"ALISHA!" panggil Pak Dewa dengan nada suara yang meninggi setelah aku duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan meja makan. Ekspresi kesal tampak ketara di wajah pria itu.
Keningku mengerut saat mendapati ekspresi kesal yang tercetak di wajah Pak Dewa. Astaga, di mana lagi salahku kali ini? Jelas-jelas pria itu sendiri ‘kan yang menyuruhku untuk duduk tadi? Sepertinya semua yang aku lakukan selalu bertentangan dengan norma kebenaran yang dianut oleh pria itu.
"Apa saya bisa menularkan virus mematikan sampai-sampai kamu memilih untuk duduk di ujung meja?" tanya Pak Dewa sambil menatapku lekat dengan tangan yang terlipat di depan dadanya.
"Jadi, seharusnya saya duduk dimana, Pak?" tanyaku berusaha bersabar pada pria yang sangat sulit dimengerti itu. Seandainya bisa, aku sudah ingin sekali melempar sendok dan garpu yang ada di genggamanku. Atau setidaknya melemparkan piring ke arah pria itu seperti melempar cakram lalu menjungkir balikkan meja makan ini ke arahnya.
Tapi nahasnya, semua yang ingin kulakukan itu hanya bisa terjadi di dalam benakku yang suka berimajinasi dengan liar—tanpa tanda kutip tentunya.
"Bunda seharusnya duduk di samping Ayah. Bunda duduknya nggak boleh jauh-jauh. Ayo, kita makan sama-sama."
Pertanyaan yang kulayangkan pada Pak Dewa malah dijawab oleh Laquinna, sedangkan pria itu bungkam tanpa menjawab sepatah kata pun dan memilih untuk melanjutkan makannya.
"Anak usia 5 tahun bahkan lebih mengerti manner daripada kamu. Saya penasaran, sebenarnya berapa usiamu yang sebenarnya, Alisha," sindirnya ketika aku baru saja menyuapkan suapan pertama ke dalam mulut.
Dingin, kasar, dan nggak berperikemanusiaan. Sepertinya belum ada satu hal baik yang kudapatkan dari Pak Dewa sampai saat ini. Kenapa bisa pria berspesies seperti ini masih belum punah di muka bumi ini?
Aku menelan makanan yang ada di dalam mulutku dengan kesal. Untung-untung, makanan itu nggak tersangkut di tenggorokanku.
"Umur saya udah jelas banget di KTP, Pak. Bapak ‘kan udah baca sendiri kemarin,” jawabku dengan emosi yang tertahan padahal pada faktanya, api sudah berkobar-kobar di atas kepalaku. “Atau jangan-jangan dia mengidap dyslexia, ya?" gumamku pelan lalu kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut.
Mataku sontak melotot ketika menyadari apa yang baru saja aku ucapkan. Walaupun hanya sebuah gumaman, nggak menutup kemungkinan kalau Pak Dewa bisa mendengar kalimatku dengan jelas.
Udah nggak waras kamu, Alisha. Minta banget mau dipecat? rutukku dalam hati dengan mata yang terpejam.
"Maaf," gumamku sekali lagi. Entah Pak Dewa mendengarnya atau nggak, intinya aku sudah meminta maaf padanya. Setidaknya kalau pun pria itu nggak mendengar, Tuhan tahu segalanya dan Ia adalah Maha Pemaaf yang akan memaafkan kesalahan umatnya.
Karena Pak Dewa nggak berkata apapun dan fokus dengan makanan yang ada di hadapannya, kuasumsikan bahwa pria itu nggak mendengar kalimatku tadi.
Dalam hati aku bersujud syukur karena kalimat belum disaring yang keluar dari mulutku sebelumnya, nggak masuk sampai ke indra pendengaran Pak Dewa.
Suasana di ruang makan ini menjadi sangat kondusi. Hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring.
*
Setelah membantu Bik Tanti membereskan area dapur beserta ruang makan, dan membiarkan Laquinna menikmati serial kartun yang tayang di salah satu stasiun TV selama 30 menit, aku akhirnya mengajak gadis itu untuk mengikutiku menuju kamarnya.
Awalnya gadis itu menolak untuk mengikutiku karena ia tahu aku pasti akan menyuruhnya untuk mengerjakan tugas sekolah yang diberikan oleh gurunya secara berkala. Apalagi di kamarnya sendiri, Pak Dewa nggak mengizinkan adanya TV di sana sehingga tekad gadis itu semakin kuat untuk menolak ajakanku.
Aku bahkan harus membujuk Laquinna dengan tenaga extra agar gadis itu mau menerima ajakanku. Pada akhirnya, gadis itu mau juga menuruti titahku setelah bujuk rayu yang panjang.
Setelah membantu Laquinna mandi lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian rumah yang nyaman, gadis itu lalu duduk di kursi belajarnya dengan ekspresi wajah ogah-ogahan yang ketara.
Entah sudah berapa jam aku dan Laquinna berkutat pada tugas sekolah gadis itu sampai-sampai Laquinna sudah mulai merengek untuk menyudahi acara mengerjakan tugas ini. Gadis itu bahkan berkata bahwa ia lebih memilih untuk tidur siang daripada harus lanjut mengerjakan tugasnya itu.
Selama beberapa menit, aku terus mendorong Laquinna untuk menyelesaikan tugasnya karena hanya tersisa dua soal saja yang belum terjawab. Setelah tugas sekolah Laquinna sudah terjawab semua, aku memutuskan untuk mengajak gadis itu untuk tidur siang karena nggak tega mendengar rengekannya yang sangat manja itu.
Laquinna menyodorkan kedua lengannya padaku, menandakan bahwa gadis itu memintaku untuk mengangkatnya ke dalam gendonganku. Padahal jarak dari meja belajarnya ke tempat tidur gadis itu bahkan nggak sampai satu meter.
Tapi sebagai hadiah atas kepatuhannya atas titahku, aku pun menuruti permintaan gadis itu untuk mengangkatnya ke dalam gendonganku. Lengan mungil Laquinna kemudian melingkari leherku dengan erat dan menenggelamkan wajahnya di antara leher dan pundakku.
*
Kesadaranku perlahan kembali ketika mendengar suara berderit yang berasal dari pintu yang dibuka. Walaupun nyawaku belum sepenuhnya terkumpul, namun indra pendengaranku masih bisa menangkap suara derap kaki yang berjalan mendekatiku. Aku bahkan sampai nggak tahu pukul berapa saat ini, entah sudah berapa jam aku ketiduran karena menunggui Laquinna agar terlelap tadi.
Meskipun aku tahu ada seseorang yang mendekatiku, namun mataku menolak untuk terbuka. Rasanya seperti ada lem yang merekat kuat pada kedua kelopak mataku.
"Terima kasih."
Suara yang disertai dengan sebuah elusan pada puncak kepalaku bagaikan sebuah lagu pengantar tidur sehingga membuatku kembali ke alam mimpi.
*
Mataku perlahan terbuka. Kedau indra penglihatanku itu menyipit untuk beradaptasi dengan cahaya lampu tidur. Kulirik jam yang tergantung di dinding bagian atas, ternyata jarum pendeknya sudah berada di antara angka 6 dan 7.
Keningku mengerut ketika mendapati interior kamar yang berbeda. Oh, aku baru teringat kalau kemarin aku terlelap di kamar Laquinna ketika menemaninya tidur. Maka di sinilah aku, bukan di kamarku sendiri, melainkan di kamar Laquinna.
Ya ampun! Bisa-bisanya aku ketiduran dari kemarin sore sampai pagi ini. Dasar babysitter nggak becus kamu, Alisha, rutukku di dalam hati sambil memukul pelan kepalaku.
Kepalaku kemudian menoleh ke sebelah di mana Laquinna masih terlelap di sana. Gadis itu masih bergelung di dalam selimut hangat miliknya, namun kakinya sudah keluar dari selimut itu dan menimpa pahaku. Sedangkan gulingnya sudah jatuh ke lantai dengan bantal yang letaknya sudah bukan lagi di bawah kepala Quinn.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala ketika melihat gaya tidur Laquinna yang absurd itu. Kedua tanganku mengangkat pelan tubuh gadis itu untuk meninggalkan tempat tidurnya lalu mendudukkannya di kursi meja yang berhadapan dengan meja belajarnya.
Bukan perkara yang mudah ketika membujuk Quinn untuk membuka matanya. Gadis itu meracau nggak jelas dengan mata yang setengah terpejam. Dan yang lebih parah lagi, kini gadis itu sudah menelungkupkan kepalanya pada meja belajar dengan sebelah pipinya yang menempel di permukaan meja.
Setelah beberapa menit membujuk Quinn, akhirnya gadis itu mengalah dan mau menuruti titahku. Aku membantunya berjalan menuju kamar mandi dan menanggalkan pakaian dari tubuhnya. Laquinna kemudian masuk ke dalam kamar mandi tanpa kutemani karena gadis itu menolak dengan alasan ia sudah bisa mandi sendiri. Aku mengiyakan permintaannya lalu menyiapkan seragam dan keperluan sekolah untuk gadis itu.
*
Aku berjalan menuruni tangga dengan tangan yang bertautan dengan milik Laquinna. Jari-jari kecil gadis itu menelusup di antara jari-jariku.
Karena Bik Tanti belum datang sepagi ini, maka akulah yang bertugas membuat sarapan. Laquinna berjalan menuju ruang tamu setelah melepaskan tautan tangan kami. Gadis itu pasti ingin menonon kartun di televisi.
Sedangkan aku berjalan menuju area dapur lalu membuka pintu kulkas. Mataku meneliti semua isi kulkas satu per satu, tapi sepertinya nggak ada bahan makanan yang bisa kuolah dalam waktu yang singkat.
Hampir semua isi di dalam kulkas itu adalah sayuran yang belum dicuci, buah-buahan dan daging-daging beku. Akhirnya aku memutuskan untuk meraih dua butir telur dari pintu kulkas dan sekotak kecil s**u UHT.
Tanganku kemudian mengambil roti tawar di atas meja dan bahan-bahan lain yang diperlukan seperti ekstrak vanila dan bubuk kayu manis di lemari.
Aku bergerak dengan lincah saat menyiapkan sarapan sambil sesekali melirik pada jam yang tergantung di sebelah lemari piring, takut-takut aku akan keasyikan memasak dan membuat Laquinna terlambat sampai di sekolahnya.
“Quinn, ayo makan. Sarapannya udah siap loh,” kataku pada Laquinna yang sedang fokus menonton kartun sambil duduk di atas karpet yang terbentang di ruang tamu.
Gadis itu lalu bangkit berdiri kemudian mengekoriku untuk berjalan menuju ruang makan. Saat ia sudah duduk di atas kursi, Laquinna menatap hidangan yang ada di atas piringnya sejenak.
“Ini makanan apa, Bunda?” tanya Laquinna sambil menunjuk dua lembar roti yang ada di hadapannya.
“Itu namanya french toast, Sayang,” jawabku sembari duduk di hadapannya.
“Enak, Bun? Quinn belum pernah makan ini.”
Aku mengangguk sekali. “Makanya sekarang dicoba dong.”
“Kalau yang ada di atasnya ini apa, Bun?” tanya Laquinna lagi sebelum mencolek benda yang baru saja dimaksud olehnya.
“Itu madu, Quinn. Ayo, makan. Nanti kamu telat loh.”
Setelah itu, kami nggak lagi bersuara karena fokus dengan makanan kami masing-masing. Beberapa kali aku melirik ke arah tangga, menantikan sosok Pak Dewa. Namun, batang hidung pria itu nggak juga muncul sampai aku dan Laquinna menandaskan french toast yang ada di piring kami.
Mungkin Pak Dewa masih tidur, batinku sembari meletakkan piring bekas makanku ke dalam bak pencucian piring yang diikuti oleh Laquinna.