Bad Ayah - Part 9b

1561 Kata
"Kamu habis ngapain?" Suara dingin itu menggelegar di seluruh penjuru ruang tamu. Aku yang sebenarnya kedinginan karena pakaian yang basah, kini bergidik ngeri karena nada dingin yang baru saja keluar dari mulut Pak Dewa. "Kenapa basah kuyup begitu?" Pak Dewa lanjut bertanya dengan nada yang berubah tajam. "I—itu, tadi saya nolongin kucing yang kehujanan di luar," cicitku sambil menunduk. "Jadi kenapa basah kuyup? Nggak bisa suruh Pak Amrin tolong payungin, hah?" Aku refleks meringis ketika mendapati nada suara Pak Dewa meninggi. "Nggak malu bayangan tubuh kamu tercetak jelas di bajumu itu?!" lanjutnya bertanya. Baiklah, kali ini benar-benar salahku. Tapi ‘kan aku refleks menolong anak kucing yang kehujanan itu "Masuk kamar dan ganti pakaian kamu. Now, Alisha!" Aku berjalan menuju kamar dengan lunglai, gigi yang bergemelutuk kedinginan, pakaian compang-camping yang meneteskan air, rambut basah kuyup, dan kaki gemetaran. Kondisi kini persis seperti orang yang baru saja diceburkan ke dalam kolam renang. Aku menghela napas ketika mengingat bahwa aku harus mandi dan keramas kemudian menata ulang riasan rambut dan make up-ku yang sudah hancur lebur seperti sehabis diterpa tornado ini. Cari perkara aja kamu, Alisha, rutukku dalam hati sebelum menutup pintu kamar. * Tok! Tok! Tok! "Sebentar," sahutku sedikit berteriak agar suaraku lebih keras dari pengering rambut yang saat ini sedang kupakai. Sepertinya itu Bik Tanti atau mungkin Laquinna. Oh iya, aku bahkan belum sempat bertemu dengan gadis itu sejak tadi. Di mana dia? Aku buru-buru mematikan hair dryer lalu meletakkan benda itu di atas meja rias dan berjalan menuju pintu. Ternyata sosok Pak Dewalah yang kudapati ketika membuka pintu kamar. Pria yang sedang berdiri menjulang di hadapanku itu kemudian menyodorkan sebuah paper bag padaku. “Pakai itu dan jangan berdandan seperti badut. Saya tunggu di bawah." "Ini apa, Pak?" tanyaku bingung sambil mengintip sedikit isi yang ada di dalam kantung kertas tersebut. "Maksud saya, ngapain suruh saya pakai ini, Pak?" ralatku dengan tangan yang mengeluarkan sebuah gaun tanpa lengan yang menjuntai ke bawah dengan didominasi oleh motif batik bewarna hitam dan coklat. "Kita akan ke suatu tempat, jadi jangan banyak tanya dan lakukan aja sesuai perintah saya!" titahnya. "Nggak pakai lama. Jam 6 kamu sudah harus turun ke bawah. Saya nggak menolerir orang yang lelet seperti siput apalagi nggak menghargai waktu sampai terlambat!" Setelah berkata demikian, Pak Dewa lalu berbalik dan berjalan meninggalkanku. Huh! Dasar, Tuan Suka Mengatur. Bibirku menyebik kemudian menutup pintu dan melakukan semua titahnya dengan cepat. Takut-takut pria itu akan kembali mengomel lagi nanti seperti ibu-ibu yang kehilangan jemurannya. Dengan kemampuan berdandan ala kadarnya—berbekal dari beberapa tutorial make up yang kadang kutonton, aku hanya membuat gelombang di ujung rambut, memakai bedak tabur tipis dan lipgloss bewarna peach. 45 menit kemudian, aku keluar dari kamar sambil menenteng sepasang heels bewarna hitam yang ternyata diletakkan Pak Dewa di dalam kotak yang ada di dalam kantung kertas tadi. Aku sedikit bergidik ketika mendapati hak sepatu itu yang berkisar antara 4-5 sentimeter, tapi untungnya bentuk hak itu ada chunky heels sehingga aku bisa sedikit bernapas lega, walaupun ketakutan juga masih membayangiku. "Lama sekali kamu ini," protes Pak Dewa ketika aku sudah berdiri di hadapannya. Astaga, aku bahkan turun dari kamar lebih cepat 15 menit dari jam yang ditentukannya dan pria ini masih saja mengeluarkan protes padaku? "Macam nggak tau cewek kalau dandan aja, si Bapak ini," balasku sambil terkekeh lalu duduk di sofa kosong yang ada di sisi Pak Dewa. “Lagian, ini masih jam 6 kurang 15 juga, Pak,” sambungku. Aku meletakkan sepatu hak yang akan kupakai itu di depan kaki. Belum sempat aku meraih sebelah dari heels itu, sebuah tangan sudah mendahuluiku untuk memasangkan sepatu itu pada kakiku. Dengan mata membulat sempurna ketika mendapati Pak Dewa sudah berlutut di depan kakiku. "Sini, saya pasangkan. Terlalu lelet kamu, seperti siput!" gumam Pak Dewa sambil mulai memasangkan sepatu hak itu pada kakiku. “Pa—Pak... Biar saya sendiri aja,” ujarku sambil menahan tangan Pak Dewa. Namun pria itu malah berdecak dan menolak permintaanku. “Ck! Ribut!” Kamu yakin bisa menahan perasaanmu untuk nggak jatuh pada pria ini, Alisha? batinku sambil menatap pada rambut lebat Pak Dewa yang tersuguh tepat di depan wajahku. * "Kita naik mobil ini, Pak?" Mataku melotot menatap sebuah mobil Maserati Granturismo yang terparkir di hadapanku saat ini. Aku tahu mobil itu karena pernah digunakan dalam sebuah drama Korea yang sangat hype pada tahunnya. Kepalaku berpaling menatap Pak Dewa. Baru kusadari, ternyata pria itu mengenakan kemeja batik yang sama coraknya dengan gaun yang kupakai. Jadi, bolehkah aku sedikit nggak tahu diri dan lupa daratan akan statusku yang sebenarnya untuk saat ini?   Pria yang ada di sebelahku ini tampak lebih dari sekadar tampan. Kemeja slimfit yang membungkus tubuhnya terlihat terlalu pas untuknya, nggak berlebihan, apalagi kekurangan. Entah apa yang salah padaku, kini kedua pipiku terasa panas mengingat tubuhnya yang bidang dan seperti susunan roti sobek itu.   Ingatanku kembali berputar di mana saat pria ini baru saja berenang dan keluar dengan bertelanjang d**a dari kolam renang. Ya Tuhan, ada apa dengan otakku ini?! Tolong aku! "Kenapa?" tanya Pak Dewa menginterupsi lamunanku. "Keberatan?" lanjutnya bertanya. Ih, bagaimana bisa aku keberatan menaiki tipe mobil yang sama dengan Shin Min Ah dan So Ji Sub? Mungkin orang gila saja yang akan menolak kesempatan itu. Aku menggelengkan kepala sebagai jawabannya. Tentu saja aku dengan senang hati akan menaiki mobil ini dan nggak keberatan sedikit pun. Dasar, Pak Dewa aneh! "Pasti harganya mahal banget," gumamku sambil berdecak kagum dengan mata yang mengelilingi seluruh desain dari mobil bewarna hitam ini. "Ayo, cepat masuk! Jangan kayak orang udik begitu," ujar Pak Dewa sebelum duduk di balik setir kemudi. Aku menuruti titahnya kemudian masuk ke dalam mobil. Sekali lagi mataku menatap kagum pada interior mobil ini. Sebutlah aku lebay ataupun kampungan, tapi aku benar-benar nggak mampu untuk nggak terkagum melihat mobil ini. Mobil yang dikendarai Pak Dewa melaju membelah jalan raya dengan diiringi oleh suara lagu I will Spend my Whole Life Loving You yang dinyanyikan oleh suami istri Kina Grannis dan Jesse Epstein dari Imaginary Future. Saking slow dan lembutnya lagu ini, membuat mataku rasanya ingin tertutup saja. Aku bergerak gelisah di tempat dudukku. Bergerak ke kiri salah. Bergerak ke kanan juga salah. Semua serba salah. Pendingin mobil ini menerpa tubuh dan wajahku sedari tadi sehingga membuat gigiku bergemelutuk kedinginan. Takutnya terjadi apa-apa jika pendingin mobil ini kuatur. Aku nggak akan punya uang bahkan hanya untuk sekadar membayar servis AC mobil ini. "Kenapa kamu nggak bisa diam begitu. Cacingan?" tanya Pak Dewa setelah menatapku sejenak sebelum kembali melajukan mobilnya. "Di—dingin, Pak," gumamku sambil menggosokkan kedua telapak tangan agar menghasilkan energi panas. Lagipula, kenapa gaun ini harus berlengan buntung, sih? Menyusahkan sekali! Kulihat Pak Dewa melipat bibirnya ke dalam, pria itu tampak berusaha menahan tawanya. Memangnya bagian mana yang lucu dari acara kedinginanku ini? Aneh. "Kayak nggak pernah naik mobil aja kamu," celutuk Pak Dewa. Pria ini amnesia atau geger otak, sih? Jadi selama ini aku mengantar Laquinna ke sekolah pakai apa, Pak? Naik becak? Atau bajaj? batinku di dalam hati. "Pak, Quinn kenapa nggak ikut?" tanyaku mengubah topik pembicaraan. Aku nggak ingin pria ini mengolok-olok acara kedinginanku yang terlihat kampungan ini. Pertanyaanku hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Pak Dewa. "Kenapa?" tanya pria ini. "Acaranya nggak cocok untuk anak seusia dia. Daripada Quinn merengek di tengah acara, jadi saya titipkan aja di rumah orang tua saya." Aku mengangguk mengerti lalu kembali bertanya, “Jadi sebenarnya kita mau kemana, sih, Pak?" "Pernikahan teman saya. Roomate when I was in States." "Oh, dulu Bapak kuliah di Amerika, ya. Wah, hebat dong," pujiku. "Seandainya otak saya agak encer sedikit, pasti bisa dapat beasiswa buat kuliah di luar negeri," lanjutku dengan nada bergumam dan mata yang menerawang. Setelah itu, suasana kembali hening. Masing-masing dari kami bungkam. Pak Dewa pun nggak lagi mengeluarkan suara untuk membalas ucapanku. Sekitar 20 menit kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Pak Dewa masuk ke pelataran sebuah hotel bintang lima. Kilatan kamera dan wartawan yang tampak seperti kerumunan semut memenuhi lobi hotel. "Pak," cicitku menatap ngeri pada kerumunan yang ada di depan sana. "Saya... takut." Pak Dewa menatapku intens sebelum keluar dari mobil dan membukakan pintu mobil untukku. Pria itu kemudian memberikan kunci mobilnya pada petugas parkir. "Minimal radius satu meter dari saya," titah Pak Dewa. "Sadewa Airlangga, kalau boleh tau siapa yang ada di samping Anda?" "Sadewa, apa itu pacar Anda?" "Bapak Sadewa, ada hubungan apa Anda dengan wanita ini?" Pak Dewa yang berjalan di sebelahku memilih untuk mengabaikan semua pertanyaan yang dilontarkan oleh para wartawan itu. Hanya sebuah senyum kecil yang diberikan tanpa penjelasan apapun. "Pak, sa—saya nggak nyaman sama blitz-nya." Tiba-tiba tangan Pak Dewa meraih tanganku tanpa aba-aba. Jari-jarinya yang besar itu menyelusup di antara jari-jariku. "Pak..." bisikku nggak nyaman. "It—itu tangan saya," lanjutku sembari menatap horor pada jari-jari kami yang bertaut. "Kenapa?" tanya Pak Dewa santai dengan sebelah alis yang terangkat. Astaga, pria ini masih bisa sesantai ini sementara aku udah gugup setengah mati di sini karena lampu dan kamera dari para wartawan ini, batinku kesal. "Tangan kita harus banget begitu, ya, Pak?" bisikku sambil menatap sekilas pada apa yang baru saja kumaksud. Kalau tahu akan banyak wartawan seperti ini, lebih baik aku di rumah dan menemani Laquinna saja. Pak Dewa menggelengkan kepalanya. “Supaya kamu nggak lari dari saya, Alisha,” balas pria ini tanpa tahu aku sudah menahan gejolak ingin memuntahkan isi perutku karena ucapannya itu.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN