Hal pertama yang tertangkap oleh indra penglihatanku setelah masuk ke dalam ballroom tempat acara berlangsung adalah dekorasi yang dominan bewarna putih dengan sedikit aksen emas.
Kira-kira, inilah bentuk nyata dari pernikahan ala Princess yang diidamkan semua wanita. Bahkan dekorasi di atas panggung juga berbentuk istana dan dipadukan dengan bunga mawar bewarna putih.
Setelah dikerumuni oleh para wartawan sebelum masuk ke dalam hotel ini, akhirnya kini aku bisa bernapas dengan lega. Pasti pengantinnya adalah orang yang berkecimpung di bidang entertainment atau mungkin orang yang punya kedudukan tinggi seperti pejabat negara. Kalau nggak, mana mungkin para wartawan itu mau berbondong-bondong meliput acara pernikahan ini, ‘kan?
Mataku berpendar melihat sekeliling. Orang-orang yang ada disini bukan sembarangan orang. Ada beberapa sosok yang kukenali di sini seperti artis, penyanyi, bahkan influencer kecantikan juga tertangkap oleh mataku. Oh, dan ada juga beberapa pejabat negara yang menghadiri pesta ini.
Untungnya acara penikahan ini nggak terbuka untuk umum, alias mempelai nggak mengizinkan para wartawan untuk meliput acara pernikahan mereka secara live. Kalau nggak, aku akan nggak bisa membayangkan bagaimana para wartawan itu haus akan bidikan-bidikan yang akan menjadi berita panas yang menghiasi headline majalah atau tabloid mereka.
"Oi, Wa! Gimana kabar lo?" tanya seorang pria yang tingginya hampir sama dengan Pak Dewa sambil menepuk pundak pria itu sekali.
"Baik. Lo sendiri gimana?" tanya Pak Dewa setelah bersalaman ala pria.
"Ya, gitu lah. Urusin perusahaan bokap," balas pria itu sembari merangkul bahu istrinya yang sedang mengandung.
"Kalau lo gimana? Denger-denger udah punya kantor kontraktor sendiri, ya?" Pak Dewa hanya tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Eh, ini siapa yang ada di sebelah lo?" Kali ini istri pria itu yang bertanya sambil menatapku dengan senyumannya. "Kenalin dong. Sombong amat lo nggak mau kenalin ke kami," celutuk pria itu melanjutkan.
Pak Dewa memutar bola matanya malas kemudian mengenalkanku pada sepasang suami istri yang bernama Brian dan Elisa itu.
"Kayaknya sepuluh kali gue ketemu lo, nggak pernah ada yang sama cewek gandengan lo," ledek Elisa.
“Semoga ini yang terakhir, ya, Bro. Udah boleh tobat, ingat umur,” ledek Brian melanjutkan sebelum terbahak bersama istrinya.
Ah, se-womanizer itukah Pak Dewa? Berbahaya!
"Nggak selebay itu juga, El. Kita aja baru ketemu kurang dari sepuluh kali sejak lulus dulu," balas Pak Dewa santai tanpa terpengaruh dengan ucapan yang baru saja dilontarkan oleh sepasang suami istri itu.
Setelah berbincang beberapa saat, sepasang suami istri itu akhirnya pamit naik ke atas panggung untuk memberikan selamat pada mempelai.
"Pak, saya mau makan. Bisa tolong lepasin dulu tangan saya?" tanyaku pada Pak Dewa sembari berusaha membebaskan tanganku yang berada di dalam genggamanannya. Tangan kiriku yang terbebas kujadikan alat untuk melepaskan tautan tangan kami.
"Ingat! Radius minimal satu meter dari saya," titah Pak Dewa. Namun tangan pria itu nggak kunjung menguraikan tautan tangan kami. Yang ada, genggamannya malah terasa semakin mengerat.
Iya, iya. Saya masih belum pikun kok, Pak. Santuy aja, batinku di dalam hati.
"Iya, saya ingat. Tapi ini tangan dilepas dulu. Udah kayak dilem setan aja, Pak,” ujarku sambil menunjuk tangan kami yang masih bertaut.
Pak Dewa yang awalnya sudah hampir menguraikan tautan tangan kami, mengurungkan niatnya. Tangannya malah kembali meraih tanganku dan menggenggam dengan erat di sana. Ulahnya yang spontan itu membuatku mengerutkan kening sejenak.
"Dewa!" Sebuah pekikan kecil yang memanggil nama Pak Dewa, tertangkap oleh indra pendengaranku.
Wanita yang nggak kuketahui namanya itu langsung menghampiri kami dan menubruk tubuh Pak Dewa dengan pelukannya sampai-sampai tautan tanganku dengan pria itu terlepas. Hampir saja aku terjerembab ke lantai kalau nggak refleks menyeimbangkan tubuhku karena tubrukan wanita itu.
Kulihat, tubuh Pak Dewa menegang di dalam pelukan wanita semampai dengan gaun yang kekurangan bahan itu. Entah pria itu terlalu gugup berpelukan di tempat umum seperti ini, atau malah merasa senang karena dipeluk oleh seorang wanita cantik. Entahlah, aku juga nggak tahu pasti apa penyebab tubuhnya kini setegang kayu.
Harus kuakui, tubuh wanita yang sedang memeluk Pak Dewa itu benar-benar bagus dan berlekuk di tempat-tempat yang seharusnya. Pasti itu semua adalah hasil dari olahraga rutin setiap hari atau pisau-pisau bedah yang mengoyak kantung.
"In—Indira?" Baru kali ini aku mendengar suara Pak Dewa yang berucap nggak selancar biasanya. Kapan pria ini pernah tergagap di hadapanku? Sepertinya inilah pertama kalinya. Dan faktanya, wanita bernama Indira inilah yang membuat seorang Pak Dewa yang selalu bersikap dingin dan tenang, tampak sedikit berubah dari biasanya.
Apa mereka ada hubungan khusus? batinku bertanya di dalam hati. Tapi kalau pun ada, kenapa Pak Dewa harus repot-repot mengajakku ke acara ini? Kenapa nggak mengajak wanita bernama Indira ini aja? lanjutku membatin.
"Gimana kabar kamu? Aku sengaja pulang ke Indo buat surprise-in kamu. Akhirnya setelah 5 tahun aku bisa pulang lagi,” kata wanita itu sambil menguraikan pelukannya. “Aku kangen banget sama kamu, Wa."
Wah, kayaknya tercium adanya benih-benih cinta yang akan kembali bersemi nih, batinku memprediksi di dalam hati.
Entah apa yang sepasang anak manusia itu perbincangkan, layaknya seorang manusia invisible yang nggak kasat mata, aku perlahan berjalan mundur untuk menuju stan makanan. Lebih baik aku mendiamkan cacing-cacing yang sudah meronta-ronta di dalam perutku ini dan meninggalkan mereka yang sepertinya nggak menganggap keberadaanku.
Nggak ada satu pun orang yang kukenal di sini kecuali orang yang menyeretku ke acara ini. Siapa lagi kalau bukan Sadewa Airlangga. Tapi, pria itu sedang bernostalgia ria dengan wanita yang kuyakini adalah incaran para pria dengan selera yang tinggi. Mungkin Sadewa Airlangga termasuk salah satu dari pria-pria itu atau malah sudah pernah menjalin kasih dengan wanita cantik bernama Indira tadi? Ah, entahlah.
*
Ini sudah piring ketiga yang kuhabiskan sejak beberapa saat yang lalu. Piring pertama kuisi dengan makanan pembuka seperti gado-gado Vietnam dan sejenisnya, sedangkan piring kedua kuisi dengan makanan berat seperti mash potato, mi goreng, udang tempura, dll. Ini sudah piring ketiga dan hanya tersisa sepotong kue coklat di atas piringku ini.
Sudah puluhan menit berlalu, tapi batang hidung Pak Dewa nggak lagi terlihat sejak aku meninggalkannya dengan wanita bernama Indira tadi. Pria itu tiba-tiba menghilang bak dihisap oleh segitiga bermuda. Jadi, ada di mana sekarang sebenarnya pria itu?
Di ruangan megah ini, ada 4 pilar kokoh yang menjadi pondasinya. Aku memilih bersandar pada pilar yang terletak di salah satu sudut ruangan. Lebih baik aku menjauh dari keramaian dengan cara bersembunyi sebentar di sini daripada berkeliling seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Toh, nggak mungkin Pak Dewa meninggalkanku seorang diri di tempat asing, 'kan? Apalagi faktanya pria itu yang membawaku ke sini.
"Sendirian?" Suara seorang pria tertangkap oleh indra pendengaranku dan membuyarkan lamunanku. Suara itu membuatku sedikit tersentak karena terkejut. Netraku menangkap sebuah gelas yang berisi cairan bewarna putih, disodorkan oleh pria yang berdiri di hadapanku sebelum aku mengalihkan tatapanku menuju wajah pria ini.
"Geraldo?" Nggak di sekolah, nggak di luar sekolah, kenapa aku harus bertemu dengan orang ini terus, sih?
Dari 7,8 milyar orang di dunia, kenapa aku bertemu dengan pria bernama Geraldo ini di sini? keluhku di dalam hati.
Musik yang awalnya bertempo lambat, kini sudah berubah menjadi musik remix yang membuat detak jantungku berpacu dengan cepat. Telingaku sampai berdengung saat mendapati musik bervolume keras itu memasuki indra pendengaranku. Lampu yang tadinya terang, kini sudah padam dan digantikan dengan lampu kerlap kerlip yang gemerlap.
Bahkan kedua mempelai pun sudah bertukar kostum menjadi pakaian kasual. Pengantin pria melepas jas dan dasinya, meyisakan kemeja lengan panjang yang digulung sampai siku dan celana kain bewarna coklat muda. Sedangkan pengantin wanita memakai gaun kasual bewarna putih yang panjangnya hanya setengah paha dengan mahkota tiara yang tetap terpasang di atas kepalanya.
"Sepertinya kita memang udah ditakdirkan untuk bersama." Gundhul-mu!