Aku terjaga tepat menjelang azan subuh. Segera menuju kamar mandi, salat, lalu membuat sarapan. Sebenarnya agak malas melakukannya mengingat pertengkaran kemarin sore, tapi karena biar bagaimanapun ia tetap suami yang harus dilayani, akhirnya kubuatkan. Toh, aku harus sarapan juga.
Sarapan telah tersaji di atas meja saat Mas Ali akhirnya muncul dengan pakaian rapi, tanpa mengatakan apa pun ia menggeser kursi lalu mendudukinya. Aku menyendok kan nasi untuknya dengan perasaan tak nyaman. Lalu menyantap makananku dalam diam.
"Apa kamu sungguh perempuan murahan, Mbak?"
Aku menatapnya tak percaya. Apa katanya tadi, perempuan murahan? Seolah aku pernah tidur dengan lelaki lain saja.
Ia menatapku tajam, lalu menyentak napas kuat.
"Terserah kamu mau mengatakan apa, Mas." Aku menanggapinya dengan datar meski hati rasanya sakit sekali. Setelah bilang 'suruh melupakan hubungan terlarang di malam pertama, kini mengatai perempuan murahan. Kalau tahu apa yang akan dilakukan Pak Danu, aku juga pasti akan menghindar. Tetapi untuk menjelaskan pada Mas Ali kejadian yang sebenarnya pasti percuma karena aku memang tak ada harganya di mata Mas Ali. Baginya, aku hanyalah perempuan yang terpaksa ia nikahi agar ia bisa segera memberikan ibunya cucu.
"Mulai hari ini aku akan mengantar dan menjemputmu. Jadi, tak perlu menyuruh pacarmu datang."
Pacar? Pak Danu kah yang dimaksud Mas Ali? Langsung saja aku melongok ke luar, nampak Pak Danu tengah bersandar di mobilnya dengan tangan penuh dengan bunga mawar. Mataku melebar, sama sekali tak percaya dengan pemandangan itu.
Sungguh murahan.
Meskipun ucapan Mas Ali melukai perasaanku, namun aku tak mau mendebat. Kuletakkan sendok di piring lalu meraih tisu, mengusapkan cepat ke mulut.
"Kalau begitu, aku berangkat dulu, Mas. Bye, Sayaang," ucapku seolah tak terjadi apa-apa. Segera tangan meraih tas lalu berlari keluar rumah. Jangan sampai Pak Danu melihat Mas Ali keluar dari rumah ini. Bisa panjang urusannya. Sungguh, aku belum siap dipecat.
Pak Danu tersenyum lebar saat melihatku melangkah ke arahnya. Diserahkannya bunga mawar lalu mempersilakanku masuk.
"Apa boleh aku menemui ibumu nanti sore?" Pak Danu menatapku lembut. Dipasangkannya sabuk pengaman untukku kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.
Hatiku seketika digayuti risau. Jelas tak mungkin mengenalkan Pak Danu pada Ibu. Duuh, kenapa tambah runyam begini, sih, urusan?
"Aku tak ingin kamu menikah dengan dia. Dia terlihat kasar. Kamu terlalu berharga untuk disakiti, Sya."
Aku memandang Pak Danu yang tengah serius mengemudi. Sungguh trenyuh dengan perkataannya. 'Dan bapak terlalu baik untuk dibohongi, kataku dalam hati. Pak Danu amat bertolak belakang dengan Mas Ali. Mulut Mas Ali begitu tajam. Bisa-bisanya mengatai ....
Aku menggigit bibir, tanganku dengan cepat mengusap sudut mata yang terasa basah. Teringat kejadian malam pertama yang menyakitkan, lagi-lagi membuatku sedih.
"Sya?" Pak Danu menepikan mobilnya. "Jangan sedih. Kamu tidak akan pernah menikah dengannya. Aku janji akan memperjuangkanmu."
Ucapan Pak Danu justru membuat perasaanku tambah sedih. Begitu berharganya aku di mata Pak Danu, tetapi amat rendah dalam pandangan Mas Ali. Tanganku bergerak cepat menyeka air mata, namun mata kembali basah. Aku tak kuat lagi. Beban ini terlalu berat ditanggung sendiri. Aku memeluk tubuh Pak Danu lalu menangis keras. Tak kuhiraukan dosa saking sedihnya. Pak Danu hanya diam. Sesekali ia mengusap-usap bahuku lembut, sesekali mencium kening. Terserah jika aku terkesan murahan. Tuhaan, untuk kali ini saja, tolong ampuni aku.
"Jangan menangis. Aku janji akan melindungimu. Sudah, jangan menangis, Sya."
"Maafkan aku, Pak."
Aku segera kembali ke posisi semula saat memandang baju bagian dadanya basah oleh air mata. Ia tersenyum kecil begitu menyadari ke mana tatapanku bermuara.
"Tidak apa-apa. Kamu boleh menangis sepuasnya di sini." Ia menyentuh dadanya. "Di sini ...." Ia meraih tanganku dan membawa ke dadanya. "Ada cinta untukmu, Sya," katanya lembut.
Saling tatap dalam diam, lama-lama membuatku malu sendiri. Segera aku mengalihkan pandang.
"Kita jalan lagi, ya?"
Aku mengangguk. Pak Danu segera menyalakan mobil.
"Nanti ...."
"Ya?" Pak Danu menoleh.
Aku memandangnya tak enak hati. Tapi akhirnya memilih mengatakannya. "Jangan mengantarku pulang, Pak. Mulai hari ini dan gak tau sampai kapan, Ibu berpesan pada Mas Ali untuk mengantar dan menjemputku."
Wajah Pak Danu terlihat kecewa. "Apa kamu belum menceritakan tentangku pada ibumu, Sya?" Ada harapan yang terpancar di mata Pak Danu. Aku merasa berdosa telah membohonginya. Tapi mengatakan yang sesungguhnya, itu pasti akan melukai perasaannya. Dan aku bissa saja langsung dipecat.
Sya?
Aku tergagap. "Tung ... tunggu waktu yang tepat, Pak. Jika saatnya tiba, aku akan kenalkan bapak pada Ibu."
Wajah Pak Danu terlihat senang. "Baiklah, kutunggu saat itu, Sya."
Hening beberapa lama.
"Sya?"
"Iya?"
"Tak bisakah kamu memanggilku Kak saja?"
"Kak?" Aku memandangnya. Kenapa tiba-tiba?
Pak Danu tersenyum kecil, tangannya terjulur lalu mengacak pelan kepalaku. Nyaman sekali rasanya. Seandainya, saja, lelaki ini adalah Mas Ali. Pasti aku takkan merasa terbebani seperti ini.
Pak Danu tersenyum kecil sebelum menjawab. "Iya, di dalam studio, kita atasan dan bawahan. Tapi, diluar kita adalah dua orang yang saling mencintai. Panggil aku Kak, ya?”
“Iya, Kak.” Ya ampun, aku jadi seperti anak ingusan yang baru saja mengenal cinta.
“Nah, gituu.” Pak Danu kembali mengacak pelan kepalaku, membuat dadaku bergemuruh dan jantung menghentak-hentak.
***
Tin tin!
Pintu mobil didorong membuka. Aku pamit pada Mita lalu bergegas masuk, duduk di samping Mas Ali yang hanya diam. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku ia tetap saja membisu. Tatapannya terus fokus ke depan. Untuk mengusir jenuh, aku memilih bersenandung kecil.
"Kita makan di luar saja," kata Mas Ali tanpa ekspresi.
"Ya."
Hening. Sesekali aku meliriknya. Saat ketahuan basah sedang menatapnya, aku langsung buru-buru menatap ke luar jendela. Kami terus saling diam setibanya di warung makan, begitu juga saat tiba di rumah. Segera aku turun dari mobil, masuk kamar, mengambil handuk lalu mandi. Tubuh yang tadinya begitu penat kini terasa segar setelah berendam di air hangat.
Aku sedang menyisir rambut saat Mas Ali masuk kamar hanya dengan handuk di pinggang. Aku berusaha untuk tak menatap ke arahnya. Dan berpaling saat ia mulai mengganti baju. Sungguh tak nyaman. Sudahlah. Lebih baik aku merebah sebentar sambail menunggu azan magrib berkumandang.
Aku bertahan tak membuka mata saat merasakan Mas Ali merebah di sampingku, menarik selimut tebal yang kugunakan, lalu pergerakannya tak kurasakan lagi. Pasti dia sudah tidur.
Perlahan aku menarik napas dan mulai berkosentrasi untuk tidur. Tenangkan pikiran. Tenangkan pikiran. Tidur. Tidur, Fit.
Aku sudah hampir terlelap saat merasakan embusan napas di wajah. Kontan mataku terbuka. Mas Ali ternyata tengah menatapku, satu tangannya menyangga kepala sementara tangannya yang lain mengambang di dekat wajahku.
"Ada apa?" tanyaku pura-pura cuek, mengacuhkan d**a yang berdebar hebat dan tubuh yang menegang. Aku menatapnya salah tingkah.
"Apa kamu benar-benar ingin menguji kesabaranku, Fit?"
Panggilannya padaku berubah lagi. Sungguh plin-plan.
"Menguji apa?" Aku masih pura-pura cuek.
"Apa maksudmu tadi pagi?"
"Tidak ada maksud apa-apa, kok."
"Apa kamu ini perempuan murahan?! Membiarkan suaminya makan sendiri dan pergi bersama lelaki lain?!" Nadanya meninggi.
Aku beranjak duduk. Karena kesal, langsung saja tanganku melayang ke arahnya. Tapi ia dengan cepat menangkap tanganku lalu beranjak duduk.
"Lepas!" Aku menepis tangannya dan berdiri.
Baru saja mau berlari ke kamar tamu, ia sudah menyambar tanganku lalu mengempaskan tubuhku ke ranjang. Aku menangis terisak-isak. Sungguh kasar. Aku sama sekali tak menyangka ia akan begini kasar padaku. Aku bisa maklum kalau ia mau menikah denganku karena permintaan ibunya, tapi ini ... aku benar-benar tak menyangka.
"Jika aku masih bicara maka dengarkan!" Braak! Tangan Mas Ali menggebrak meja. Tangisku semakin kencang. Kenapa aku harus mempunyai suami seperti iblis? Kenapa?
"Apa kamu ini perempuan gampangan? Apa pada pacarmu kamu selalu menjual tubuh?! Dia seperti lelaki m***m!"
Aku menggigit bibir. Bisa-bisanya mengatai istrinya seperti itu. Menjual tubuh, katanya? Pasti ia lupa aku masih perawan saat ia melakukannya.
"Kamu menjual tubuh?!"
Aku mendesah sebal. Dikatai lagi. Dihina lagi. Lebih baik aku keluar rumah saja cari hiburan. Keterlaluan. Menjual tubuh? Apa dikiranya aku sehina itu?
"Aku mau cari udara segar, Mas." Aku berdiri. Kakiku sudah hampir mencapai pintu keluar saat Mas Ali tiba-tiba mengangkat lalu membopong tubuh mungilku menuju kamar, mengempaskannya ke ranjang.
"Apa kamu kira aku tak bisa melakukannya sampai menjual tubuh padanya?!" Hardik Mas Ali dengan wajah kesal. Tangannya merenggut paksa baju yang melekat di tubuhku. Aku terisak keras.
"Jangan begini, Mas! Maaas! Aku bukan binatang!" Aku meronta sekuat tenaga saat tangannya mulai bergerilya ke mana-,mana. Melakukan hubungan suami istri didorong oleh perasaan kesal? Ogah. Aku tak sudi melakukannya sampai kapan pun juga.
"Apa kamu kira aku tak bisa melakukannya, hah?!" Mas Ali menatapku penuh kemarahan.
Tanganku bergerak menyusut air mata.
"Aku mohon jangan begini, Mas! Maas! Aku bukan binatang!"
"Lalu apa jika bukan binatang?! Kamu manusia tapi otakmu seperti binatang! Bisa-bisanya selingkuh!"
Percuma menjelaskan pada orang emosional semacam Mas Ali. Pada akhirnya, aku hanya bisa menangis pasrah sambil memejamkan mata.
#Klik love agar setiap cerita ini UP selalu dapet notifnya ya, Teman. Wajah para tokoh ada di i********: @fitri_soh