Setelah itu, Quinn berjalan menuju ruang tamu, sedangkan aku naik ke lantai atas untuk mengambil sesuatu di kamarku.
Benar saja ketika kakiku menapak di lantai 2, sosok Pak Dewa nggak terlihat. Pintu kamarnya juga masih tertutup rapat. Suasana di lantai 2 ini benar-benar sunyi, sepi, dan senyap. Pasti pria itu masih terpejam.
Baru setengah dari seluruh anak tangga kuturuni, suara Laquinna dari ruang tamu sudah masuk ke dalam indra pendengaranku. "Bunda..." panggil gadis itu dengan pekikannya.
“Iya, sebentar,” balasku sambil menuruni tangga dengan cepat.
Sticky note yang baru saja kuambil dari kamarku itu, segera aku tempelkan ke atas meja. Lebih tepatnya di sebelah piring makan yang berisi sarapan milik Pak Dewa yang sudah ditutupi dengan tudung saji.
Ini sarapan untuk Bapak. Silahkan menikmati :). Aku membaca sekali lagi tulisan yang ada di sticky note yang baru saja kutempel itu di dalam hati sebelum menghampiri Laquinna yang ada di ruang tamu.
"Ada apa, Quinn?" tanyaku sembari berjalan menghampiri gadis itu lalu berjongkok di depannya yang sedang duduk di atas sofa.
"Bantuin... Quinn nggak bisa," rengeknya sambil menyodorkan sebelah pasang kaus kakinya padaku. Aku hanya bisa terkekeh ketika mendapati sebelah kaus kaki lainnya yang sudah terpasang di kaki kanannya.
Kepalaku menggeleng kecil sembari membenarkan letak kaus kakinya yang nggak beraturan itu.
"Ini garisnya harus di depan, Sayang. Bukan di belakang," jelasku sambil memakaikan belahan kaus kaki lainnya pada kaki kiri Laquinna.
"Makasih, Bunda. Ayo, kita berangkat!" ujar Quinn yang langsung meraih tanganku ke dalam genggamannya setelah mendaratkan sebuah kecupan di pipiku.
Aku menepuk pelan keningku ketika menyadari ada sesuatu yang masih tertinggal di dalam rumah.
"Eh, Quinn tunggu di sini sebentar, ya. Tas kamu ketinggalan di atas sofa,” kataku pada Quinn sebelum berjalan cepat untuk kembali masuk ke dalam rumah.
Setelah meraih tas sekolah milik Quinn di atas sofa, sebuah suara yang memanggil namaku dari arah ruang makan terdengar sebelum aku sempat menutup pintu utama. Suara siapa lagi itu kalau bukan suara milik Pak Dewa. Hanya tersisa pria itu seorang diri di dalam rumah karena Laquinna sedang menungguku di teras depan.
"Alisha!" panggil Pak Dewa yang sudah berdiri sambil bersandar pada sekat pembatas antara ruang tamu dan ruang makan. Pria itu muncul di hadapanku tanpa mengenakan atasannya. Huh, masih juga sepagi ini, tapi Pak Dewa sudah mau mencemari mencemari mataku yang suci ini dengan perutnya yang kotak-kotak seperti roti sobek itu dan tato yang ada di beberapa bagian tubuh atasnya.
"Kamu nanti langsung balik ke sini. Nggak perlu tungguin Laquinna di sekolah," titah Pak Dewa.
"Kalau boleh saya tau, mau ngapain, ya?" tanyaku yang belum mengiyakan perintahnya barusan.
Kepalaku berpaling ke belakang untuk melirik Laquinna yang sudah berlari masuk ke dalam mobil. Gadis itu meninggalkanku yang masih berdiri di ambang pintu dengan ayahnya yang sedang bersandar pada sekat pembatas antar ruangan.
"Udah, kamu nggak perlu banyak tanya. Tugas kamu hanya mematuhi perintah saya, Alisha. Mengerti?"
Ya, ampun. Padahal aku bertanya secara baik-baik dan penuh kelembutan, tetapi malah kalimat seperti itu yang keluar dari mulut Pak Dewa. Aku jadi heran, sebenarnya posisiku saat ini adalah baby sitter untuk putrinya atau apa, sih? Atau jangan-jangan sebenarnya job desc-ku juga sekaligus merangkap sebagai pesuruhnya?
