"Maaf, hmn... Geraldo, tapi saya buru-buru soalnya Laquinna udah harus sampai di rumah sebelum jam 11," jelasku sembari melirik jam yang ada di layar ponselku sekaligus berupaya mengabaikan leluconnya yang terdengar sangat garing seperti keripik singkong itu. Terlalu garing malahan.
Apa selain anak kecil, para suami ini juga ingin memiliki multi-istri? Bisa-bisanya pria itu berkata hal yang nggak masuk di akal seperti itu di depan anaknya, batinku dalam hati.
"Perlu aku antar?" tawarnya. "Hitung-hitung sekalian memperkenalkan diriku pada calon mertua." Kepalaku menggeleng sebagai jawaban untuk tawarannya.
Calon mertua? Calon mertua gundulmu! rutukku lagi karena ucapannya.
"Oh, nggak perlu, Geraldo. Makasih untuk tawarannya, tapi jemputan Laquinna udah nunggu di parkiran.," jelasku lagi. Hah! Pria dengan segala macam modusnya. Dia kira, aku nggak bisa membaca motif modus ala buayanya itu?
"Kalau gitu, saya permisi dulu. Dadah, Davin." sambungku sambil melambai pada Davin seperti yang dilakukan oleh Quinn juga.
Mataku melotot sambil menatap pada jam yang ada di dashboard mobil. Astaga, ternyata sudah jam 10.50 ini. Bagaimana bisa dalam waktu 10 menit kami sampai di rumah? Bahkan kalau menggunakan baling-baling bambu sekali pun, juga nggak bisa sampai di rumah secepat itu.
"Pak, nyetirnya tolong agak cepatan, ya," pintaku pada supir yang bernama Pak Amrin itu. Pria paruh baya yang duduk di balik kemudi itu lalu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas permintaanku.
Kulirik Laquinna di sedang duduk di sisiku. Gadis itu sedang sibuk dengan buku mewarnainya. Ia memang sangat suka mewarnai.
Maksudku, segala hal yang berbau seni sangat disukainya. Terlebih menggambar dan mewarnai. Bahkan dari cara pemilihan warna untuk gambarnya saja sudah sangat bagus kelihatannya. Bakat seni gadis ini sudah tampak sejak dini.
"Quinn, mau makan apa nanti?" tanyaku pada Laquinna.
Pandangan gadis itu beralih dari benda-benda kesukaannya itu. "Nasi goreng sama nugget dan sosis."
"But that's not healthy, Laquinna. Another option, please."
"How about creamy corn soup?" tawarku. Jangan heran jika anak sekecil ini mengerti apa yang aku katakan. Sepertinya sejak masih balita, gadis ini sudah diajarkan Bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya. Walaupun ucapannya masih belum terlalu fasih, namun aku yakin ia mengerti semua yang kuucapkan.
"Okay! Creamy corn soup with lots of corn okay?"
"Alright, Little Princess."
*
Mobil yang membawa kami berhenti di perkarangan rumah tepat jam 11.25. Astaga, telat 25 menit dari jam yang sudah ditetapkan oleh Pak Dewa. Apa yang harus aku jelaskan kalau ditanya sama Raja Es yang Kekurangan Kosa Kata itu?
Ah, biarkanlah itu jadi urusan nanti. Tugasku sekarang adalah menyiapkan sesuatu yang dapat mengenyangkan perutku dan Laquinna, batinku setelah melepaskan pandangan dari jam yang tergantung di dinding ruang tamu.
Aku bergegas menuju dapur kemudian mengeluarkan segala alat perang untuk memasak. 30 menit kemudian, makanan yang diminta oleh Laquinna akhirnya selesai. Krim sup jagung dengan extra jagung yang banyak. As what the princess requested.
Ketika ingin membalikkan badan untuk menghidangkan dua porsi krim sup itu, sebuah suara mengagetkanku. "Jam berapa kalian pulang tadi?"
Aku terperanjat ketika menemukan sosok Pak Dewa yang berdiri di belakang tubuhku."Holy moly! Bapak buat saya kaget!" pekikku tertahan. Apa dia nggak berpikir apa yang akan terjadi kalau krim sup ini tumpah dan mengenai salah satu bagian tubuhnya?
"Gimana kalau sup ini tumpah terus kena badan Bapak? Atau kena bagian bagian tubuh yang lain?" sambungku pelan. Apa... aku terdengar seperti seorang istri yang mengomeli suaminya sekarang?
Astaga Alisha, apa yang kamu pikirkan di otak kecilmu itu?! rutukku dalam hati setelah tersadar dengan pemikiranku barusan.
Terlepas dari pemikiran absurd-ku itu, baru kusadari kalau kami hanya dipisahkan oleh jarak yang kuyakini hanya kurang dari sejengkal. Paru-paruku terasa sesak, asupan oksigen yang masuk ke paru-paruku rasanya mendadak terhambat.
Apalagi dengan kepalanya yang sedikit menduduk ke bawah, membuat kepala kami kini sejajar. Dan itu semakin membuatku nggak bisa bernapas dengan normal karena pria itu bisa meneliti wajahku dengan lebih leluasa.
"Kalau gitu, kamu harus merawat saya sampai luka saya sembuh."
Tanpa sadar, aku memalingkan wajahku ke sebelah kanan. Entah semesta sedang mempermainkanku atau bagaimana, sialnya aku menoleh ke arah yang salah sehingga hidungku menempel pada pipi Pak Dewa sekarang.
"Kamu berniat mencium saya, Alisha?" tanya Pak Dewa setelah menjauhkan sedikit kepalanya sehingga pipinya nggak lagi bersentuhan dengan hidungku.
"Ng... nggak, Pak. Saya nggak bermaksud begitu," jawabku dengan suara tergagap yang diiringi dengan gelengan kecil.
"Kalau pun kamu bermaksud begitu, saya... ah, sudahlah.” Pak Dewa nggak melanjutkan kalimatnya. Pria itu kini benar-benar memundurkan seluruh tubuhku sehingga aku bisa bernapas dengan lega.
Tapi, kenapa manusia sekarang senang sekali menggantungkan orang? Bukan hanya menggantungkan status, tapi kalimat juga. Huh, membuatku penasaran saja!
"Jadi, sekarang balik lagi ke pertanyaan saya yang pertama. Jam berapa kamu dan Laquinna sampai di rumah?" tanya Pak Dewa.
Apa reaksi yang akan diberikannya kalau aku berkata jujur? Dan apa kemugkinan terburuknya jika aku berbohong? Tapi... untuk apa juga aku berbohong ‘kan? Pria itu pasti bisa memantau CCTV atau langsung bertanya pada Pak Amrin.
Seakan bisa membaca isi kepalaku yang sedang bermonolog ria, Pak Dewa menatapku lalu berkata, "Jangan coba-coba membohongi saya, Alisha."
Oh, mungkin aku harus jujur padanya, kalau nggak ingin pekerjaanku di sini terancam. "Jam 11.25, Pak," kataku tanpa ada kebohongan sedikit pun.
"Kenapa bisa telat?"
Ya, mana saya tau, Pak. Itu jalanan ‘kan bukan punya nenek moyang saya, batinku menjawab di dalam hati. Sayangnya, kalimatku itu nggak bisa kusuarakan pada Pak Dewa karena aku belum ingin di-PHK.
Aduh, kenapa Pak Dewa lanjut bertanya, sih? Lagipula, apa dia nggak ada pekerjaan sampai-sampai jam segini sudah berada di rumah?
"Itu... tadi kami mengobrol sebentar dengan orang tuanya teman Laquinna," jawabku dengan jujur.
Benar 'kan yang aku ucapkan tadi? Tanpa mengurangi sedikit pun apalagi menambah fakta kebenarannya.. "Benar seperti itu?" tanya Pak Dewa sembari meneliti manik mataku yang mana tentu saja membuatku salah tingkah. Atau bahkan jangan-jangan, pipiku sudah semerah tomat saat ini?
"Benar, Pak. Nggak mungkin saya bohong. Kalau begitu, saya panggil Quinn dulu. Permisi," pamitku. Scepat kilat kakiku berjalan menuu ke lantai atas, lebih tepatnya ke kamar Quinn setelah meletakkan dua mangkuk krim sup jagung tadi di atas meja.
Sembari menaiki tangga, tanganku mengusap-usap di bagian d**a untuk menetralkan degupan jantungku yang melompat gila-gilaan seperti sedang berdisko ria.
"Quinn, let's eat. Ayo, sup krim kamu udah siap loh," ajakku pada Quinn ketika memasuki kamarnya. Gadis yang baru saja akan mengeluarkan buku dari tas sekolahnya itu langsung urung dan berlari kecil ke arahku kemudian menarik tanganku untuk mengikutinya ke ruang makan.
Ketika sudah sampai di ruang makan, Quinn memekik kaget ketika mendapati sosok ayahnya yang ada di sana. "Ayah kenapa ada disini?!"
"Quinn nggak senang Ayah ada disini?" tanya Pak Dewa yang sedang duduk di ujung meja.
"Senang. Tapi biasanya 'kan Ayah masih di kantor," jawab Quinn kemudian naik ke atas kursi. Tanganku kemudian langsung menyodori piring berisi nasi dan mangkuk yang berisi makanan kesukaannya. Jagung.
"How is the taste?" tanyaku ketika Laquinna sudah menyicipi sesendok penuh sup krim jagung buatanku.
"Perfect! Aku suka, aku suka," puji Quinn sambil mengacungkan jari jempolnya padaku.
Aku tersenyum mendengar pujian gadis itu. Setelah memastikan Laquinna akan makan dengan baik, aku kemudian mengambil piring yang berisi nasi putih lalu mengisinya dengan lauk pauk buatan Bik Tanti yang ada di atas meja karena bos-ku yang kekurangan kosa kata itu sudah lebih dulu menyabotase sup krim milikku dan makan dengan khidmatnya di ujung meja.
"Mau kemana kamu, Alisha?" Sebuah suara masuk ke indra pendengaranku ketika aku baru saja akan berjalan menuju ruang tamu. Siapa lagi kalau bukan suara Pak Dewa? Nggak ada lagi orang lain selain pria itu yang berjenis kelamin pria di rumah ini.
Kenapa sih pria itu selalu mengganggu kesenanganku? Padahal seingatku, aku belum pernah mengusik kesenangannya dan malah sangat amat masa bodoh dengan sesuatu yang mmebuatnya senang. Peduli setan! gerutuku dalam hati.
Aku menoleh ke belakang kemudian menatap Pak Dewa yang juga balas menatapku. "Hmn... Saya mau ke ruang tamu, Pak,” gumamku. Entah kenapa suaraku mengecil seperti suara anak kucing.
"Ngapain kamu ke sana?" tanya Pak Dewa sambil menatapku. Bukan, lebih tepatnya kedua mata itu menyedelikiku. "Saya baru tau, tempat untuk makan sudah berubah menjadi di ruang tamu," sindirnya melanjutkan.
Astaga! Apa pria ini nggak sadar akan perbedaan derajat kami yang sangat signifikan, ya? Laquinna memang jarang makan malam bersama dengan Pak Dewa. Biasanya gadis itu akan makan lebih dulu jika ayahnya bekerja lembur atau pulang terlalu larut. Dan juga akulah yang akan menemani gadis itu di meja makan. Mana mungkin aku tega membiarkan gadis itu duduk sendirian di meja makan ‘kan?
Tapi... sekarang situasi dan kondisinya berbeda. Tentu saja aku akan merasa sangat sungkan jika duduk di meja makan yang sama dengan Pak Dewa. Yang benar saja! Masa pembantu duduk semeja dengan majikannya?!
"Ta... tapi, Pak. Saya nggak enak duduk semeja sama Bapak. Mending saya di ruang tamu aja, ya," pintaku berusaha bernegosiasi Pak Dewa. Laquinna hanya menatap kami sejenak kemudian gadis itu kembali larut dalam kelezatan masakanku yang memanjakan lidahnya.
"Kamu pikir saya manusia yang nggak punya hati sampai-sampai nggak mau duduk di meja yang sama dengan kamu? Picik sekali pikiranmu itu," ujar Pak Dewa sambil menatapku dengan tatapan tajamnya.
Itu bukan picik, Pak Bos yang Lebih Dingin dari Kutub! Itu namanya realistis! batinku berteriak kesal.
"Kalau begitu, nanti saya makan bareng sama Bik Tanti aja. Nggak masalah kok kalau harus nungguin Pak Dewa sama Laquinna siap makan,” kataku berusaha bernegosiasi dengan Pak Dewa.
Kulihat pria itu berdecak kesal kemudian bangkit berdiri dari duduknya. Ia berjalan menuju arahku dengan tatapan yang nggak lepas sedikit pun dariku. Seperti seorang pemburu yang membidik mangsanya.
Bikin bulu kudukku merinding aja ini orang! gerutuku di dalam hati.
"Eh... eh! Bapak mau ngapain?" tanyaku dengan suara panik ketika Pak Dewa sudah berdiri di hadapanku dengan wajahnya yang sedikit dicondongkan ke depan. Aku berani bertaruh, jarak wajah kami bahkan nggak sampai 15 sentimeter.
"P... pak!" cicitku dengan suara tergagap. Entah kenapa kedua pipiku kini terasa memanas. Sepertinya pendingin di ruang makan ini nggak bekerja dengan baik semestinya.
"Napas, Alisha!" bisik Pak Dewa. Mataku mengerjap pelan kemudian mulai mengatur napas agar kembali normal.
"Kamu mau duduk di meja makan atau mau saya seret kamu ke kantor catatan sipil sekarang?"