Apa aku salah berkata seperti tadi? Memangnya mau apa jika bukan pulang? Dasar aneh. Padahal ia sendiri yang bilang kalau temannya tak bisa datang.
"Aku bicara padamu, Fit!"
Aku menyentak napas. Balas memandangnya.
"Kan temenmu gak jadi datang, Mas. Terus mau apa?" Tentu saja jawaban yang paling tepat adalah pulang. Apa lagi, coba? Tak mungkin, kan, duduk diam-diaman seperti ini?
Ia menyentak napas, menatapku dingin seperti biasa. "Kamu tidak ingin nonton?"
"Gak." Aku langsung menjawab tanpa ragu.
Mas Ali berdiri, segera melangkah cepat meninggalkanku. Aku langsung mengejarnya. Yaa masa aku ditinggal. Aneh banget diaa.
"Tunggu dong, Maas!"
Ia tak menoleh sama sekali. Ingin rasanya kuambil batu lalu melemparkan ke kepalanya biar tahu rasa. Siapa tahu dengan begitu ia akan segera sadar bahwa walaupun ia menikahiku tanpa cinta, tetap saja aku istrinya.
"Mas, tungg--"
Aku refleks berhenti berkata saat jari telunjuk tiba-tiba menempel di bibirku. Aku menoleh, sedikit terkejut saat mendapati Pak Danu di belakangku.
"Pak, sedang apa di sini?"
"Kak." Ia langsung meralat. Wajahnya terlihat bahagia.
"Iya, sedang apa di sini, Kak?"
"Habis ketemuan sama temen. Yuk, ke sana?" Tangan Pak Danu menunjuk ke arah bioskop.
"Fitrii!"
Aku dan Pak Danu menoleh bersamaan. Mas Ali sedang menatap kemari, wajahnya terlihat kesal.
Pak Danu tiba-tiba menggapai tanganku lalu menarikku cepat menuju bioskop. Maaf, Maas. Tapi hanya dengan begini aku tak merasa tertekan. Andai kamu bisa memperlakukanku dengan baik, Mas. Hanya dengan Pak Danu, aku menjadi wanita yang sesungguhnya.