"Baik," balasku cepat. Setelah berkata demikian, aku menutup pintu utama dengan gerakan cepat cepat, meninggalkan Pak Dewa yang masih bersandar pada sekat pembatas ruangan dengan otot perutnya yang menyebul seperti susunan roti sobek itu.
"Pipi Bunda kenapa merah banget?" celetuk Laquinna ketika aku baru saja memasuki mobil dan duduk di sebelah gadis itu. Tanpa sadar, tanganku menempel pada salah satu pipiku dengan pelan.
"Eh, emang iya?” tanyaku sambil menatap Laquinna yang juga sedang menatapku. “Bunda juga nggak tau kenapa. Mungkin kepanasan," lanjutku menyudahi percakapan ini. Takut-takut akan membangkitkan rasa penasaran Laquinna sehingga gadis itu bertanya lagi.
Ngeles aja terus, Al. Bilang aja kalau kamu tergiur sama roti sobek gratis yang terpampang di hadapanmu tadi, batinku dalam hati.
Pipiku kembali terasa panas ketika mencerna kalimat yang baru saja kuucapkan di dalam hati. Sepertinya pipiku sudah lebih merona daripada sebelumnya. Sedangkan Quinn, gadis kecil itu malah tertawa ketika mendapati pipiku yang kembali memerah.
"Ih, pipi Bunda makin merah. Kayak stroberi, Bun."
"Quinn, semalam tidur sorenya bangun jam berapa?"
"Jam enam lewat," jawab Laquinna.
"Siapa yang bangunin kamu? Kenapa Bunda nggak dibangunin?" tanyaku lagi.
"Ayah yang bangunin. Kata Ayah, nggak usah bangunin Bunda," jelas Quinn. Ada satu bagian di sudut hatiku yang terasa aneh ketika mengetahui fakta tersebut.
Perjalanan dari rumah menuju sekolah Laquinna berjalan lancar. Entah kenapa, pagi ini kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya nggak terlalu ramai sepertinya biasanya sehingga hanya memakan waktu kurang dari 20 menit untuk sampai di sekolah Quinn.
"Pagi, Neng Geulis,” sapa sebuah suara ketika aku dan Laquinna baru saja sampai di depan kelas gadis itu.
Astaga, baru juga sampai. Eh, udah ada kembaran Ryan Guzman yang gangguin aja. Nggak bisa apa sehari aja nggak perlu ketemu manusia dari Gua Hantu ini?
"Pagi," jawabku sekenannya dengan seulam senyum yang sangat tipis, nyaris seperti sebuah garis linear. Seharusnya pria ini sadar diri kalau aku sudah nggak nyaman dengan sikapnya yang terlalu menunjukkan kedekatan sepihak, alias sok kenal sok dekat. Padahal faktanya kami baru berkenalan dan hanya bertemu beberapa kali saja.
Geraldo, si manusia dari Gua Hantu itu menggandeng tangan putranya di sebelah kiri dan berjalan di sisi kiriku. Sedangkan tangan kananku sibuk menggandeng tangan Laquinna.
Sepanjang koridor kelas, kulihat beberapa ibu berbisik sambil menatap kami yang berjalan menyusuri koridor tersebut. Orang Indonesia nggak pernah bisa bermusuhan dengan kata kepo. Kalau nggak kepo dan julid, bukan orang Indonesia sepertinya. Atau kemungkinan besar, orang itu terlahir di negara yang salah.
Namun, ada juga yang menatap kami dengan senyuman dan melontarkan beberapa candaan yang membuatku harus banyak-banyak mengelus d**a. "Udah kayak keluarga bahagia aja, ya."
Ugh! Kalau bisa, ingin sekali kutendang b****g pria di sebelahku ini sampai melayang ke Planet Merkurius dan nggak perlu balik lagi ke Bumi. Setiap kali aku memperlambat langkah kakiku, pria itu juga melakukan hal yang sama sehingga langkah kami terus saja selaras sedari tadi. Dan hal itu benar-benar membuatku kesal setengah mati pada Geraldo.
"Ayo, nanti setelah ini kita pulang sama-sama. Aku antar kamu."
Enak aja! Situ kira aku cewek apaan sampai bisa segampang itu diajak pulang bareng?!
"Terima kasih, tapi nggak perlu, Geraldo. Supirnya Quinn masih nunggu di parkiran," tolakku.
"Suruh supirnya pulang aja. Kamu bareng sama aku aja. Gimana?" tawarnya dengan nada yang berusaha mempersuasifku.
Aku memberikan sebuah gelengan kepala sebagai jawaban atas tawarannya.
"Kenapa?" tanya Geraldo dengan nada yang sarat akan keingin tahuan yang besar.
Sepertinya Ibu-ibu yang melewati kami berusaha mencari tahu apa yang sedang kubicarakan dengan Geraldo. Mungkin mereka penasaran dengan apa yang sedang dibicarakan idola para ibu seantero playgroup ini dengan perempuan biasa seperti diriku yang hanya memakai pakaian kasual yang lebih cocok untuk digunakan sebagai baju rumahan. Benar-benar perbedaan yang sangat jomplang. Secara Geraldo memakai pakaian kerjanya dengan sepatu pantofel yang mengkilap, sedangkan aku hanya memakai kaos polos dan celana linen bercorak yang baru saja kubeli dari toko online ketika Pak Dewa mengembalikan uang p********n kost-ku sesuai dengan janjinya.
Sebagian besar dari mereka adalah pengasuh yang menunggu anak asuhnya. Tapi banyak juga ibu-ibu yang sedang menunggui anak mereka sembari membentuk grup untuk bergosip ria seperti saat ini.
"Aku udah ada janji dengan seseorang," jelasku yang semakin jelas menolak tawarannya tadi.
Pria itu mendesah pelan kemudian mengangguk mengerti. Untungnya pria itu mengerti dan nggak memaksakan kehendaknya padaku. Tapi karena pria itu hanya mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, hal itu malah membuatku merasa nggak enak hati karena menolak tumpangan gratis dari kembaran Ryan Guzman ini.
*
Aku akhirnya langsung pulang setelah mengantar Laquinna sampai ke depan pintu kelas dan memastikan gadis kecil itu sudah duduk di bangkunya dengan manis dan aman.
Indra pendengaranku menangkap sebuah suara yang berasal dari arah taman belakang sekaligus tempat di mana kolam renang berada ketika berjalan menuju ruang tamu.
Dari balik pintu pembatas antara ruang tamu dan taman belakang yang sedikit terbuka, aku bisa melihat Pak Dewa yang sedang berenang di sana. Pria itu berenang bolak-balik memutari kolam itu dengan gaya luwesnya.
"Kenapa pintunya nggak ditutup rapat, sih?" Biar badannya yang bagus itu gratis dilihat orang gitu?" cibirku pada diri sendiri.
Padahal aku tahu, walaupun pintu itu tertutup rapat, tetap saja sosok pria itu bisa terlihat dengan jelas karena hampis semua material pintu pembatas itu terbuat dari kaca transparan yang hanya dilapisi dengan vitrase tipis bewarna putih gading.
Karena terlalu sibuk dengan pemikiranku sendiri, tanpa kusadari, Pak Dewa sudah berjalan menuju arahku. Pria itu hanya mengenakan handuk yang melingkari pinggang dengan tangan yang sedang mengusap rambutnya dengan secarik handuk kecil.
Ngapain lagi pakai acara jalan kesini, sih? Mau tunjukkin pemandangan yang iya-iya?! batinku berteriak dalam hati ketika mendapati tubuh Pak Dewa yang dialiri bulir-bulir air.
Senyum asimetris tersungging di bibir pria itu dengan matanya yang menatapku intens. "Ngapain kamu lihatin saya sampai begitu?" tanya Pak Dewa ketika pria itu sudah berdiri di hadapanku.
Aku gelagapan mendapati tubuh kami yang sedang berdiri berhadapan, apalagi dengan kondisi Pak Dewa yang sangat meresahkan seperti ini. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Pak Dewa sudah lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Mau mandi bareng saya?"
Oh Tuhan, bolehkah aku bersembunyi di balik handuk yang sedang melingkari pinggang pria ini?
Eh?!