3

1966 Kata
Deg. Deg. Deg. Duh, bagaimana ini? Jantungku berdetak kencang sekali. Keringat dingin juga terasa di wajahku. Bagaimana kalau nanti aku dipecat gara-gara bersikap begini kurang ajar? Aku sama sekali tak bisa membayangkan jika harus kehilangan pekerjaan sementara hubunganku dan Mas Ali sedang tidak sehat. Saat mendengar deheman kecil, buru-buru kulepas pelukan. Mobil Mas Ali sudah tak ada, sementara di hadapanku, Pak Danu menatap dengan wajah ... entahlah. Seperti menahan marah, tapi juga terlihat ... bingung. Duuh. Semoga aku tidak dipecat. Akting. Ayo cepat akting, Fit. Pura-pura salah orang atau bagaimana. Atau ... a-haa! Aku tiba-tiba mendapat wangsit untuk menyelamatkan diri dari kecerobohan ini. "Pak, maafin aku, ya? Maafin aku, yaaa, Paak. Janji gak akan kuulangi lagi. Pak? Paak? Maaf, ya?" Pak Danu yang sepertinya baru sadar dari lamunan langsung menatapku. Tatapannya tajam seperti biasa. "Emmp, aku ... aku ... aku sebentar lagi mau nikah karena dijodohkan, Pak. Dan, dan sebenernya aku gak suka, Pak, sama lelaki pilihan ibuku. Dari dulu aku suka sama Ba ... bapak. Mulai hari ini, Pak, aku akan melupakan perasaanku pada bapak dan menikah dengan lelaki itu. Sekali lagi maaf, yaaa, Paak. Ma-af. Aku minta maaf," ucapku dengan gugup. Dadaku bergemuruh hebat. Aku tersenyum kecil karena malu lalu berlari meninggalkan Pak Danu yang terus membisu. Pasti ia syok karena aku bersikap begini. Semoga penjelasanku tadi cukup masuk akal dan bisa diterima oleh Pak Danu. Semoga saja nanti Pak Danu tak memanggilku untuk memberi surat peringatan. Atau yang lebih parah dari itu. Duh, jangan sampai-jangan sampai aku dipecat karena bersikap kurang ajar. Syukurlah, sampai aku tiba di dalam studio tak terdengar juga panggilannya. Aku duduk di kursi dengan d**a bergemuruh hebat, mengusap keringat yang membajir di wajah, kemudian menyalakan komputer. Benda segi empat di hadapanku mulai berdengung pelan lalu perlahan menjadi terang menunjukkan walpaper pemandangan alam. Tak menunggu lama, aku mulai mengedit foto seperti karyawati lain yang tampak sibuk. Foto-foto pernikahan ini harus selesai kukerjakan sebelum pemiliknya datang jam tiga nanti. Aku refleks menunduk saat Pak Danu lewat di depan mejaku, sempat menatapku sekilas. Ia biasanya datang hanya untuk melihat-lihat, menanyai apa yang dibutuhkan dan lainnya, lalu pergi untuk mengontrol 7 studio fotonya yang lain. Studio foto ini terletak persis di pinggir jalan raya, di seberang taman Merdeka kota Metro, Lampung. Sudah hampir 3 tahun aku dan 8 karyawati bagian editing bekerja di sini, tepatnya saat studio yang selalu ramai ini resmi dibuka. Ada dua kamar ganti di dalam studio cukup besar ini, ruang rias, 3 tempat pemotretan dan taman buatan yang disertai beberapa mainan untuk anak-anak di bagian belakang untuk client yang bosan menunggu jika sedang ramai-ramainya. Waktu bergulir tanpa terasa. Aku meregangkan tubuh yang terasa pegal sambil menguap. Lalu aku menatap jam yang melingkat manis di pergelangan tanganku. Ternyata sudah jam 4 sore. "Fit, nggak pulang?" tanya Nita yang selalu duduk di sebelahku sambil berdiri, menatapku sambil merapikan jilbabnya. "Ya pulang, doong, ini aku udah siap-siap." "Oh, okee. Duluan, ya?" Aku mengangguk. Tanganku bergerak cepat mematikan komputer. Saat menatap sekeliling, aku baru menyadari ruangan ini ternyata telah sepi. Semua komputer yang berjajar di meja telah dimatikan. Kursi-kursi yang tadi diduduki oleh teman-teman saat mengedit sambil sesekali bercanda kini terlihat acak-acakan. Dari kaca transparan, terlihat pak Amin sedang mondar-mandir. Mungkin, satpam berusia 40-an itu tengah menungguku keluar. Aku merapikan jilbab, mengusap bedak tipis ke wajah yang sudah menjadi kebiasaan rutin sebelum pulang, lalu aku mengelurkan HP dari tas dan menekan layarnya. Tak ada pesan masuk. Mas Ali pasti tak mau menjemput. Ya sudahlah, naik angkot saja. Sisa perjalanan dari jalan setelah turun dari angkot tinggal berjalan kaki saja. Toh, tak diburu-buru waktu juga. Aku segera keluar dari studio sambil bersenandung kecil, tersenyum ramah pada Pak Amin saat lewat di depannya, dan refleks menyentuh d**a saat menatap ke depan, kaget bukan kepalang karena mendapati Pak Danu tengah bersandar di mobil abu-abunya sambil menelepon. Duuuh, bagaimana ini. Sungguh malu sekali kalau aku harus bertemu Pak Danu lagi. Semoga Pak Danu tak menatap kemari. Semoga ia tak melihatku. Dalam situasi seperti ini, aku berharap keajaiban datang. Misal ada peri baik hati, gitu, yang dengan sukarela mengayunkan tongkatnya ke arahku sehingga aku tak terlihat dalam pandangan Pak Danu. Bahuku melemas saat sadar hal konyol seperti ini hanya akan terjadi di negeri omong kosong belaka, negeri dongeng yang menjadi favorit cerita anak-anak. Bismillah. Akhirnya dengan langkah pelan, aku lewat di depan Pak Danu. Ini satu-satunya jalan. "Syafitri, tunggu!" Lalu, satu tangan Pak Danu melambai ke arahku. Aku menggigit bibir. Duuh, matiii, akuu. Meskipun hatiku ketar-ketir, keberanianku tipis bagai nyala lilin yang terombang ambing oleh angin kencang tinggal menunggu padam saja, tapi aku tetap memberanikan diri melangkah ke arahnya. Dadaku berdebar keras saat tiba di hadapannya. Aku tersenyum canggung dengan wajah memanas karena malu. Juga grogi. "Iya, nanti kutelpon lagi." Pak Danu mengakhiri panggilan teleponnya. Aku menatapnya harap-harap cemas. Apa Pak Danu akan memecatku? Apa sebaiknya aku langsung memohon saja? Ya Tuhaan, kenapa aku begini deg-deg-kan? "Pak, aku ... maaf tadi pagi aku khilaf, Pak. Gak bakal kuulangi lagi, kok, Pak. Maaf, yaaa, Pak." Aku memandangnya takut-takut. Jangan sampai dipecat. Jangan sampai. Pak Danu mendekat. Hatiku ketar-ketir. Jantungku berdetak kecang. Keringat dingin mulai terasa di jidat dan tengkukku. Lalu menjalar ke seluruh tubuh. "Aku juga sudah lama suka kamu." Aku terkejut bukan main. "A-apa?" "Iya, yang kamu dengar tidak salah. Sudah lama aku bersikap pengecut karena tak mau mengakui perasaan hanya karena takut ditolak. Sya, jangan menikah dengan lelaki itu karena tak suka." Jantungku berdetak kencang sekali. Bagaimana bisa jadinya malah seperti ini? Tidak. Aku harus segera mengakhiri ini semua. Harus. "Aku ... aku akan melupakan perasaanku, Pak. Jadi ...." "Jangan dilupakan, Sya. Aku tak bohong, sudah lama aku suka kamu," katanya sambil mengusap ponselnya. Mataku membulat tak percaya saat melihat foto-fotoku dengan baju yang berbeda di benda pipih yang dipegang Pak Danu. Tampak depan, samping, juga belakang. Ada sebagian yang nampak kabur karena sepertinya diambil dari kejauhan. Keterkejutanku semakin bertambah saat menyadari kepala kami ternyata begitu dekat. Sambil salah tingkah, aku berkata, "Emmp ... aku, aku pulang, yaaa, Pak? Udah sore. Takut gak dapet angkot, hehe," kataku mencoba melenyapkan perasaan gugup. "Kuantar, Sya." "Tapi ...." Pak Danu membuka pintu mobilnya, lalu dengan senyum terkembang menyuruhku masuk. Duuh, manis sekali siih senyum bosku ini. Sejak kerja di tempatnya, tak pernah sekalipun kulihat senyumnya mengembang lebar. Ia selalu terlihat dingin dan jutek. "Masuk, Sya." Eh, emp .... Aku tergagap, menatap Pak Danu yang berdiri di sampingku dengan perasaan canggung. Aku sungguh ingin menolak, tapi tak enak hati. Yasudahlah. Namun, baru saja aku hendak melangkah masuk ke mobilnya, terdengar klakson susul-menyusul. Lalu kepala Mas Ali menyembul dari jendela mobil. Ia menatapku dengan wajah kesal. "Masuk!" pintanya dengan wajah semakin tak senang. "Dia pulang bersamaku." Pak Danu yang menjawab. Tangannya menggenggam jemariku erat. Pak Danu tenyata begitu melindungi. Amat berbeda dengan Mas Ali. "Masuk!!" "Aku yang akan mengantarnya!" sahut Pak Danu lagi. Aku menatap Pak Danu terkesima. Pak Danu ternyata begitu baik, punya sifat melindungi, dan tampan lagi. Nyaris semua karyawatinya tergila-gila padanya. Wajar. Pak Danu bertubuh tinggi ramping, kulitnya putih bersih, tatapannya tajam dan selalu berpakaian rapi. Hanya saja, ia begitu pendiam. Jadi, jika kuceritakan pada teman-teman keesokan paginya tentang kejadian hari ini, pasti takkan ada yang percaya. Mereka pasti akan berkata bahwa aku telah berhalusinasi. "Masuk, Fit!" Mas Ali membentak, lagi-lagi memandang ke arah kami dengan wajah sebal. Tumben tak memanggil 'Mbak' lagi. Dasar lelaki plinplan. "Aku pulang sama dia." Aku menyahut lirih. Lalu menoleh ke arah Pak Danu yang langsung tersenyum kecil. "Fiiit!" Melihat wajah Mas Ali tampak begitu geram, entah mengapa hatiku begitu senang. Maka, semakin kupanas-panasi Mas Ali dengan segera bersembunyi di belakang Pak Danu. Lihatlah wajah suamiku sekarang, tampak amat kesal. Kapok. Emang enak. Salah sendiri tak bisa menjaga mulut. Hubungan terlarang? Sungguh, bagai diremas hatiku setiap mengingat ucapan ngawurnya. Habis melakukannya, eh mengatakan seenak jidatnya. Jahat! Aku sungguh tak lupa wajahnya yang begitu menikmati, juga tak lupa ekspresi jijiknya saat mengatakan hubungan instens suami istri itu sebagai hubungan terlarang. Terlarang itu kan jika dilakukan sebelum menikah. Sepertinya, ia harus kembali sekolah biar paham. "Fitriii! Naik!" Ucapan Mas Ali membuatku tersentak kaget. Aku memilih tetap membisu. Mas Ali membunyikan klakson berkali-kali sebelum akhirnya menjalankan mobilnya dengan kecepatan pelan. Rasanya begitu puas melihatnya amat marah. "Lelaki barusan yang dijodohkan denganmu?" Pak Danu membalikkan badan menghadapku. Aku mengangguk lirih. "Dia terlihat bukan lelaki baik-baik. Untung kamu belum menikah dengannya, Sya." Pak Danu menggenggam tanganku. Duuh, sungguh rasanya tidak nyaman. Bagaimana mengatakan yang sebenarnya bahwa kami sudah menikah? "Ayo, masuk, kuantar kamu pulang." Aku menurut, segera masuk lalu duduk di jok dengan perasaan tak nyaman. Bayangkan saja, kami tak pernah sedekat ini sebelumnya. Aku dan bos begitu asing. Lalu sekarang ... aku menatap Pak Danu. Permainan ini harus diakhiri sebelum Pak Danu semakin salah paham. "Pak?" "Ya?" sahutnya tanpa menoleh. Duuh, bagaimana cara mengatakannya? Sungguh takut dan tak tega. Pak Danu bilang ia sudah lama mencintaiku, bagaimana bisa? Kenapa harus takut mengatakannya? Andai 4 bulan yang lalu situasi seperti ini terjadi, pasti aku takkan dijodohkan dengan Mas Ali karena sudah memiliki kekasih. Pak Danu ini begitu sempurna, bodoh jika menolak lelaki seperti Pak Danu. Sudah kaya, pendiam, tapi terlihat menantang. Siapa yang tak tergila-gila, coba? "Ada apa?" Kali ini ia menoleh. "Maaf, aku ...." Katakan bahwa sebenarnya kamu sudah menikah, Fit! Cepat katakan! Batinku menjerit. "Apa?" Pak Danu kembali menoleh. "Emmp ... aku ... maafkan aku udah ngerepotin bapak!" Jemariku yang saling meremas sedikit gemetar. Dadaku bertabuh kencang. Ampuuun, deh! Begitu sulit mengatakan yang sesungguhnya. Ia tersenyum tipis. "Sudah kubilang aku juga menyukaimu. Sya, mulai sekarang aku akan selalu di sampingmu." Ia menoleh, tersenyum kecil. Sungguh manis sekali. Andaikan kamu seperti ini, Mas Ali. Bergegas kurogoh tas saat mendengar dering HP. Satu pesan masuk. Dari Mas Ali. Mau kuadukan ibumu? Langsung kudelete. HP-ku kembali berbunyi. Sebuah foto Ibu sedang minum teh di teras rumah. Mataku melebar. Apa jangan-jangan Ibu berkunjung ke rumah? Ibu pasti marah-marah jika mendapati anak bungsunya pulang diantar lelaki lain. Semoga Mas Ali tak cerita macam-macam. "Pak, aku turun sini aja." "Mana rumahmu?" Pak Danu menoleh padaku, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Ma ... masih jauh, Pak. Tapi aku lapar pengen beli bakso dulu di sana!" kataku spontan. Tanpa mengatakan apa pun Pak Danu menepikan mobil. Akhirnyaaa. Sungguh canggung lama-lama berada di dekat Pak Danu. Dan lagi, aku takut ketahuan Ibu pulang diantar lelaki, sungguh tak mau membayangkan. Lebih baik begini saja, meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Aku membuka pintu. Aku baru saja mengembuskan napas lega sambil merentangkan tangan saat menyadari Pak Danu berdiri di dekatku. "Eh, Pak, ada apa?" "Aku juga lapar. Yuk, makan." Alamaak, benar-benar akan mati nih kayaknya aku. Dengan langkah pelan akhirnya kuikuti Pak Danu menuju penjual bakso. Aku segera duduk, lalu makan dalam diam saat pesanan diantarkan. Bagaimana nanti kalau pak Danu ngotot ingin mengantar? Semoga saja tidak. Ibu pasti akan mencak-mencak jika melihatku pulang diantar oleh lelaki lain. Bisa panjang urusannya. "Bolehkan aku mampir ke rumahmu, Sya? Ada yang ingin kukatakan pada ibumu." Uhuk! Huk! Aku tersedak bakso. Pak Danu langsung menepuk-nepuk punggungku. Segera kuambil teh lalu menyeruputnya sampai habis. "Aku akan bilang pada ibumu akan menikahimu." Uhuk! Uhuk! Aku kembali tersedak. Terasa panas dan tak nyaman tenggorokanku ini. "Hati-hati." Pak Danu memberikan gelas tehnya. Ini karena kamu, Pak. Asal saja bicara. "Sya." Pak Danu menatapku lekat. "Kamu tau kita sama-sama sudah dewasa, kan? Aku tak suka hubungan yang kekanak-kanakkan. Jadi, aku akan melamarmu." Aku lagi-lagi tersedak. Ini benar-benar petaka. Sudah pasti petaka. #Jangan lupa follow akunku dan sentuh love jika cerita ini menghibur, yaa, Teman. Biar kamu dapet notif saat cerita UP.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN