Bad Ayah - Part 9a

1602 Kata
Ingatkan aku untuk mendatangi dukun yang ada di pedalam hutan untuk sekadar meminta sesajen yang ampuh untuk menyantet Pak Dewa yang mulutnya minta ditampol itu. "Bapak mau dimandiin juga sama kayak Laquinna?" tanyaku lalu memberi jeda sebentar. "Yuk, sini. Saya bisa mandiin bayi besar kok kalau mau," ejekku kemudian berlari ke lantai atas menuju kamarku. Sebelum pintu sempat kukunci dari dalam, sebuah suara menggelegar sudah terdengar sampai ke lantai atas dan masuk ke dalam indra pendengaranku."ALISHA DANISHWARA, jangan lari kamu!" Aku terbahak sambil berjalan menuju kursi yang ada di depan meja rias kemudian duduk di sana. Oh iya, kenapa aku bisa lupa menanyakan untuk apa aku disuruh pulang tanpa perlu menunggu Laquinna seperti biasanya, ya? Ah, nanti saja baru kutanyakan pada Pak Dewa setelah pria itu membenahi cara pakaiannya agar nggak mencemari mata dan otakku yang sudah mulai berbelok ke sana ke mari. Tawaku yang awalnya lebar, kini terhenti ketika mendapati beberapa lembar foto yang berserakan di dalam laci meja rias yang lupa kututup rapat tadi pagi. Dengan tangan bergetar, kukeluarkan lembaran foto-foto itu dari laci meja rias. Tatapanku berubah nanar ketika mendapati rupa kedua orang tuaku yang ada pada lembaran foto tersebut. Foto itu kuambil secara diam-diam dengan kamera ponsel bututku dulu ketika mereka sedang duduk di teras depan rumah. Kalau saja saat itu mereka memergokiku yang sedang mengabadikan foto mereka, mungkin cacian dan makianlah yang akan kudapatkan. Entah dosa apa yang kuperbuat sampai-sampai keluargaku bisa membenciku seperti saat ini, batinku miris dalam hati. Jangan kalian pikir semua barang elektronik kepunyaanku itu dibelikan oleh kedua orang tuaku. Nggak sekali pun mereka pernah memanjakanku dengan barang-barang seperti itu.  Semua barang  elektronik milikku berasal dari uang yang kukumpulkan sendiri dengan keringat dan jerih payahku sekian tahun dengan menjadi joki menulis dan mengerjakan tugas dari SMP sampai SMA dan office girl. Aku rela menahan lapar demi menabung seluruh uang hasil kerjaku itu. Selama lebih dari 10 tahun bersekolah, sepertinya nggak pernah ada satu pun kotak bekal yang pernah mereka berikan padaku, jadi aku selalu melewatkan makan siang dan hanya bisa makan ketika sudah berada di rumah. Yang selalu menjadi prioritas mereka adalah Kak Amel. Semua fasilitas dan kasih sayang mereka, dicurahkan sepenuhnya pada kakakku itu. Bahkan seluruh pekerjaan rumah tangga, akulah yang harus mengerjakannya. Rumah seluas itu nggak ada satu pun asisten rumah tangga. Setelah asisten rumah tangga yang terakhir mengundurkan diri sekitar 5 tahun yang lalu, semua itu menjadi tugasku. Setiap pagi aku harus bangun pagi-pagi buta untuk menyuci baju kemudian menjemurnya. Dan sehabis pulang sekolah sekitar jam 1, aku harus menjadi office girl shift siang sampai jam 5 di sebuah perusahaan start up yang nggak terlalu besar. Sorenya setelah kembali ke rumah, seluruh pekerjaan rumah seperti mengepel, mengelap perabot dan menyuci piring adalah makananku sehari-hariku kala itu. Pernah aku melayangkan protes satu kali pada ibuku dan berakhir dengan pukulan di betisku dengan gagang sapu sampai-sampai garis-garis memar bewarna biru tercetak dengan jelas di sana. Tapi akhirnya penderitaanku sedikit berkurang setahun terakhir setelah Mbak Yamin mulai bekerja di rumah, walaupun aku masih harus melakukan semua pekerjaan rumah kala itu, setidaknya bobotnya sudah nggak sebanyak dan seberat sebelum Mbak Yamin bekerja. Aku meletakkan kembali foto-foto itu ke dalam lemari meja rias dan menutupnya dengan rapat. Sekarang fokusku hanyalah untuk melanjutkan hidup dan meninggalkan masa lalu yang nggak ingin kuratapi lagi. * "Loh... loh, Pak! Ini saya mau dibawa ke mana?" tanyaku panik ketika tanganku ditarik oleh Pak Dewa. Enak sekali pria ini bisa berbuat seenak jidatnya seakan-akan aku memang benda yang pantas ditarik ataupun diseret seperti yang dilakukannya saat ini. "Tinggal ikut aja susah banget, ya?" tanyanya Pak Dewa dengan nada suara mendesis. Huh, dasar! Pria ini nggak ada bedanya dengan diktator. Tangan Pak Dewa membuka pintu mobil penumpang bagian belakang lalu mendorongku ke dalam tanpa aba-aba. Hampir saja kepalaku menghantam kerangka mobilnya kalau saja aku nggak refleks menundukkan kepala sedikit. Sosok Pak Amrin tampak duduk di balik kemudi, pria paruh baya itu tersenyum padaku lewat kaca spion tengah sehingga aku membalas senyuman beliau dengan seulas senyum tipis padahal pada faktanya aku sedang kesal setengah mati dengan atasannya yang sudah duduk di sebelahku ini. "Saya juga perlu tau mau dibawa kemana, Pak. Jangan-jangan Bapak mau bawa saya ke tempat human trafficking, ya?" tanyaku sambil menatap Pak Dewa yang duduk dengan santainya di sebelahku. Astaga! Aku nggak mau dijual kemudian dijadikan b***k atau yang lebih parahnya lagi dijadikan p*****r untuk melayani pria-p****************g yang nggak bisa menahan birahi mereka. Oh, tidak! Aku nggak mau! "Suara kamu itu! Telinga saya bukan toa masjid, jadi nggak perlu pakai teriak segala!" balas pria itu dengan mata menyipit yang menyorotkan kekesalan padaku. Aku hanya bisa memberikan sebuah cengiran kecil pada Pak Dewa. Lagipula, siapa suruh pria itu menarikku sesuka hatinya tanpa bertanya lebih dulu, ‘kan? Ini bukan sepenuhnya salahku kalau aku bereaksi seperti ini. "Habisnya Bapak bikin saya kaget. Main seret-seret seenak jidat aja. Kalau tangan saya cedera, atau lebih parahnya putus dari tempatnya gimana?" gumamku bertanya sekaligus melayangkan protes pada pria itu. Mobil yang kami tumpangi akhirnya berhenti di salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kotaku. "Oh, Bapak mau ngajak saya jalan? Nge-mall begitu?" tanyaku tanpa malu dengan muka setebal tembok Cina. "Silakan berkhayal aja terus," dengus Pak Dewa sebelum keluar dari mobil yang diikuti olehku di belakangnya. Aku berjalan mengekori Pak Dewa menuju sebuah salon yang sedang sangat hype akhir-akhir ini. Aku banyak mendengar pujian dari media sosial tentang salon ini, tapi seingatku, harga untuk bisa dimanjakan di salon ini juga sangat fantastis. Setelah berbicara dengan wanita yang ada di balik meja kasir, Pak Dewa keluar dari salon tanpa mengatakan apapun dan membiarkan tanganku ditarik oleh seorang pria setengah wanita untuk duduk di sebuah kursi yang sudah tersedia di depan kaca. "Aduh, kulit kamu, Beb. Kusam banget! Nggak pernah perawatan, ya? Muka cantik begini kok dianggurin, sih?" tanyanya sambil menyentuh pipiku, lebih tepatnya membelai. Ulah pria setengah wanita yang berdiri di belakangku ini sukses membuat bulu kudukku merinding. Aku bergidik ngeri menatap kukunya yang panjang dan setajam cakar elang dengan warna hijau neon itu. Takut-takut kuku-kukunya itu akan melukai atau bahkan menancap di pipiku kalau aku bergerak salah arah sedikit saja. "Mas, i—itu kukunya..." Ucapanku sudah terlebih dahulu dipotong olehnya sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku. "Heh! Jangan panggil eike Mas dong! Panggil Beby. B-E-B-Y.” Iya, Beb. Sak karepmu. Ora ngurus! Dua jam terasa berlalu dengan cepat karena aku sibuk berpetualang ke alam mimpi sedari tadi, mengabaikan semua ocehan Beby sejak awal yang bisa membuat otakku menjadi panas dan telingaku menjadi budeg. "Beb, melek dong!" Pipiku terasa ditepuk beberapa kali karena nggak kunjung membuka mata dengan lebar. "Mas Beby! Eh, Mbak Beby maksud saya. Ini kenapa muka saya kayak ondel-ondel begini?" tanyaku sembari melotot melihat wajahku yang sudah diriasnya. Pada cermin yang ada di hadapanku, sosok Alisha kini sudah berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. "Ondel-ondel dari mana, Mbak?! Enak aja, masterpiece eike kamu bilang dandanan ondel-ondel. Saya pakai make up sekelas Charlotte Tilbury dan Burberry untuk dapat look se-glam ini!" pekiknya histeris. Ah, lebay! "Gila, Beb. Muka kamu sekarang bahkan udah bisa disandingi sama beberapa Angel Victoria's Secret! Be grateful, please." Tangan Mas Beby menunjukkan beberapa bagian wajahku. “Tolong lihat muka kamu di pantulan cermin. Mata kamu warnanya coklat madu dengan bentuk almond, bulu mata lentik sampai menyentuh kelopak, tulang hidung dan tulang pipi tinggi, bibir penuh dan mereka. Astaga, kecantikan apa lagi yang kau dustai?” lanjut Mas Beby sambil menghela napas. Aku hanya mengangguk pelan ketika mendengar pria setengah wanita itu menegaskan bentuk fisikku yang menurutnya sangat elok. Aku... hanya belum terbiasa melihat keadaanku yang begini. Maksudku, bukan dandanan Mas Beby yang terlalu menor layaknya badut di festival, aku hanya merasa ini terlalu, hmn... berlebihan karena aku belum pernah berdandan sekali pun sebelumnya. "Jangan coba-coba kamu hapus make up itu atau Sadewa Airlangga akan membakar salonku lalu menggorok leherku hidup-hidup," ancamnya dengan suara aslinya yang berat layaknya pria normal. * Setelah mendapat pesan dari Manusia Es alias Pak Dewa yang tidak bertanggung jawab karena meninggalkanku seorang diri di salon tadi, aku segera turun ke lobby mal sesuai titahnya. Pria itu mengutus Pak Amrin untuk menjemputku dan sepertinya pria paruh baya itu sudah hampir sampai di mal ini. Enak banget, ya, jadi orang kaya. Tinggal masuk ke mobil, udah langsung dingin. Nggak perlu panas-panasan gara-gara naik angkot, gumamku ketika sudah duduk di kursi penumpang bagian belakang. Tentunya setelah menyapa Pak Amrin yang sedang duduk di balik kemudi terlebih dahulu. Mataku menerawang menatap ke luar jendela untuk meneliti langit yang tampak mulai mendung. Sepertinya akan hujan sebentar lagi. Kamu juga sebentar lagi bakal jadi orang kaya, Al. Orang kaya baru mendadak maksudnya. Eh, bukan! Lebih tepatnya istri orang kaya selama setahun, batinku pada diri sendiri. * Sebelum mobil yang dikemudikan oleh Pak Amrin sampai di rumah, hujan sudah mulai mengguyuri bumi dengan membabi buta. Kedua netraku menangkap seekor anak kucing yang tengah kehujanan di depan gerbang utama ketika sedang menunggu gerbang itu terbuka. Tanpa pikir panjang, aku langsung turun dari mobil dan menerobos hujan tanpa aba-aba. Kasihan sekali kucingnya, dia pasti kedinginan banget diguyur hujan, batinku sembari berlari menghampiri kucing tersebut. Seakan lupa dengan riasan yang sudah dibuat oleh Mas Beby beberapa jam yang lalu, aku mengangkat kucing malang itu kemudian meletakkannya di tempat yang aman dari hujan, yaitu teras depan rumah Pak Dewa. Suara Pak Amrin yang berteriak memanggilku pun kuabaikan. Nahas, ternyata kaki kanan kucing ini terluka dan mengeluarkan darah. Aku berlari kecil masuk ke dalam rumah untuk mencari kotak P3K, tentunya untuk mengobati luka si kucing. Namun baru dua langkah aku memasuki rumah, sosok Pak Dewa yang sedang duduk di atas sofa tampak di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN