Begitu membuka mata, ternyata sudah jam 5 lewat. Dengan tergesa aku berlari ke kamar mandi untuk mencuci wajah, mengambil wudu, setelah salat segera melangkah cepat menuju dapur. Ternyata, Kak Amel sedang memasak. Ia menoleh dan tersenyum kecil.
"Maaf, Kak, aku jadi ngerepotin kakak, deh. Maaf, ya, Kaak?"
"Gak papa, Fit. Kakak maklum kok, ya namanya juga pengantin baru."
Aku tersenyum getir. Andai kamu tahu yang sebenarnya terjadi, Kak.
"Fit, aku kasih tau sesuatu mau?"
"Apa, Kak?" Aku menatap Kak Amel penasaran. Kak Amel meraih mangkuk berisi sayur sup lalu membawanya menuju ruang makan. Aku mengikutinya sambil membawa piring berisi ayam.
Kak Amel merapikan taplak meja, segera meletakkan mangkuk di atasnya. "Si Ali itu dari dulu keras kepala, juga gengsian. Maunya menang sendiri. Pernah dia bertengkar dengan mantan pacarnya, tapi tak mau meminta maaf duluan, ya akhirnya dia putus dengan pacarnya."
Aku mengangguk-angguk, mengembuskan napas. Ternyata sudah dari dulu Mas Ali egois. Kukira, hanya padaku saja.
"Makanya kalau suatu saat kalian beda pendapat dan akhirnya bertengkar, kamu harus minta maaf lebih dulu. Mengalah, Fit. Ali walau keras kepala, tapi juga hatinya cepat luluh. Percaya, deh, sama kakak."
Keenakan dianya dong kalau aku yang harus minta maaf lebih dulu. Nanti lama-lama pasti ngelunjak. Aku mengembuskan napas, dan begitu sadar Kak Amel tengah menatapku, langsung tersenyum.
"Suami istri, salah satunya harus ada yang mengalah. Jangan sama-sama egoist, Fit. Nanti akhirnya bubar kayak pernikahan pertama kakak dulu karena sama-sama egoist."
Aku diam saja.
"Kamu mandi dulu, gih, trus bangunkan suamimu dan ajak sarapan bareng."
Aku segera berlalu. Gara-gara semalam kami keasyikan bercanda, jam segini baru bangun. Mas Ali juga, biasanya pagi sudah duduk membaca koran kini masih terlelap di ranjang.
Setelah mandi, berpakaian, mengusap bedak serta mengoles bibir dengan gincu merah muda, memakai jilbab langsung, aku menguncang pelan tangan Mas Ali.
"Bangun, Mas, Kak Amel ngajak sarapan."
Mas Ali hanya membuka mata sedikit kemudian kembali meringkuk memeluk guling, sama sekali tak terusik.
"Maas, bangun, sarapan dulu, yuk?"
"Nanti nyusul!"
"Maas?"
"Jangan ganggu! Mumpung tak kerja!" katanya tanpa membuka mata.
Sungguh menyebalkan. Tanganku terkepal menahan geram. Kalau tak ada Kak Amel, sudah kubalas ucapannya tak kalah sadis. Olahraga, kek. Apa, kek. Yaa masa jam segini masih saja tidur.
"Kak Amel udah masakin buat kita. Yuk, bangun."
Mas Ali bergeming. Kesal, tanganku yang terkepal kudekatkan ke wajahnya. Saat tangan menyentuhnya, dadaku langsung bergemuruh. Aneh. Meski Mas Ali begitu menyebalkan, setiap kata yang meluncur dari mulutnya selalu menyakitkan, tetap saja rasa cintaku padanya tetap tak berkurang. Aku sayang kamu, Mas. Sangat sayang kamu.
Entah dapat keberanian dari mana, wajahku mendekat ke wajahnya. Tampan. Jemariku menyentuh pipinya. Lalu bibir. Tahu-tahu, bibirku sudah mendarat di bibirnya, mengecup pipinya, lalu kening. Saat itulah, Mas Ali tiba-tiba membuka mata. Spontan aku membelalak. Dadaku berderas keras. Ketahuan, gak, yaa?
"Ngapain kamu?!" Mas Ali menatapku curiga. Wajah kami saat ini begitu dekat.
Aku langsung menjauhkan tubuh. Jangan sampai ia tahu perbuatanku barusan. Gengsi, dong, pernah bilang tak suka, tapi ketahuan mencium.
"Nya ... nyamuk, Mas! Ini!" Plak. Tanganku melayang ke pipinya. Mas Ali menatapku terkejut.
"Kamu sengaja, ya?!"
"Eng ... enggak, kok, Maas. Serius, aku gak sengaja. Kan, aku udah bilang tadi ada nyamuk."
Mas Ali berdiri. "Ayo sarapan."
Mataku melebar saat menyadari ada cap bibir di kening, pipi, juga bibir Mas Ali. Gawat, bisa panjang urusannya kalau sampai Mas Ali menyadarinya.
"Tunggu apa lagi. Ayo keluar, kita harus terlihat seperti pengantin baru."
"Mas, Mas, tunggu!" Aku menghentikan langkah. "Mas gak cuci muka dulu, Mas? Bangun tidur harusnya cuci muka dulu pakai sabun biar bersih wajahnya."
"Nanti saja." Mas Ali menarik tanganku.
Kak Amel langsung berdeham saat kami keluar, ia tampak menahan tawa begitu menatap ke wajah Mas Ali. Mas Ali sendiri duduk di kursi dengan cuek. Aku menyendokkannya nasi.
"Senangnya, yaa, pengantin baru." Goda Mas Andre.
Mas Ali tersenyum. Aku kaget bukan main saat tiba-tiba Mas Ali melingkarkan tangan ke bahuku lalu mencium pipiku sekilas.
"Iya, dong, Kak," kata Mas Ali sambil meraih sendok dari piring, segera menyuapiku. Dadaku berdebar. Sadar, Fit, sadar, ini hanya permainan. Ini hanya sandiwara. Sama sekali tidak nyata. Kini, gantian aku yang menyuapi Mas Ali. Sesekali, Kak Amel berdeham.
"Li, bisa belikan aku rokok di warung tidak?" tanya Mas Andre setelah kami selesai sarapan.
"Bisa." Mas Ali berdiri. Duuh, jangan sampai Mas Ali tahu ada cap bibir di wajahnya dari orang lain. Dia bisa geram. Dan pasti, aku juga akan sangat malu.
Duh, gimana ini? "Maaas!" Akhirnya aku memanggilnya, berdiri, kemudian setengah berlari melangkah ke arahnya.
"Tunggu, Mas!"
"Ada apa?"
"Sebentar." Tanganku terulur lalu mengusap-usap wajahnya. Mataku melebar melihat wajahnya yang tambah merah.
"Ada apa, sih?"
Mas Ali menekan wajahnya dengan jari. Lalu memandangnya. Merah.
"Emmp, tadi ... tadi ... tadi aku iseng gambar wajah Mas pakai lipstik. Emp ... Mas cuci muka dulu, deh, sebaiknya."
"Kamu!"
"Hehe, habisnya, Mas dibangunin gak bangun-bangun."
"Gambar apa tadi kamu?"
Aku mengernyit. Penting gitu aku gambar apa?
"Nanti akan kucek CCTV. Awas saja kala--"
"Apa, Mas, CCTV? Kamu gila, ya?"
Ia tersenyum penuh kemenangan, masuk ke dalam, sesaat kemudian keluar dengan wajah basah. Aku langsung berlari ke kamar dan mencari benda itu. Jangan sampai ia tahu perbuatanku tadi. Mau diletakkan di mana coba wajahku?