7

1636 Kata
"Bagaimana menurutmu, kamu menikmati filmnya tidak?" tanya pak Danu saat aku mengenyakkan tubuh di sampingnya duduk. Apa kamu menikmatinya? Ulang Pak Danu sambil mencondongkan tubuh mendekat, perlahan tangannya memasangkanku sabuk pengaman. Aku menahan napas menyadari wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku. Aku mengangguk lalu tersenyum salah tingkah. "Menikmati. Bagus, Kak." Pak Danu mengangguk. "Ke rumahku dulu, ya? Baru nanti kuantar pulang." Aku langsung memandangnya yang sedang menatap lurus ke jalan. Untuk apa ke rumahnya? "Ke rumahku sebentar." Pak Danu menoleh, tersenyum kecil, lalu kembali menatap ke jalan raya. Aku menarik napas panjang, entah mengapa begitu resah, gugup, juga takut ia akan berbuat yang tidak-tidak. Buat apa ke rumahnya? Aku menggeleng pelan, berusaha menepis perasaan yang bukan-bukan. Pak Danu lelaki baik-baik. Tak mungkin ia akan berbuat yang aneh-aneh. Dalam perjalanan kami terus diam, sesekali Pak Danu menoleh dan tersenyum kecil. Kami tak banyak bicara sampai akhirnya mobil tiba di depan gerbang tinggi sebuah rumah bertingkat satu tak jauh dari pasar Punggur. Seorang satpam langsung berlari membuka gerbang begitu Pak Danu membunyikan klakson. "Yuk." Pak Danu membuka pintu mobil, tangannya terulur lalu menggandengku keluar. Aku berjalan sambil menatap bunga warna-warni dalam pot-pot besar yang sepertinya dirawat dengan baik. Kami baru sampai di teras saat seorang wanita paruh baya membukanya. Pak Danu mengajakku masuk. "Aku duduk di sini aja, Kak." Tolakku halus saat ia hendak membimbingku menuju ruangan. "Ayo, aku akan tunjukkan sesuatu padamu." "Tapi ...." Aku menatapnya ragu-ragu. Bagaimana kalau nanti dilecehkan? Aku bergidik sendiri membayangkannya. "Ayo." Pak Danu meraih tanganku, menuntunku menuju kamarnya. Jantungku berdetak kencang sekali. Walaupun sudah berusaha tak berburuk sangka, tetap saja benakku membayangkan yang bukan-bukan. Pak Danu mulai membuka pintu dengan kunci yang dirogohnya dari saku celana lalu merangkul bahuku. Aku terkejut bukan main saat tiba-tiba ia mengunci pintunya. "Kenapa ditutup, Pak?" Aku menatapnya waswas. Dan semakin takut saat ia membuka kemejanya dengan pelan. Lalu menyambar kaus pendek yang dicantolkan di dinding. Dengan cepat ia mengenakannya. "Tidak apa-apa. Biar tidak dilongok sama simbok," sahutnya sambil melangkah mendekat. Spontan aku melangkah mundur. Pak Danu semakin mendekat, tubuhnya terus mendekat ke tubuhku lalu tangannya terulur. Aku memejamkan mata. Jangan lakukan, Pak. Aku bukan perempuan murahan, bisikku dalam hati. Tolong jangan berbuat asusila padaku. Tolong jangan. "Lihat ini!" Aku refleks membuka mata, Pak Danu tersenyum kecil saat tatapan kami bertaut. "Lihat ini." Tangan Pak Danu terulur. Bukan menyentuh tubuhku, tapi pada dinding di belakangku. Saat aku menoleh, alangkah terkejutnya aku saat mendapati foto-fotoku tertempel rapi di mading. Ada tiga mading yang kesemuanya tertutup tirai, semua menempel di dinding. "Gadis yang pernah kucintai, selalu kuabadikan fotonya di sini." Lalu, Pak Danu membuka tirai di mading satunya, terdapat fotoku juga. Lalu satunya lagi. Baru foto gadis lain. "Namanya Leni. Dia mengkhianatiku demi menikah dengan lelaki yang lebih kaya." Aku membisu, bingung hendak mengatakan apa. Pasti berat bagi Pak Danu dikhianati oleh orang yang ia cintai. "Sejak saat itu, aku takut membuka hati. Takut kembali dikhianati." Ia memandangku lembut. "Aku membuka hati untukmu, karena kurasa kamu berbeda, Sya. Aku yakin, kamu tak akan pernah mengkhianatiku, Sya. Jangan pernah berpikir untuk mengkhianatiku." Aku menelan ludah. Aku menarik napas panjang mencoba mengusir sesak di d**a. Memandang mata Pak Danu yang terlihat sangat berharap, sungguh membuatku tak tega. Juga merasa amat bersalah. Bagaimana cara mengatakan yang sesungguhnya? Raut wajah Pak Danu lagi-lagi membuatku tak tega. Membuatku merasa menjadi makluk kejam tak punya perasaan. Aku sama sekali tak menyangka kecerobohanku waktu itu, kini membuatku jadi memberikan janji tak nyata pada Pak Danu. Maafkan aku, Pak. "Jangan pernah mengkhianatiku, Sya. Jangan coba-coba pergi dariku." Pak Danu memandangku lekat, tangannya terulur, menarikku ke dalam pelukannya. Aku menarik napas panjang. Tak bisa membayangkan seandainya Pak Danu tahu yang sesungguhnya. Maafkan aku, Pak. Sekali lagi maafkan aku. "Kuantar kamu pulang, Sya." Aku mengangguk, lalu mendongak dan menatapnya tak tega. Maaf, Pak. Sungguh sebenarnya aku tak punya niat berbohong. *** Aku sampai di rumah jam 4 sore. Mas Ali yang sedang duduk membaca koran di teras berdeham saat aku lewat di dekatnya. "Duduk, ada yang ingin kubicarakan." Aku menyentak napas. Walau sebenarnya ingin segera merebah, tetap kubawa kakiku mendekat, duduk di hadapannya seolah tak terjadi apa-apa. Ia pasti akan membahas kepergianku tadi. Pasti, ujung-ujungnya bertengkar lagi. Lama-lama, aku bisa bosan dengan situasi seperti ini. "Kamu benar-benar keterlaluan, Fit. Bisa-bisanya pergi dengan lelaki lain!" Tuh, kan, benar. Dia membahas yang tadi. Sungguh menyebalkan. Siapa suruh bersikap dingin pada istrinya sendiri? Siapa suruh membuatku tak nyaman. Huh! Ingin sekali kutinju wajahnya. "Aku bahkan menawarimu nonton tapi kamu menolaknya. Malah memilih nonton dengan lelaki itu!" "Kamu kan menawari terpaksa karena temenmu gak datang, Mas. Toh, sebenarnya juga kamu gak pengen nonton, kan?!" Aku menatapnya tajam. "Tapi tidak harus keluyuran dengan lelaki itu juga. "Memangnya kenapa, Mas? Wajar, dong, dia kan pacarku, Maas." Suaraku melirih. Lelah rasanya bertengkar terus. "Aku yang lebih berhak atas dirimu!" "Kamu bahkan gak nganggap aku istri, Mas?! Kamu bahkan menyesal melakukan hubungan terlarang padaku." Mas Ali menatapku lama, lalu mendesah kuat. Tangan kanannya terkepal. Aku berdoa dalam hati semoga kali ini ia tak bersikap kasar padaku. "Aku capek diajak bertengkar terus. Kalau mas terus begini, aku mau cari kontrakan aja. Aku mau tinggal sendiri aja." "Keterlaluan kamu, Fit." Tumben di rumah tidak memanggil 'mbak. Mungkin, sedang ada malaikat di dekatnya. "Aku mau mandi." Aku berdiri. "Masih ada yang harus kubicarakan!" "Kalau gitu cepat katakan, dong, Mas." Mas Ali menyentak napas. "Kak Amel dan suaminya mau ke sini, mungkin menginap beberapa hari. Kita harus bersikap layaknya pengantin baru. Jangan mengajakku ribut. Jaga sikapmu. Mengerti?" "Ya." Lalu, aku beranjak meninggalkannya. Ia mendesah panjang. *** Pukul sebelas malam Kak Amel dan suaminya datang dari Jakarta. Kak Amel ini kakak ke dua Mas Ali. Ia menetap di Jakarta bersama ibu mertuaku. Sementara ayah Mas Ali sudah meninggal sejak Mas Ali masih duduk di sekolah dasar. "Bagaimana kabarmu, baik?" Kak Amel bertanya sambil mengamati penampilanku. Tatapannya hangat bersahabat. Senyumnya terkembang ramah. Ia mengulurkan tangan lalu memelukku erat. "Baik, Kak." "Maaf tak menghadiri pernikahan kalian. Waktu itu, kerjaan sangat menumpuk. Sebagai gantinya kakak akan menginap sampai resepsi kalian dilaksanakan." Aku mengangguk. Kuraih gagang koper di sampingnya lalu menariknya pelan menuju ruang tamu. Kak Amel mengikuti sambil sesekali bertanya ini itu. Walau kami hanya bertemu sekali sebulan lalu, tapi kami dengan cepat menjadi akrab. Kak Amel sering menghubungiku melalui pesan WA, terkadang curhat tentang pekerjaannya, tentang suaminya, kadang tentang kesedihannya karena tak kunjung hamil padahal sudah lama menikah. "Kakak udah makan?" Kak Amel langsung menggeleng. "Belum. Buatkan nasi goreng, ya?" "Iya, Kak. Kakak istirahat dulu." Kak Amel mengangguk. Segera aku menuju dapur. Di ruang tamu, Mas Ali dan suami Kak Amel, Mas Andre, sedang berbincang. Aku membuka kulkas, mengambil 5 butir telur, lalu piring dan nasi di mejikom. "Perlu bantuan?" Suara Kak Amel terdengar begitu dekat, membuatku segera menoleh. "Kak Amel gak tidur?" "Nanti saja setelah makan. Nanggung." Kak Amel menuang air dari teko ke dalam gelas, segera meminumnya. "Butuh bantuan tidak?" "Gak, Kak, aku bisa sendiri, kok." Kak Amel mengangguk-angguk. "Kakak dulu waktu masih pengantin baru, selalu dibantuin sama Mas Andre. Ali memang tidak perhatian, deh. Payah itu anak." Aku menarik napas. Merasa begitu nelangsa. Jangankan dibantuin, Kak, bersikap baik saja Mas Ali tak pernah, batinku sedih. Kak Amel menatapku cukup lama. "Dari dulu sifat Ali memang seperti itu, dingin, kaku, dan tidak bisa dibantah. Heran, turunan dari mana dia. Padahal ibu dan mediang ayah, tidak. Mungkin nurun dari sikap kakek." Aku mengangguk membenarkan. Benar sekali ucapan Kak Amel mengenai adiknya itu. Mas Ali memang tak bisa dibantah, terbukti saat mengajakku nonton bioskop kemarin. Ia juga kalau marah suka meledak-ledak, wataknya memang keras. Kuambil bawang merah lalu mengirisnya tipis. Pedas yang ditimbulkannya membuat mataku perih dan berair. Ditambah, suasana hati sedang tak baik, jadilah air mata merembes juga. "Pedas, yaa, kakak juga samaa, kalau ngiris bawang kadangan sambil nangis." Kak Amel terkekeh pelan. "Aliii!" teriaknya. Yang dipanggil menghampiri tak lama kemudian. "Dulu, waktu kakak masih pengantin baru sering dibantuin masak sama Mas Andre. Bantuin dong, istrimu." Kak Amel mengerling ke arahku lalu beranjak pergi. Aku menarik napas. Tunggu sebentar saja, pasti ucapan tak mengenakkan akan keluar dari mulut suamiku ini. "Seperti anak kecil ngiris bawang sambil nangis." Tuh, kan, benar. Kalau tak ada Kak Amel dan suaminya, pasti sudah kubalas ucapannya. Kami harus terlihat seperti pengantin baru yang sedang mesra-mesranya. "Sini, berikan, biar aku yang kerjakan." Mas Ali tiba-tiba merebut pisau dari tanganku, membuatku langsung memandangnya. Tangannya dengan cekatan mengiris bawang. Kak Amel kembali ke dapur, menuang air dalam gelas, lalu mengerling padaku sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum. Kesempatan ini. Kapan lagi coba, dibantuin suami memasak? Kalau tak ada Kak Amel pasti takkan sudi Mas Ali melakukan pekerjaan ini. "Sekalian cabai merahnya diiris, ya, Mas." Mas Ali menatapku sejenak, terlihat tak suka. Kuberi ia senyuman paling manis. "Katanya saa-yang," kataku sok manja. Untung ada Kak Amel. Kalau tidak, mana berani aku berkata seperti ini. "Sekalian tumbukin bumbunya ya, Sayang? Kalau gak mau, gak kukasih 'jatah' lho, nanti malam," lanjutku sambil mengerling genit. Mas Ali mengembuskan napas, Kak Amel berdeham lalu beranjak pergi. "Apa-apaan sih kamu Fit?" tanya Mas Ali saat aku mulai memanaskan wajan. "Kan, kamu yang bilang ingin terlihat seperti pengantin baru. Jadi, apa aku salah, Mas?" Ia mengembuskan napas. Wajahnya cemberut. Duh, ia terlihat lucu sekali saat bersikap seperti ini. Sayang, kalau sedang marah ia seperti harimau. Anehnya, tetap saja perasaan cinta padanya tak juga hilang. Betapa aku tulus mencintaimu, Mas. "Nasinya, Mas, bawa sini." Mas Ali melakukan semua yang kusuruh tanpa protes. Ya, tentu semua agar terlihat seperti pengantin baru. #Wajah para tokohnya ada di i********: @fitri_soh #Klik love untuk memasukkan ke library agar selalu dapet notif setiap cerita ini UP. Love Uu. Jangan lupa dikomentari biar aku semangat nulisnya jadi bisa UP cepet
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN