Sanggupkah Tinggal Bersamanya?

2227 Kata
Suasana di dalam mobil itu tampak hening, tak ada suara yang terdengar padahal ada dua orang yang sedang duduk di sana yaitu Ardo dan Silla yang baru saja resmi menjadi pasangan suami istri. Setelah acara resepsi pernikahan mereka selesai, kini mereka akan mulai tinggal bersama. Silla mengikuti ke mana pun suaminya itu membawanya pergi. Perjalanan mereka yang memakan waktu sekitar 40 menit itu akhirnya usai setelah mobil tiba di depan sebuah gedung pencakar langit. Melihat sekilas pun, Silla tahu itu merupakan gedung apartemen. Ardo memasukan mobil itu ke area parkir, setelah itu mematikan mesin. “Ayo turun,” ajaknya pada Silla. Silla mengangguk, dia ikuti Ardo yang keluar lebih dulu dari mobil. Kini mereka berjalan memasuki gedung apartemen, di mana Silla hanya mengikuti dari belakang sosok suaminya yang berjalan dengan angkuh sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Dia tak mengajak Silla berjalan di sampingnya seolah dia tak peduli pada istrinya tersebut. Langkah mereka baru terhenti setelah tiba di depan salah satu unit apartemen yang berada di lantai 15. Begitu bel pada pintu ditekan, pintu pun terbuka, sosok wanita paruh baya muncul dari balik pintu. “Ah, Tuan Ardo dan Nyonya …” “Silla,” ucap Silla memperkenalkan diri pada sosok wanita yang sepertinya asisten rumah tangga di apartemen Ardo tersebut. “Ah, iya, Nyonya Silla. Selamat datang. Saya sudah menyiapkan makanan di meja makan, mungkin Tuan dan Nyonya sudah lapar.” “Terima kasih, Bi. Kami masih kenyang jadi mungkin kami tidak makan malam ini.” Ardo yang menyahut. “Makanan yang sudah Bibi siapkan, bawa pulang saja. Berikan pada suami dan anak Bibi.” “Baik, Tuan.” Ardo pun tak berkomentar lagi, tatapannya tertuju pada Silla yang hanya diam mematung di tempatnya berdiri. Wanita itu terlihat sedang melihat-lihat apartemen Ardo, terlihat dari bola matanya yang sedang mengedar ke sekeliling. “Maaf ya kamu jadi tinggal di apartemen yang kecil dan sempit ini.” Silla tersentak kaget karena Ardo yang tiba-tiba mengajaknya bicara. Kepala Silla pun menggeleng. “Tidak kok. Ini apartemen yang elit dan mewah.” “Tapi tidak bisa dibandingkan dengan rumahmu yang tentunya sangat luas, besar dan megah. Sebenarnya aku tidak akan melarang jika kamu ingin tetap tinggal di rumahmu. Kamu tidak perlu memaksakan diri harus tinggal bersamaku di sini jika kamu keberatan.” Silla menggelengkan kepala. “Tidak. Aku akan tinggal bersamamu di sini.” Ardo pun mengangkat kedua bahu, tak peduli. “Ya, itu terserah kamu. Aku sudah bilang akan memberikan kebebasan untukmu.” “Aku tahu, tapi aku akan tetap tinggal di sini.” “OK. Kamu tenang saja walau apartemen ini tidak sepadan dengan rumahmu yang bagaikan istana itu, di sini kamu akan tetap dilayani. Bi Imah yang akan mengerjakan semua pekerjaan rumah, kamu hanya tinggal bilang saja pada Bi Imah jika membutuhkan sesuatu.” Silla menoleh pada sosok wanita paruh baya yang masih berdiri di dekat pintu yang kini dia ketahui namanya. “Bi, layani istriku ini sebaik mungkin. Turuti apa pun yang dia inginkan.” “Baik, Tuan,” sahut Bi Imah patuh. Pria itu pun melenggang pergi tanpa mengatakan apa pun lagi, meninggalkan Silla yang masih berdiri di tempat sambil menatap punggungnya yang semakin menjauh. “Nyonya, apa Anda tidak lapar?” Hingga atensi wanita itu teralihkan oleh suara Bi Imah yang bertanya demikian padanya. Silla menggelengkan kepala. “Tidak, Bi. Saya masih kenyang karena tadi sudah makan di acara resepsi.” “Oh, baik. Kalau begitu saya bereskan dulu makanan di atas meja makan.” “Ya, seperti yang Kak Ardo katakan tadi, bawa saja makanan itu dan berikan untuk suami juga anak-anak Bibi.” “Baik, Nyonya.” Bi Imah berniat melangkah pergi ke ruang makan untuk melakukan seperti yang dia katakan yaitu membereskan makanan yang sudah dia hidangkan di atas meja makan, tapi tiba-tiba dia urung melangkah pergi dan kembali berbalik badan menghadap Silla yang masih berdiri di tempat. “Nyonya pasti lelah, jadi istirahat saja dulu. Saya sudah menyiapkan air hangat untuk Anda berendam di kamar mandi. Oh, ya. Koper Anda yang dikirimkan supir pribadi Anda sudah saya simpan di kamar Anda dan Tuan Ardo. Tapi belum saya bereskan, saya tidak berani membuka koper Anda jika Anda tidak ada di sini.” Silla mengangguk paham. “Ya, biar saya yang membereskan isi koper saya. Terima kasih, Bi.” “Hm, Nyonya, boleh saya titip pesan pada Tuan Ardo?” Satu alis Silla terangkat naik. “Pesan apa, Bi? Katakan saja.” Bi Imah tak langsung melanjutkan perkataannya, dia kini sedang mengulum senyum membuat kerutan kini bermunculan di kening Silla yang merasa heran dengan respons sang asisten rumah tangga. “Kenapa, Bi? Apa ada yang lucu?” tanya Silla, tak kuasa menahan rasa penasaran ingin mengetahui alasan Bi Imah tersenyum seperti itu. “Itu … saya jadi malu mengatakannya.” “Malu? Kenapa harus malu? Katakan saja, Bi. Memangnya apa pesan Bibi untuk Kak Ardo?” “Hm, begini, Nyonya … tolong sampaikan pada Tuan Ardo jamu kuatnya Bibi simpan di lemari es. Tinggal dituang ke gelas saja kalau kalian sudah siap melakukannya, ya.” Detik itu juga Silla melebarkan mata, dia tidak bodoh, paham betul arah pembicaraan wanita paruh baya tersebut. “J-jamu kuat?” “Ya. Nyonya Lidya yang meminta saya menyiapkan jamu itu untuk Tuan Ardo. Tuan Ardo pasti membutuhkannya untuk malam ini, agar dia kuat dan malam pertama kalian berjalan sukses.” Bi Imah kembali mengulum senyum, sedangkan Silla hanya diam membisu disertai wajahnya yang merona hebat karena malu. “Semoga semuanya lancar, ya, Nyonya. Jangan gugup atau panik, hadapi semuanya dengan rileks dan santai. Bibi doakan semoga Tuan dan Nyonya bisa cepat dapat keturunan, ya. Bisa secepatnya memberikan cucu untuk Nyonya Lidya karena beliau sangat menginginkan cucu.” Silla meneguk ludah, tak tahu harus menjawab apa sehingga dia hanya diam dan mengulas senyum canggung. “Kalau begitu saya permisi dulu, Nyonya. Silakan Anda bersiap-siap dulu. Kenakan pakaian yang seksi agar Tuan Ardo bergairah.” Setelah terkekeh kecil, Bi Imah pun benar-benar melenggang pergi kali ini. Dia tak tahu ucapannya membuat Silla menjadi salah tingkah. Tak ada yang salah dengan nasihat Bi Imah karena memang seharusnya malam ini menjadi malam pertama baginya dan Ardo sebagai pasangan suami istri. Tak ingin berlarut-larut memikirkan perkataan Bi Imah, Silla pun memilih untuk pergi. Selain ingin melihat-lihat semua ruangan yang ada di apartemen itu, Silla juga ingin mencari letak kamarnya dan sang suami. Silla memeriksa satu demi satu ruangan yang ada di apartemen tersebut hingga dia terhenti begitu tiba di sebuah kamar. “Sepertinya ini kamarku dan Ardo,” gumamnya begitu melihat kopernya yang dikatakan Bi Imah tadi diletakan di kamar tersebut. Tanpa ragu Silla pun masuk ke dalam kamar. Tak ada siapa pun di dalam kamar itu, bahkan sosok Ardo pun tak terlihat. Namun, mendengar suara gemericik air dari kamar mandi, Silla menebak ada Ardo yang sedang menggunakan kamar mandi tersebut. Sambil menunggu Ardo keluar dari kamar mandi, Silla berjalan-jalan di sekitar kamar, melihat-lihat ada barang apa saja yang diletakan di kamar itu. Tak banyak benda yang diletakan di kamar yang terlihat rapi, bersih dan nyaman itu. Kamar bernuansa abu-abu karena dinding dan sepreinya berwarna senada yaitu abu-abu muda, hanya ada satu tempat tidur berukuran besar yang muat meski diisi oleh tiga orang sekalipun. Ada sebuah lemari di sana, lemari terbuat dari kayu berkualitas terbaik yang terlihat mewah dengan ukirannya yang rumit dan indah. Ada pula meja di mana di atasnya terdapat komputer dan beberapa dokumen yang menumpuk. Ada kursi juga untuk bersantai. Tatapan Silla kini tertuju pada jendela yang gordennya dalam kondisi terbuka. Gorden itu berkibar karena jendela juga dalam kondisi terbuka sehingg angin berembus masuk ke dalam kamar. Silla berjalan mendekati jendela tersebut. Dari jendela itu bisa dilihat pemandangan indah di sekitar gedung apartemen. Silla tampak menikmati pemandangan itu sehingga dia tak sadar ketika Ardo keluar dari kamar mandi. “Sedang apa kamu di sini?” Silla yang sedang melamun itu tersentak begitu mendengar suara Ardo dari arah belakang. Dia berbalik badan dan detik itu juga dia melebarkan mata karena melihat penampilan Ardo yang begitu menggoda. Bagaimana tidak menggoda, Ardo hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya. Dia bertelanjang d**a sehingga perutnya yang berotot, serta d**a bidangnya bisa dilihat Silla dengan jelas. “M-maaf, aku akan keluar sekarang.” “Aku tanya sedang apa kamu di sini?” Silla menghentikan langkahnya yang berniat menuju pintu begitu mendengar Ardo yang mengulangi pertanyaannya. “Aku ke sini untuk bersiap-siap mandi. Bukankah ini juga kamarku?” Silla yang menundukan kepala itu pun seketika mendongak begitu mendengar suara dengusan yang berasal dari mulut Ardo yang tengah mencibir perkataannya. “Siapa yang bilang kamar ini juga kamarmu?” “Bi Imah yang mengatakannya.” Ardo kembali mendengus. “Ah, aku lupa mengatakannya pada Bi Imah. Kamarmu bukan di sini, tapi di kamar sebelah. Aku sudah bilang padamu sejak awal, meski kita sudah menikah tapi kita akan tetap menjalani hidup masing-masing, tentu saja mustahil kita tidur di kamar yang sama.” Silla tak berkomentar apa pun, tetap berdiri dalam diam. Namun, terlihat jelas raut wajahnya menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Sialnya Ardo menyadari hal itu. Silla gugup bukan main ketika Ardo berjalan mendekatinya. Refleks dia melangkah mundur untuk membuat jarak membentang di antara dirinya dan Ardo begitu pria itu berdiri di hadapannya. Tak terlihat malu meski kondisinya setengah telanjang di hadapan seorang wanita. “Kenapa kamu terlihat sedih?” “Sedih? Siapa yang bersedih?” “Kamu,” sahut Ardo seraya menunjuk Silla dengan dagunya. Silla menggelengkan kepala. “Aku tidak sedih kok.” “Masa? Tapi aku melihat ada kekecewaan di wajah dan sorot mata kamu. Kenapa kamu kecewa? Jangan bilang kamu mengharapkan kita akan tidur di kamar yang sama dan sesuatu akan terjadi di antara kita malam ini.” Tatapan Silla yang biasa lembut, kini terlihat mengeras. Dia tersinggung mendengar tuduhan Ardo tersebut. “Jangan bicara sembarangan. Aku tidak seperti itu.” “Benarkah?” “Tentu saja. Aku tidak pernah berpikir seperti yang kamu kira barusan. Aku tidak pernah … Akhh!” Namun, Silla tak bisa melanjutkan perkataannya karena Ardo yang tiba-tiba menyambar tubuhnya. Mengangkat tubuh Silla dan menggendongnya di pundak seolah tubuh wanita itu tak ubahnya seperti karung beras. Silla hanya bisa berteriak dengan serangan mendadak yang dilakukan pria yang telah resmi menjadi suaminya tersebut. “Apa yang kamu lakukan? Turunkan aku!” pinta Silla, berteriak histeris, kakinya pun berontak mencoba melepaskan diri. Ardo menuruti permintaan Silla, dia melepaskan wanita itu dengan membantingnya pelan ke atas tempat tidur yang sudah dihias sedemikian rupa karena terdapat banyak kelopak bunga yang sudah dihias membentuk hati. Sudah bisa ditebak Bi Imah pelakunya dan dia melakukan semua ini atas perintah Lidya. Silla yang sedang terlentang itu berniat bangun, tapi belum sempat dia bangkit, tubuh Ardo sudah mengungkungnya. Menindih Silla sehingga wanita malang itu tak bisa berkutik apalagi melepaskan diri. “Mau apa kamu, Kak?” “Bukankah ini yang kamu inginkan? Alasan kamu datang ke kamar ini karena kamu ingin aku menyentuhmu, kan? Malam ini adalah malam pertama kita sebagai pasangan suami istri. Lihat, bahkan kamar ini sudah dihias, terutama tempat tidur ini.” Silla tak mengatakan apa pun karena dia memang sejak awal menyadari kamar itu sudah disiapkan untuk mereka melakukan ritual malam pertama. “Katakan, Silla, apa kamu menginginkannya? Apa kamu ingin kita melakukan hubungan suami istri malam ini?” Silla masih diam seribu bahasa, dan ketika Ardo mulai mendekatkan wajahnya, Silla tak melakukan penolakan atau perlawanan apa pun. Wanita itu hanya memejamkan mata, pasrah menerima apa pun yang akan dilakukan Ardo padanya, toh sekarang dia resmi menjadi istri pria itu yang mana dia merupakan milik Ardo sepenuhnya. Silla pikir sebentar lagi akan merasakan lembutnya bibir Ardo di bibirnya, tapi ternyata yang dia pikirkan salah besar karena setelah itu tak ada apa pun yang terjadi. Ardo tiba-tiba menjauhkan diri dan detik itu juga Silla merasakan kehilangan serta kekecewaan yang mendalam. Ardo menyeringai, pria itu berdiri menatap Silla yang masih terlentang pasrah di tempat tidur. “Sudah kuduga kamu memang menginginkannya. Tapi maaf saja karena sudah kukatakan sejak awal aku tidak akan pernah menyentuhmu. Tentu saja tidak akan pernah terjadi hubungan intim di antara kita berdua. Jika kamu begitu menginginkannya, aku tidak akan melarang jika kamu ingin mencari pria lain yang bisa memuaskanmu di atas ranjang.” Kedua mata Silla melebar. “Apa? Kamu tidak keberatan aku bersama pria lain?” Ardo mengangkat kedua bahunya dengan santai. “Kenapa harus keberatan? Aku sudah bilang walau kita sudah resmi menikah, kita tidak boleh ikut campur urusan masing-masing. Tentu saja kamu berhak melakukan apa pun yang kamu suka, termasuk bercinta dengan pria lain. Aku tidak akan peduli.” Deru napas Silla memburu, dadanya naik turun dengan cepat karena mendengar ucapan Ardo ini entah kenapa membuat dadanya terasa sesak, hatinya sakit bukan main. Ardo berjalan menuju pintu dan membuka pintu itu selebar mungkin. “Bisa kamu pergi sekarang? Aku ingin ganti baju dan tidur. Aku lelah sekali hari ini.” Silla merasa terhina, tapi tak ada yang bisa dia lakukan selain menurut. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan tanpa kata menuju pintu. Ardo mengusirnya mentah-mentah. “Hei, tunggu sebentar.” Langkah Silla terhenti karena Ardo yang kembali memanggilnya. “Jangan lupa bawa kopermu.” Kali ini Silla mengepalkan tangan, dengan gerakan kasar membawa kopernya dan dia pun benar-benar pergi dari kamar itu setelahnya. Baru kali ini Silla merasa terhina seperti ini, Ardo sudah keterlaluan padanya. Benarkah dia bisa bertahan tinggal bersama pria sekejam itu? Silla mulai tak yakin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN