Malas meladeni kalimat narsis yang baru saja keluar dari mulut Geraldo, kuterima saja sodoran gelas yang berisi cairan bewarna bening dari tangannya demi mengabaikan kalimat pria itu. Tanpa aba-aba, segera kutegak isi gelas itu dalam sekali tegakan. Tapi anehnya, rasa panas langsung terasa pada tenggorokanku ketika cairan itu mengalir di sana. Minuman apa ini sebenarnya? Aku kira ini sparkling water.
"Wah, wah. Pelan-pelan minumnya." Geraldo merebut gelas yang sudah kosong itu dari tanganku sambil berdecak.
“Kamu belum pernah minum minuman berakohol?” lanjut pria itu bertanya. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaannya. Memang faktanya, aku belum pernah sekali pun menegak minum seperti itu sekali pun.
“Tadi itu berakohol?” tanyaku sambil mengarahkan tatapanku pada gelas yang sudah berpindah di tangan Geraldo.
“Iya, ‘kan kerasa di tenggorokan. Aku kira kamu udah tau,” jawab pria itu. "Gimana kalau kamu mabuk?" lanjutnya bertanya.
Ya, ampun. Ceroboh banget sih kamu, Al, batinku pada diri sendiri. Sepertinya efek alkohol itu sudah bekerja saat ini karena wajahku kini mulai terasa panas. Astaga, ada apa ini? Seluruh tubuhku mendadak merasakan sensasi menghangat yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Kamu datang sama siapa?" tanya Geraldo dengan nada setengah berteriak karena volume musik di ruangan ini semakin keras.
“Sama te—teman,” jawabku ragu. Tapi, apa ada opsi lain yang lebih baik dari teman? Akan terasa sangat aneh kalau aku mengaku bahwa bosku yang membawaku ke sini, ‘kan?
Sial! Ternyata tubuhku nggak kebal dengan minuman berakohol. Baru satu gelas kecil yang masuk ke dalam saluran pencernaanku saja, efeknya sudah terasa sangat luar biasa seperti ini. Lemah kamu, Al, gerutuku dalam hati.
Dengan kesadaran yang sudah berada di ambang batas, kakiku bergerak untuk mencari keberadaan Pak Dewa yang diikuti oleh Geraldo di sebelahku. Pria itu langsung mengikuti langkahku tanpa banyak bertanya. Dengan pencahayaan yang minim seperti ini, semakin sulit untuk mencari sosok Pak Dewa, apalagi tamu undangan yang hadir di acara ini bukanlah sedikit.
Geraldo kemudian mengguncang pelan lenganku. "Alisha, kamu baik-baik aja, ‘kan?" tanya pria itu dengan raut panik yang ketara di wajahnya. Aku berusaha menjawab pertanyaannya dengan sebuah anggukan berat walau kegelapan sudah hampir datang menghampiriku. Saking berat rasanya kepalaku, aku nggak sanggup lagi menegakkan tubuh hingga akhirnya tubuhku luruh diiringi oleh gelap yang datang merengut kesadaranku.
*
Sebuah tangan melingkar di leherku, memeluk erat di sana sehingga membuat ruang gerakku terbatas. Tubuh bagian kiriku terasa berat, kebas, dan nggak bisa digerakkan. Ditambah lagi dengan rasa gerah dan berpeluh yang melingkupi seluruh tubuhku semakin membuatku merasa nggak nyaman.
Siapa yang ada di atas tubuhku ini? batinku berpikir.
Dengan perlahan, kupaksakan kedua mata ini agar terbuka. "Quinn?" gumamku ketika mendapati sosok gadis itu bergelayut di sisi kiri tubuhku. Kepalanya bersandar pada pundakku dengan tubuh yang menimpa sebagian tubuhku.
Tubuh Quinn menggeliat dengan tangan yang semakin erat memeluk leherku, membuat rasa gerah dan kebas pada tubuhku semakin menjadi-jadi. Dengan gerakan yang sangat pelan, kupindahkan lengan Quinn yang melingkar pada leherku dan untungnya tidur gadis itu nggak terusik karena ulahku.
Setelah memindahkan sedikit tubuh Laquinna agar gadis itu tetap nyaman dalam tidurnya, tanganku kemudian menarik selimut untuk membungkus tubuh gadis itu itu sampai di bawah dagunya.
Mataku tertegun setelah melihat keadaanku yang baru saja keluar dari selimut. Pakaian yang kupakai saat ini berbeda dengan yang kupakai kemarin malam. Aku berusaha menajamkan otak untuk mengingat-ingat apa yang sudah terjadi kemarin malam. Berbagai pemikiran mulai berseliweran di dalam benakku.
In—ini siapa yang menggantikan pakaianku? batinku di dalam hati dengan tangan meraba piyama yang sedang kukenakan saat ini.
Apa mungkin Bik Tanti? Tapi... Bik Tanti hanya bekerja sampai setengah hari. Jadi nggak mungkin Bik Tanti yang menukarkan pakaianku. Atau jangan-jangan... Pak Dewa? Astaga, tenggelamkan saja aku ke dalam laut kalau pelakunya benar-benar pria itu.
Tanganku mengacak rambut dengan bingung sekaligus pasrah. Mataku sontak terbelalak horor, kejadian kemarin malam sekilas terlintas di dalam benakku walau samar-samar.
[flashback]
"Apa yang Anda lakukan, Pak Geraldo?" Mendengar suara yang sangat familiar di telingaku akhir-akhir ini, kepalaku sontak mendongak untuk menatap pemiliknya walaupun kepalaku terasa berat seperti ditimpa oleh bebatuan puluhan kilogram.
“Membantu gadis cantik yang sedang mabuk ini,” jawab Geraldo ringan.
“Bagaimana dia bisa mabuk?” Setelah menajamkan penglihatanku dengan usaha yang cukup keras, kini aku bisa mengenali sosok yang sedang berdiri di hadapanku itu , Pak Dewa.
"Saya hanya memberikan segelas sampanye untuk Alisha tadi. Tetapi si Cantik ini langsung menegaknya dalam sekali tegukan tanpa tahu efek sampingnya padahal katanya dia nggak pernah minum minuman berakohol sebelumnya," gerutu Geraldo sambil menahan kedua lenganku agar tidak tumbang dan menubruk tubuhnya.
"Kalian saling mengenal?" tanya Pak Dewa lagi. Walau samar-samar, dapat kulihat rahangnya yang mengeras.
Apa pria itu marah? Tapi kenapa juga Pak Dewa harus marah, ‘kan? Sangat nggak masuk di akal kalau memang benar pria itu marah. Toh, seharusnya Pak Dewa merasa senang dong karena ia baru saja bersenang-senang dengan wanita cantik bernama Indira tadi. Aneh sekali.
"Kalau kami nggak saling mengenal, nggak mungkin gadis ini menerima sampanye dari saya, Pak Dewa. Sepertinya kalimat saya barusan sudah cukup untuk menjawab pertanyaan Pak Dewa, ya,” jawab Geraldo. “Permisi, saya harus mengantarnya pulang," lanjut Geraldo sambil menggiringku di sebelahnya.
Belum ada dua langkah aku digiring oleh Geraldo, pangkal lenganku sudah lebih dulu ditarik oleh Pak Dewa. Tangan pria itu menarikku yang masih ditahan oleh Geraldo.
"Lepaskan tangan Anda, Pak Geraldo. Gadis ini datang dengan saya, maka dia harus pulang dengan saya,” ujar Pak Dewa yang menatap Geraldo dengan tatapan tajamnya.
Pak Dewa maupun Geraldo enggan melepaskan tangan mereka dari lenganku. Adegan tarik-menarik dengan tubuhku yang berada di antara dua pria ini pun nggak terelakkan. Nggak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah. Aku yang sudah dalam keadaan setengah sadar pun membiarkan dua pria itu dengan ego mereka masing-masing tanpa mengeluarkan protes sedikit pun.
Tanpa aba-aba, Pak Dewa menyentak tangannya sehingga tubuhku langsung masuk ke dalam pelukannya dan menubruk dadanya yang keras itu. Hampir saja aku terjerembab kalau saja nggak menjadikan d**a pria itu sebagai tumpuanku.
Mataku yang awalnya sudah setengah tertutup, kini membola setelah menyadari apa yang baru saja tanganku sentuh. Aroma musk yang masuk ke dalam indra penciumanku, ditambah lagi d**a bidang yang tersuguh tepat di depan mataku tentu saja membuatku kaget, ‘kan?
"Pak Dewa..." lirihku sambil mengelus tepat di dadanya. Biarkan saja kalau pria itu akan mengamuk setelah ini, yang penting aku bisa sedikit mengagumi ciptaan Tuhan yang elok ini dengan sisa kesadaran yang kupunya.
"Kalau begitu saya permisi dulu. Sampai jumpa lagi besok, Pak Geraldo,” ujar Pak Dewa sebelum menarikku pergi dari tempat itu.
Baru beberapa langkah meninggalkan Geraldo di belakang kami, Pak Dewa tiba-tiba membawaku ke dalam gendongan ala bridal style-nya. Sontak saja aku memikik kaget karena ulah pria itu yang hampir membuatku jantungan. "Pak, saya bisa jalan sendiri," pekikku dengan tangan yang menepuk pundaknya agar diturunkan dari gendongan pria itu. "Saya masih punya kaki untuk jalan, Pak, bukan lumpuh layu," lanjutku.
Tapi ucapanku sama sekali nggak memengaruhi Pak Dewa. Pria itu malah menatapku dengan tajam sehingga aku hanya mampu bungkam dan pasrah dalam gendongannya.
Udahlah, pasrah aja kamu, Al, batinku di dalam hati.
Aku segera bersandar dengan nyaman pada jok kursi penumpang ketika diturunkan oleh Pak Dewa. Pria itu duduk di balik kemudi setelah menutup pintu mobil yang ada di sisiku.
Entah apa yang merasuki benakku saat ini, posisi dudukku kini berpindah beberapa derajat sehingga menghadap Pak Dewa yang sudah siap melajukan mobilnya.
"Pak." Tanganku meraih wajah Pak Dewa dan menyusuri bulu-bulu halus yang ada di pipinya. Pria itu menatapku sementara aku membalas tatapannya dengan mata sayu yang setengah terbuka.
"Alisha," panggil Pak Dewa dengan nada suaranya yang rendah. Pria itu memajukan wajahnya ke arahku dengan tangan yang menaikkan persneling sehingga mobilnya nggak jadi melaju.
Kini wajah kami hanya berjarak kurag dari satu jengkal. Nafasnya yang beraroma mint menyeruak ke dalam indra penciumanku, mengirimkan sensasi menggelitik seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalam perutku.
Pak Dewa menggeram sambil merangkum wajahku dengan kedua tangannya. "Jangan..."