Sesuatu Tentang Ardo

2180 Kata
Begitu pagi tiba, tepat pukul delapan pagi, Silla membuka matanya. Baru saja terbangun dari tidur dan betapa terkejutnya dia karena baru menyadari dia bangun kesiangan. Semalam dia memang terlalu lelah setelah acara resepsi pernikahannya dengan Ardo yang sangat melelahkan. Setelah kejadian yang menimpanya di kamar Ardo, Silla merasa hatinya sangat sakit karena itu dia tak langsung tidur setelah masuk ke kamarnya. Entah berapa lama dia menghabiskan waktu dengan menangis hingga akhirnya dia terlelap dalam tidur, dan inilah akibatnya sekarang … dia bangun kesiangan padahal pagi ini ada meeting yang harus dia ikuti. Bergegas Silla menuju kamar mandi yang berada di luar karena di kamarnya tak ada kamar mandi, sangat jauh berbeda dengan kamar Ardo yang di dalamnya dilengkapi dengan kamar mandi. Silla menyelesaikan kegiatan mandinya dengan cepat. “Huh, pakaianku belum siap lagi,” gerutunya begitu menyadari pakaiannya belum dia bereskan dan masih ada di dalam koper. Dengan gerakan terburu-buru Silla membuka koper dan mengambil pakaian formal yang akan dia kenakan untuk mengikuti meeting tersebut. Begitu menyelesaikan riasannya dan sudah yakin penampilannya sempurna, Silla berniat keluar dari apartemen. “Nyonya Silla.” Namun, langkah wanita itu terhenti begitu mendengar suara seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Begitu berbalik badan, ternyata Bi Imah pelakunya. “Selamat pagi, Nyonya. Tidur Anda nyenyak?” Silla mengulas senyum. “Ya, cukup nyenyak, Bi.” “Pantas anda bangun kesiangan padahal Tuan Ardo sudah bangun sejak tadi.” Silla tertegun, kembali teringat pada kejadian semalam begitu mendengar nama Ardo disebut. “Oh, ya. Di mana Kak Ardo sekarang? Apa dia sedang sarapan?” Bi Imah menggelengkan kepala. “Tidak. Tuan sudah berangkat pukul tujuh tadi.” Silla terbelalak, terkejut mengetahui Ardo berangkat sepagi itu. Apa pria itu tak lelah setelah menghadapi acara resepsi yang melelahkan kemarin? “Kak Ardo sudah berangkat ke kantor? Apa dia tidak sarapan dulu?” “Sarapan dulu kok, Nyonya. Memang setiap hari Tuan Ardo berangkat ke kantor pukul tujuh pagi.” Silla tertegun, baru mengetahui hal ini. Ternyata Ardo sangat rajin karena setiap hari bangun pagi-pagi sekali. Dia jadi malu karena bangun kesiangan, padahal sebagai seorang istri, dia harus bangun lebih dulu dibandingkan suaminya. Padahal Silla tak terbiasa bangun pagi-pagi sekali ketika dia belum menikah. Namun, sekarang situasinya berbeda, dia bukan lagi seorang gadis lajang melainkan wanita yang sudah menikah. “Oh, begitu ya. Jadi Ardo setiap pagi bangun pagi-pagi sekali?” Silla memastikan sekali lagi. “Ya, Nyonya. Biasanya tuan bangun pukul lima pagi, pukul enam biasanya sudah mulai sarapan.” “Artinya Bibi datang ke apartemen pagi-pagi sekali, ya?” Bi Imah mengangguk-anggukan kepala. “Ya, biasanya saya datang ke aparteman pukul empat pagi. Rumah saya dekat kok dari sini, jadi bukan masalah saya datang pagi-pagi sekali.” “Bibi memegang kunci apartemen ini?” “Ya, Nyonya. Tuan Ardo memberikan kunci duplikat apartemen ini.” Silla pun mengangguk paham, lantas menyimpulkan Bi Imah sudah cukup lama bekerja melayani Ardo di apartemen ini dan sudah menjadi orang kepercayaan pria itu. Silla jadi berpikir kelak dia akan banyak menanyakan tentang Ardo pada wanita paruh baya itu. “Bibi pasti sudah lama bekerja untuk Kak Ardo, ya?” Bi Imah kembali menganggukan kepala. “Sudah lama sekali, sejak Tuan Ardo masih anak-anak. Dulu saya yang merawat Tuan Ardo sewaktu kecil.” “Oh, berarti Bibi dulu bekerja di rumah Tante Lidya?” “Ya, saya ikut ke sini semenjak Tuan Ardo tinggal di apartemen ini.” “Karena Bibi sudah merawat Kak Ardo sejak kecil, berarti Bibi sudah tahu semua yang disukai dan dibenci Kak Ardo?” Bi Imah tersenyum lebar. “Tentu saja saya tahu. Apa Anda ingin bertanya tentang Tuan Ardo? Jangan ragu menanyakannya pada saya.” Silla mengangguk disertai senyum. “Ya, saya sepertinya akan banyak bertanya pada Bibi. Hm, kalau Bibi tidak keberatan saya juga ingin Bibi mengajari saya cara memasak makanan kesukaan Kak Ardo.” “Wah, Anda bisa memasak?” Detik itu juga Silla menundukan kepala untuk menyembunyikan rona merah yang bermunculan di wajahnya. “Tidak, Bi. Saya tidak bisa memasak.” “Hm begitu ya. Wajar jika Anda tidak bisa memasak karena wanita karir seperti Anda pasti sangat sibuk dengan urusan pekerjaan. Jangan khawatir tentang makanan, ada Bibi yang siap memasak untuk Anda dan Tuan Ardo.” Dengan tegas Silla menggelengkan kepala. “Tidak, Bi. Justru saya ingin berubah. Saya bukan lagi gadis lajang yang hidup sendirian, tapi saya sudah memiliki suami yang harus saya layani lahir dan batin. Karena itu saya akan belajar memasak mulai sekarang. Tolong Bibi ajari saya, ya.” Bi Imah menatap takjub wajah Silla yang serius dan dengan tulus ingin mengabdikan hidupnya untuk sang suami. “Anda benar-benar hebat, Nyonya. Tuan Ardo beruntung sekali mendapatkan istri seperti anda. Sudah cantik, pintar, sopan dan ramah, Anda juga sangat peduli dan berbakti pada suami.” “Bibi berlebihan. Saya hanya sedang berusaha menjadi istri yang baik untuk Kak Ardo.” Bi Imah tersenyum tipis, dan tiba-tiba mendekatkan tubuhnya pada Silla yang memang berdiri cukup jauh darinya. “Ngomong-ngomong tentang melayani lahir dan batin, bagaimana kegiatan kalian semalam? Semuanya lancar kan, Nyonya?” Detik itu juga Silla melebarkan mata, tak menyangka Bi Imah begitu berani bertanya demikian padanya. “Bibi, kenapa bertanya begitu?” “Ingin tahu saja. Bibi harap usaha Bibi mendekorasi kamar kalian sebagai kamar pengantin tidak sia-sia. Kalian menyukainya, kan?” Silla tak bisa berkata-kata karena semalam dia sama sekali tidak tidur di kamar itu. Namun, beruntung Silla sempat masuk ke kamar tersebut sehingga dia tahu dekorasi seperti apa yang dimaksud Bi Imah. “Ya, dekorasi kamarnya sangat indah. Apalagi banyak bunga hidup yang diletakan di kamar, indah dan harum sekali.” Bi Imah terkekeh. “Saya menebak Anda pasti suka bunga karena biasanya wanita memang menyukai bunga. Benar, kan?” “Ya, saya suka bunga, Bi.” Bi Imah tersenyum sumringah, tampak senang karena usahanya menghias kamar Ardo berjalan sukses. Wanita paruh baya itu tak tahu menahu apa yang terjadi sebenarnya di kamar itu semalam. Dia tak tahu bahwa Ardo dan Silla tidur di kamar yang terpisah. “Syukurlah kalau begitu, Nyonya. Saya harap kegiatan kalian semalam cepat membuahkan hasil, ya. Anda bisa cepat mengandung dan memberikan cucu untuk Nyonya Lidya.” Silla tak mengatakan apa pun, hanya menundukan kepala untuk menyembunyikan raut sedih di wajahnya. Bagaimana bisa dia memberikan cucu untuk Lidya jika di antara dirinya dan Ardo tak terjadi apa pun. Silla tak yakin akan memberikan cucu dari hasil pernikahannya dengan Ardo mengingat pria itu berkata tidak akan pernah menyentuhnya, tak akan pernah terjadi hubungan intim layaknya suami dan istri di antara mereka berdua. “Bi, saya permisi dulu, ya. Saya harus berangkat ke kantor dulu,” ucap Silla, memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan itu. “Anda tidak sarapan dulu? Saya sudah menyiapkannya di meja makan.” Silla menggelengkan kepala. “Tidak, Bi. Maaf, bukan tidak mau memakan masakan Bibi, tapi saya sudah terlambat ini. Apalagi hari ini ada rapat penting yang harus saya ikuti.” “Ho, Anda juga akan mengikuti rapat, ya? Jadi ingat tadi Tuan Ardo juga terburu-buru berangkat karena katanya ada rapat penting hari ini.” “Oh, begitu. Saya permisi dulu, ya, Bi.” Silla melanjutkan langkahnya yang tertunda menuju pintu. Namun … “Kapan Anda akan mulai belajar memasaknya, Nyonya?” Pertanyaan Bi Imah membuat langkah Silla kembali terhenti. “Besok saja. Saya akan mulai belajar dari menyiapkan sarapan untuk Kak Ardo.” Bi Imah pun mengangkat kedua ibu jarinya. “Bagus. Saya siap mengajari anda, Nyonya.” Silla tersenyum tipis. “Terima kasih, Bi.” Lantas kali ini benar-benar meninggalkan apartemen karena Bi Imah tak lagi menghentikannya. *** Silla turun dari mobil dengan terburu-buru begitu tiba di tempat tujuan, membiarkan mesin mobilnya dalam kondisi menyala dengan kunci mobil yang masih menggantung karena dia menyerahkan mobilnya pada pihak hotel yang akan memindahkan mobil tersebut ke tempat parkir. Sedangkan Silla berjalan cepat memasuki gedung hotel mewah yang sangat tersohor di kota Jakarta tersebut. Tujuannya adalah Ballroom karena di sanalah rapat penting antara dirinya dan beberapa rekan bisnisnya akan dilangsungkan. “Silla.” Langkah Silla terhenti begitu mendengar suara seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Begitu berbalik badan, ternyata itu Tasya, teman baik Silla yang juga merupakan salah satu pemimpin perusahaan besar di Indonesia. Sama halnya dengan Silla, Tasya pun menggantikan posisi ayahnya memimpin perusahaan karena sudah pensiun. “Tasya. Oh, benar juga, kamu juga ikut meeting hari ini, ya?” Tasya mengangguk. “Ya, aku ikut. Eh, kok kamu juga ikut meeting ini, Sil?” Silla memutar bola mata. “Tentu saja aku pasti ikut, aku kan ikut menjadi donasi juga.” Tasya terkekeh. “Ya, aku tahu. Malah perusahaan kamu menjadi pemberi donasi terbanyak. Hanya saja aku heran kenapa kamu yang datang dan bukan asisten kamu padahal kamu kan baru menikah kemarin, harusnya kamu sedang bulan madu sekarang.” Silla hanya bisa meneguk ludah karena Tasya membahas tentang bulan madu yang bila diingat hanya membuat hati Silla sakit saja. “Kalian belum berangkat bulan madu, Sil? Ke mana rencananya kalian akan pergi bulan madu?” Silla menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan perlahan. “Tidak akan ada bulan madu, Tas. Kak Ardo tidak ingin pergi berbulan madu.” Tasya melebarkan mata, terlihat terkejut. “Hah? Kenapa tidak mau pergi bulan madu? Padahal itu momen penting untuk pasangan suami istri agar bisa lebih intim dan mesra. Bagaimana kamu bisa cepat hamil kalau kalian tidak menghabiskan waktu berduaan dan bersenang-senang? Kalian tidak berencana menunda kehamilan dulu, kan?” Silla hanya terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Tentu saja kediaman Silla itu membuat Tasya terheran-heran. “Hei, kok malah melamun sih? Aku kan sedang bertanya.” Tasya mengibas-ngibaskan tangannya tepat di depan wajah Silla yang memang sedang melamun. Sebenarnya wanita malang itu sedang memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan pada Tasya agar tak mencurigai apa pun. “Aku tidak sedang ingin membahas ini karena aku dan Kak Ardo juga belum membahasnya.” Sehingga jawaban itu yang dipilih Silla. “Hm, begitu ya. Sebenarnya, Sil, jujur aku kurang setuju kamu menikah dengan Ardo.” Silla yang sedang menundukan kepala itu pun bergegas mendongak dan memakukan tatapannya pada sang sahabat. “Kenapa memangnya? Kamu kan tahu alasan aku menikah dengan Kak Ardo?” Ya, Tasya memang sudah mengetahui semuanya, termasuk alasan Silla bersedia dijodohkan dengan Ardo karena demi mengabulkan permintaan Lidya yang sedang sakit keras. Silla sudah menceritakan semuanya pada wanita itu. “Iya, aku paham kamu berada dalam kondisi terjepit dan serba salah. Tapi masalahnya Ardo itu …” Tasya tak melanjutkan ucapannya, terlihat ragu. “Memangnya Kak Ardo kenapa?” Tasya masih diam seribu bahasa. “Tas, memangnya Kak Ardo kenapa? Apa yang kamu ketahui tentang dia?” “Aku takut memberitahu kamu, Sil. Aku takut kamu akan terluka.” Silla meneguk ludah, tiba-tiba saja merasakan firasat buruk. “Katakan saja. Jangan membuatku penasaran setengah mati begini.” “Hm, kamu yakin ingin tahu? Ardo itu sekarang kan sudah resmi menjadi suamimu.” Silla pun berdecak. “Ya, aku ingin tahu. Salahmu sendiri kenapa bicara menggantung begitu, aku kan jadi penasaran. Sekarang cepat katakan, suamiku memangnya kenapa?” Tasya sudah membuka mulut, siap memberitahu Silla tentang entah apa pun yang dia ketahui tentang Ardo. “Hei, kalian berdua sedang apa di sana? Cepat masuk ke dalam, rapatnya akan segera dimulai.” Sayangnya salah seorang kenalan mereka yang juga peserta rapat itu menegur, memberitahu bahwa rapat akan segera dimulai. Tasya pun dengan terpaksa mengurungkan niatnya untuk bercerita. Kini kedua wanita itu berjalan dengan terburu-buru menuju ruang meeting. Lantas menduduki kursi masing-masing yang sudah disiapkan. Silla menatap sekeliling ruangan dan menyadari ada keanehan di sana. Orang-orang yang hadir dalam ruangan itu merupakan orang-orang yang sudah dia kenal dan memang biasa mengikuti meeting yang rutin dilangsungkan sebulan sekali itu. Semua peserta meeting sudah hadir di dalam ruangan, tapi anehnya ada satu kursi yang masih kosong. Penasaran kursi itu akan ditempati oleh siapa, Silla pun berbisik pada Tasya yang duduk di sampingnya, “Tas, kok masih ada kursi kosong padahal semua peserta sudah berkumpul di ruangan ini?” “Hm, aku dengar kabar sih akan ada peserta baru.” “Peserta baru? Siapa?” Tasya mengangkat kedua bahu, tanda dia pun tak tahu menahu. “Mohon perhatian semuanya.” Di tengah-tengah rasa penasaran Silla yang mulai naik ke permukaan, suara pemimpin rapat terdengar mengalun. Atensi semua orang pun tertuju pada sang pemimpin rapat yang bernama Fredy tersebut. “Mungkin kalian sudah mendengar kabar akan ada peserta baru yang ikut memberikan donasi dalam proyek pembangunan sekolah dan yayasan yang sudah kita rencanakan. Hari ini beliau akan hadir di sini.” Silla menatap ke arah pintu begitu mendengar suara derit pintu yang terbuka. “Karena itu mari kita sambut bersama-sama. Inilah peserta baru perkumpulan kita yang akan mengikuti meeting hari ini.” Setelah itu kedua mata Silla terbelalak sempurna, pasalnya sang peserta baru itu merupakan seseorang yang sangat dia kenal. “Pak Adelardo Agustine Pranaja yang tidak lain merupakan CEO dari Pranaja Group.” Ya, Ardo yang menjadi peserta baru itu. Tiba-tiba saja Silla menjadi gugup karena sekarang dia berada di ruangan yang sama dengan sang suami. Sepertinya meeting kali ini tak akan setenang biasanya bagi wanita itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN