4

674 Kata
Pak Danu bersikukuh mengantar. Aku hanya bisa pasrah saat mendapati Ibu sedang duduk di teras. Di sampingnya, Mas Ali tampak serius membaca koran. "Emp, Pak. Besok aja, ya, mampirnya?" "Kenapa? Mumpung ada dia." Pandangan Pak Danu tertuju pada Mas Ali. Ia begitu fokus pada bacaannya. "Aku belum siap, Pak. Aku bilang pada ibu tak mempunyai kekasih. Jadi, gak mungkin, kan, kalau tiba-tiba ...." Aku benar-benar terkejut saat Pak Danu mencondongkan tubuh mendekat lalu mencium keningku perlahan. Pandanganku seketika tertuju ke arah Ibu dan Mas Ali. Mereka kini tampak asyik berbincang. "Ya sudah jika itu maumu." Pak Danu tersenyum kecil. Jantungku berdetak kencang sekali. Kenapa rasanya aneh begini? Aku segera membuka pintu, melambaikan tangan, lalu melangkah menuju teras. Mobil Pak Danu segera berlalu. Syukurlah. "Siapa dia?" todong Ibu saat aku mengulurkan tangan lalu mencium punggung tangannya. Pada Mas Ali, juga melakukan hal yang sama. "Temen," sahutku cepat. "Ibu udah makan? Mau kubuatkan makanan?" Aku segera mengalihkan topik. "Sudah makan tadi bersama menantu ibu. Ali, apa kamu nggak bisa jemput istrimu pulang?" Ibu memandang Mas Ali. Ganti Mas Ali yang kini menatapku. Huh! Pasti dia akan mengadu. Terserahlah. Tapi awas saja kalau penyakit jantung Ibu kambuh. Takkan kuampuni. "Iya, Bu. Besok Ali jemput. Tadi banyak kerjaan sampai lupa jemput Syafitri." Aku mengembuskan napas. Syukurlah. Mungkin ia memikirkan kondisi Ibu. "Ya, sudah, Fit, ibu pulang dulu. Tuh di dalem ada gulai kambing kesukaanmu. Habiskan, ibu buat sendiri." Aku mengangguk sambil tersenyum kecil. Walau tak boleh makan berlemak, tapi Ibu sering sekali membuatkan makanan kesukaanku itu meskipun terkadang keasinan atau hambar karena Ibu tak pernah mencicipinya. Aku meraih tangan Ibu lalu mengantarkannya sampai di depan jalan. Aku segera mencium kening Ibu saat tukang ojek langganan Ibu menghampiri. Ibu bergegas membonceng di belakangnya, tangannya melambai-lambai ke arahku. Aku balas melambai lalu membalikkan badan, melewati Mas Ali yang masih duduk di teras dan masuk ke dalam kamar seolah tak terjadi apa-apa. "Apa kamu sengaja mau membuatku marah, Mbak?!" Aku menghela napas panjang, berusaha bersikap biasa saja saat mendengar panggilan menyebalkannya keluar lagi. Dulu memanggil ‘Dik’, lalu ‘Mbak’, tadi, ‘Fit’. Sekarang mbak lagi. Sungguh menyebalkan. "Apa kamu ingin aku jadi kasar?!" Mas Ali meremas pundakku dari belakang. Aku langsung menepis tangannya sekuat tenaga. Wajah Mas Ali terlihat luar biasa kesal. "Kan sudah kukatakan tadi padamu, Mas. Aku punya pacar. Menikah boleh denganmu, tapi hanya dia yang kucintai. Apa masalahnya? Toh, aku udah lupakan hubungan terlarang kita!" balasku, memandang wajahnya tak kalah sengit. Aku tak suka ditindas. "Kamu!" Tangannya mengepal kuat. "Lalu kenapa tak menikah dengannya saja?!" kemarahan terpancar di matanya yang memerah. Kedua tangannya terkepal kuat di sisi tubuh. Wajahnya juga menegang. Sungguh menakutkan. Aku sama sekali tak menyangka akan memiliki suami sepertinya. Aku mencoba berkata walau tatapan tajamnya yang terus terpacak ke wajahku membuatku begitu takut. "Kamu juga, Mas. Kenapa gak menikah dengan orang yang kamu sukai saja? Sehingga kamu gak harus terpaksa melakukan hubungan 'terlarang' denganku!" Aku sengaja menyindirnya. Ia menyentak napas. Suaranya merendah. "Karena kamu yang diinginkan ibuku." "Kalau begitu sama, Mas. Karena kamu yang diinginkan ibuku," sahutku sambil merebah. Tubuhku terasa lelah. Lebih baik tidur saja. Nanti bangun saat azan magrib, shalat lalu mandi dengan air hangat. "Tapi, tidak seharusnya kamu dan lelaki tadi ...." Aku mencoba memejamkan mata. "Apa kamu sebegitu murahannya sampai mau dicium-cium?" Apa Mas Ali tadi melihatnya? Ah, sudahlah, cueki saja. Aku mencoba menenangkan pikiran. Lalu memejamkan mata. Anggap saja suara Mas Ali sebagai kidung pengantar tidur. Pejamkan mata. Pejamkan mata. Aku terus berkosentrasi agar bisa lekas tertidur. Braak!! Prang! "Jawab dulu pertanyaanku, Mbak!" Aku refleks bangkit saat mendengar bunyi gebrakan. Di bawah meja, serpihan gelas berceceran mengotori lantai. Aku menatap tangan Mas Ali yang terkepal. Tatapannya sungguh mengerikan. Aku segera melangkah cepat menuju kamar tamu. Tepat saat pintu berhasil terkunci, terdengar bunyi gebrakan lagi. Aku menjatuhkan tubuhku yang menegang ke ranjang dan terisak pelan. Kenapa nasib pernikahanku seperti ini? #Jangan lupa klik love biar menjadi warna ungu jika cerita ini membuatmu terhibur ya, Teman. Biar kamu juga dapet notif setiap cerita ini UP.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN