Pengacara Pak Dewa yang kutaksir sudah berusia lebih dari setengah abad, turun dari mobilnya ketika aku baru menutup pintu mobil setelah mengantarkan Laquinna ke sekolah. Bahkan kami berpapasan di teras rumah Pak Dewa dan pengacaranya yang ramah itu juga menyapaku.
"Alisha. Duduk," perintah Pak Dewa ketika aku masuk ke dalam rumah.
Aku mengangguk kecil kemudian duduk di sebuah sofa single yang letaknya berseberangan dari tempat yang diduduki Pak Dewa saat ini. Sedangkan pengacaranya duduk di sofa single yang ada di sisi kiriku.
Aku memperhatikan pria paruh baya yang menjadi pengacara Pak Dewa itu, tangannya mengeluarkan sebuah map bewarna biru muda dari dalam tas. Map tersebut kemudian disodorkan sampai di hadapanku setelah terbuka.
Kedua netraku meneliti setiap kalimat yang tertulis di sana. Setiap butir perjanjian aku baca dengan saksama. Aku nggak mau ada satu butir pun perjanjian yang merugikanku. Nggak akan adil kalau perjanjian ini lebih banyak merugikanku dan menguntungkan Pak Dewa ‘kan?
"Saya nggak keberatan dengan setiap butir perjanjian yang udah tertulis. Tapi, saya ingin menambahkan satu butir perjanjian yang penting lagi. Dan menurut saya, ini adalah yang paling penting."
Mata kedua pria yang ada di ruangan ini menatapku. Pengacara Pak Dewa menatapku seolah menunggu kalimat yang akan kuucapkan, sedangkan pria itu malah menatapku dengan tatapan datar dan dinginnya.Namun, dibalik tatapannya itu, Pak Dewa sedari tadi terus mengawasi gerak-gerikku bagaikan singa yang sedang memburu mangsanya.
"Silahkan. Kalau boleh saya tau, apa itu?" tanya Pengacara Pak Dewa sambil membetulkan letak kacamata tanpa bingkainya yang mulai merosot dari batang hidungnya.
"Saya nggak mau ada hubungan fisik yang melibatkan keintiman dan kami harus tidur pisah kamar," terangku sembari menatap pengacara Pak Dewa lalu beralih pada pria itu.
Pak Dewa mendengus kecil. “Percaya diri sekali kamu, Nona. Kamu pikir dengan berada dalam satu kamar denganmu, lalu saya akan bernafsu, begitu?" tanya Pak Dewa.
Pria itu nggak memberikanku kesempatan untuk menjawabnya. “Tentu aja kita nggak akan berbagi kamar. Itu adalah hal mutlak yang pasti udah akan saya lakukan sebelum kamu mengajukan protes. Jadi, nggak perlu ada penambahan butir perjanjian lagi,” sambungnya.
Oke, katakan jika asetku memang bukan sesuatu yang bisa memanjakan mata, tapi apa itu perlu diperjelas dengan statement yang ia kemukakan dengan enteng di depan pengacaranya ini? Pria ini benar-benar berniat ingin mempermalukanku sepertinya.
"Jangan banyak bicara, Alisha. Cepat tanda tangani kontrak itu. Pekerjaan pengacara saya bukan hanya untuk mendengarkan ocehan kamu itu."
Aku menatap Pak Dewa dengan kesal. Dengan terpaksa, aku harus menaruh kepercayaan penuh pada pria ini. Oke, mungkin kali ini aku belum memiliki kuasa untuk melawan dan membantahnya. Tapi liat saja nanti!
Huh, untung aja ganteng, Pak. Kalau nggak... mungkin udah jadi kodok kamu! batinku mendumel dalam hati.
Kububuhkan tanda tangan dengan cepat pada beberapa lembar kertas yang ada di dalam map itu dengan mata Pak Dewa yang mengawasiku dari tempatnya seakan-akan jika aku melakukan kesalahan, pria itu sudah menyiapkan hukuman yang cocok untuk diberikan padaku.
Kalau saja bukan karena diusir oleh orang tuaku dan nggak punya apa-apa untuk melanjutkan hidup sampai beberapa tahun ke depan, kalian pikir aku mau dengan gampangnya memberikan tanda tanganku yang berharga ini dan terikat kontrak dengan pria yang jauh dari kata ramah dan manusiawi ini?
Walaupun Pak Dewa dingin, datar, dan jauh dari kata ramah, tapi pria ini sebenarnya nggak terlalu buruk. Hanya saja terkadang aku agak sedikit tergganggu dengan ekspresinya yang cenderung sama setiap saat tanpa ada perbedaan yang signifikan.
Pengacara Pak Dewa menutup map biru yang disodorkannya tadi, kemudian membereskan barang-barang bawaannya lalu bangkit berdiri dan berpamitan pada kami.
"Kalau saya perlu ke kantor Bapak lagi, silahkan telepon aja," ucap Pak Dewa pada pengacara sambil menjabat tangan pria paruh baya itu.
"Baik, Pak Dewa. Kalau begitu, saya pamit dulu," balasnya lalu setelah itu menjabat tanganku.
Setelah Pengacara Pak Dewa hilang dari pandangan, aku termenung di tempatku berdiri. Aku terlalu bingung dengan apa yang harus aku lakukan sekarang. Biasanya pada jam seperti ini, aku masih menunggu Quinn di sekolah.
"Ngapain masih berdiri disana?" tanya Pak Dewa sambil berdiri di hadapanku dengan tangan yang terlipat di depan dadanya.
"Saya nggak tau harus ngapain, Pak. Biasanya jam segini 'kan saya masih di sekolah nungguin Laquinna," jelasku.
"Banyak yang bisa kamu kerjakan."
"Oh, iya, Pak? Apa yang bisa saya kerjakan?" tanyaku dengan keingin tahuan yang besar.
"Misalnya kamu bisa menyikat sela-sela keramik bak mandi dengan sikat gigi, atau... menguras air kolam renang dengan gayung."
Mataku melotot setelah mendengar ucapannya yang nggak masuk akal itu. Pria ini benar-benar jauh dari kata berperikemanusiaan sepertinya. Tega-teganya ia menyuruhku melakukan pekerjaan gila seperti itu?
"Bapak kalau udah nggak sanggup gaji saya, nggak apa-apa, Pak. Bisa kita negosiasikan kok. Tapi nggak gini caranya juga. Ini sama aja Bapak mau bunuh saya secara nggak langsung," protesku dalam satu tarikan napas.
Mata Pak Dewa mendelik kemudian menatapku tajam. "Kamu ‘kan bisa bantuin Bik Tanti di dapur, Alisha. Pakai inisiatif kamu, dong. Saya nggak suka pegawai yang cuma taunya makan gaji buta."
"Gaji ‘kan nggak punya mata, Pak. Gimana bisa buta?" tanyaku polos. Lebih tepatnya, pura-pura polos.
"Kamu ini kalau menjawab saya nomor satu!" Kulihat tangannya terangkat seperti ingin memukul kepalaku.
"Ampun, Pak. Jangan KDRT dong," pekikku sambil melindungi kepalaku dengan kedua tangan.
"Pengen banget membangun rumah tangga sama saya? KDRT terus pikiran kamu!" sindir Pak Dewa.
"Nggak mau!" balasku dengan pekikan tertahan.
Pembohong! Pembohong! Dasar, tukang bohong kamu, Al, rutuk batinku.
"Untuk apa bangun rumah tangga lagi, Pak? Rumah Bapak 'kan udah ada tangganya."
“Itu tangga rumah, Alisha! Bukan rumah tangga,” desis Pak Dewa sebelum menghembuskan napasnya. Sepertinya pria itu sudah mulai lelah berbicara padaku.
"Kalau ada lomba debat sama saya, kayaknya kamu bisa jadi juaranya," lanjut Pak Dewa dengan tangannya yang sudah berada di kepalaku. Kurasakan telapak tangannya yang besar itu mengusap puncak kepalaku.
Sudah berapa lama kamu nggak ngerasain usapan begini, Al?
*
"Bunda!" pekik Laquinna sembari berlari ke arahku sambil melambaikan tangannya.
"Hai, Quinn. Gimana sekolahnya hari ini?" tanyaku sambil membawa Laquinna ke dalam gendonganku.
"Hari ini, Quinn diajarin tulis alphabet, terus habis itu tadi ada coloring-coloring juga," jelasnya sebelum memasukkan sepotong kue brownies ke dalam mulutnya dengan tangannya.
"Terus, Quinn bisa nggak tadi?" tanyaku sambil mengelap sudut bibirnya yang tertempel remahan brownies.
"Bisa lah. Quinn 'kan suka coloring-coloring," jawab Quinn bangga sambil mengukir senyum nakal pada bibir kecilnya. Wah, siapa yang mengajarkan senyuman seperti ini padanya?
"Good girl." Kuusap puncak kepalanya dengan pelan. Aku menatap lama pada Laquinna yang sedang menikmati kue brownies-nya. Kasihan sekali gadis kecil ini, walaupun terlihat galak, jutek dan ceria di saat yang bersamaan, ia sepertinya juga sangat ingin sekali merasakan kasih sayang seorang ibu.
"Hei!” sapa seseorang dari balik tubuhku. Aku berbalik untuk melihat seseorang yang baru saja menepuk pelan pundakku. “Eh, kita ketemu lagi.”
Yah, pria yang satu ini lagi, batinku dalam hati.
Aku hanya tersenyum canggung dan mengangguk sebagai balasan dari sapaannya. Walaupun wajahnya yang ketampanannya hampir setara dengan Ryan Guzman itu, aku sama sekali nggak tertarik sedikit pun. Wajah bisa menipu banyak orang. Buaya darat bisa berubah menjadi wujud apa saja ‘kan? Termasuk mengelabui gadis-gadis polos dengan rayuan gombal yang penuh tipu muslihat mereka.
"Halo, Kak Alisha!" Kini giliran Davin yang menyapa. Kuakui Davin ini sangat menggemaskan dengan rambut model jamur dan lesung pipi yang ada di pipi sebelah kirinya.
Jadi, karena kegemasannya itu, aku lebih memilih untuk menyapa anaknya saja dari pada ayahnya itu. "Halo, Davin."
"Davin, sekarang Kak Alisha udah jadi bunda Laquinna loh," pamer Quinn dengan bangganya dalam gendonganku.
"Kenapa begitu?" tanyanya bingung. "Padahal Davin pengen banget Kak Alisha jadi mama Davin."
Demi alam semesta beserta seluruh isinya, apa anak ini berniat melihatku dikejar oleh ibunya dengan dua golok di tangannya? Menjadi mamanya, huh? Yang benar saja! Apa akhir-akhir ini ada sindrom yang menyerang seluruh anak kecil di muka bumi ini sampai-sampai mereka ingin memiliki multi-ibu seperti Davin?
Aku tertawa sumbang mendengar celotehan Davin yang sebenarnya nggak lucu sedikit pun itu.
"Kak Alisha kenapa ketawa? Davin lagi nggak bercanda loh," kata Davin dengan ekspresi kebingungan yang ketara di wajahnya.
"Habisnya kamu lucu banget, sih. Bisa-bisa, nanti Kak Alisha dicariin mama kamu gara-gara kamu pengen Kak Alisha jadi mama kamu loh," jelasku. Semoga saja anak kecil ini mengerti maksudku.
"Bukan hanya Davin yang ingin kamu jadi mamanya, aku juga pengen kamu jadi pendamping hidupku," sambung sebuah suara tanpa jeda setelah ucapanku. Siapa lagi kalau bukan suara Geraldo? Benar-benar menggelikan.
Oh Tuhan, cheesy sekali kalimat pria ini. Tanganku udah pengen banget memukul wajah adonisnya itu sampai nenek moyangnya nggak bisa mengenali mukanya lagi, batinku dengan sebal di dalam hati.