Suami Menyebalkan

2168 Kata
Seperti yang sudah Silla duga, dia memang tak merasa tenang sepanjang meeting berlangsung. Jantungnya terus berdetak cepat karena bayang-bayang Ardo yang hanya mengenakan handuk di pinggangnya semalam terus terngiang di pikiran wanita itu. Tubuh atletis nan menawan Ardo tak bisa menyingkir dari ingatannya. Terlebih karena di ruangan meeting itu mereka duduk berseberangan. Ya, kursi yang ditempati Ardo tepat berada di seberang Silla, seolah sengaja kursi mereka diletakan berseberangan seperti itu. Di sepanjang rapat berlangsung, Silla tak bisa berkonsentrasi mendengarkan presentasi dari peserta meeting yang lain karena dia menyadari sejak tadi Ardo menatapnya. Silla hanya bisa meneguk ludah, berpura-pura tak menyadari sang suami sedang menatapnya lekat. “Bu Silla.” Silla sedang melamun, sampai dia tak sadar namanya baru saja disebut oleh narator dalam meeting itu. “Bu Silla.” Sekali lagi nama Silla dipanggil dan wanita itu masih tak sadar. “Jangan panggil Silla lagi, tapi mulai sekarang panggil Nyonya Pranaja. Benar, kan? Lihat, dia bahkan tidak menoleh dipanggil seperti dulu.” Suara tawa semua orang pun mengalun karena salah seorang peserta meeting tiba-tiba menggoda demikian. Silla mengerjapkan mata, terkejut bukan main dan baru sadar bahwa dialah yang sedang ditertawakan. “Bu, melamunkan apa? Yang terjadi semalam jangan dipikirkan sekarang, Bu.” Silla mendengus, hatinya mulai kesal karena terus diejek oleh hampir semua peserta meeting. Yang lebih menjengkelkan karena Ardo tak membantunya sedikit pun, pria itu malah ikut tertawa seperti mereka. “Inilah kenapa pengantin baru seharusnya libur dulu dan menghabiskan waktu berdua di kamar.” Suara tawa pun kembali mengalun. Silla berdeham, dia pikir harus menghentikan kegaduhan ini sekarang juga atau semuanya akan berubah kacau dan meeting mereka tak akan pernah selesai. “Bukankah kita sedang rapat sekarang? Kenapa berubah jadi canda gurau begini?” “Itu karena kamu sejak tadi dipanggil tapi tidak menyahut.” Ardo yang menjawab membuat Silla refleks menatap pria itu. “Seharusnya sedang rapat serius begini kamu jangan melamun, Sayang. Dengarkan baik-baik dan fokus.” “Wah, Sayang. Pak Pranaja jangan lupa juga kita sedang ada di ruang meeting.” “Ooopss, maaf, saya lupa. Mohon dimaklumi ya namanya juga pengantin baru.” Dan lagi-lagi suara tawa kembali mengalun, Silla memasang raut cemberut karena jengkel bukan main dirinya menjadi bahan olok-olok semua peserta meeting. Sedangkan Ardo hanya menyeringai, pria itu tampak puas sudah mempermalukan istrinya sendiri. “Silakan Nyonya Pranaja, giliran Anda yang presentasi di depan.” Silla pun bangkit berdiri dari duduknya, mencoba mengabaikan panggilan baru yang disematkan untuknya. Setelah berdiri di depan, Silla mulai melakukan presentasi yang sudah disiapkan sebelumnya. Dia begitu lancar mengutarakan ide dan pendapat yang sudah dia pikirkan matang-matang sebelum meeting ini dimulai. Tema yang dibahas oleh Silla adalah tentang beasiswa yang dia rekomendasikan untuk sekolah dan yayasan yang akan didirikan kumpulan para pemimpin perusahaan tersebut. “Jadi, menurut saya beasiswa memang harus disiapkan untuk yayasan dan sekolah yang akan kita dirikan. Manfaat dari beasiswa ini seperti yang sudah saya jelaskan tadi yaitu untuk membantu anak-anak yang berprestasi tapi kesulitan dalam hal ekonomi karena keluarga yang kurang mampu. Kita harus menyiapkan dana lain untuk beasiswa ini,” ucap Silla seraya menatap ke arah para peserta rapat yang sedang mendengarkan presentasinya. “Jika ada yang ingin bertanya, silakan.” Silla pun mengatupkan mulutnya, menanti ada pertanyaan yang akan diberikan padanya. “Tentang beasiswa yang tadi Anda sarankan, bagaimana tanggapan Anda tentang sistem bully pada anak-anak beasiswa yang marak sering terjadi di sekolah-sekolah?” Akhirnya seseorang memberikan pertanyaan, dan ternyata yang bertanya itu tidak lain merupakan Ardo. Silla meneguk ludah karena tak menyangka pria itu akan menanyakan tentang hal seperti ini. Silla mencoba mengulas senyum ramah. “Kita sedang mendiskusikan tentang dana untuk beasiswa, jadi rasanya kurang pantas pertanyaan Anda ini.” “Kenapa kurang pantas?” Ardo cepat-cepat menyahut. “Kita sedang membahas tentang beasiswa, tapi sistem bully pada anak-anak beasiswa memang marak terjadi, bukan? Ini masalah yang sangat serius, kita juga harus memikirkan solusinya baik-baik. Jangan sampai sekolah dan yayasan yang kita dirikan menimbulkan kasus yang sering terjadi di sekolah-sekolah lain. Banyak siswa beasiswa yang frustrasi dan stress karena terus-terusan menjadi bahan bully teman-temannya, sampai siswa itu nekat mengakhiri hidup. Kita juga harus memikirkan solusi masalah ini jika memang benar akan menyiapkan beasiswa juga. Toh, kita pasti tidak ingin kan nama sekolah dan yayasan kita jadi tercoreng karena kasus pembully-an?” Beberapa peserta meeting terlihat mengangguk-anggukan kepala, menyetujui pendapat Ardo. Sedangkan Silla kini berdiri mematung dengan mulut terkatup rapat karena dia bingung harus menjawab apa. Sungguh dia tak sampai memikirkan masalah sampai sejauh ini. “Bagaimana jawabannya? Apa Anda sudah menyiapkan solusi untuk menyelesaikan masalah sistem bully ini?” tanya Ardo lagi karena Silla yang tak kunjung memberikan jawaban. Wanita itu terlihat kebingungan. “Mana jawabannya, Nyonya Pranaja?” Ardo kembali mendesak, membuat Silla di depan sana geram bukan main. “Saya rasa untuk menyelesaikan masalah ini, kita harus menyiapkan tim yang khusus memperhatikan tingkah laku para siswa, seperti menyiapkan beberapa guru BK yang menerima pengaduan dari siswa beasiswa yang terkena bully. Tentu saja guru BK ini harus tegas dan adil dalam mengambil keputusan.” Silla coba memberikan pendapatnya. “Lalu bagaimana dengan kebiasaan anak orang kaya selalu dibela? Anda tidak lupa kan uang bisa mengatasi segalanya, termasuk menyuap guru BK yang Anda maksud tadi.” Silla mendengus, lagi-lagi Ardo yang menyudutkannya. “Sebelumnya tentu saja kita harus memilih guru BK yang jujur dan bertanggungjawab pada tugasnya. Harus kita pastikan guru BK itu adil dan bijaksana saat mengambil keputusan jika sedang ada masalah.” Ardo mengangkat kedua bahunya. “Bagaimana mengatakannya, ya? Sifat manusia itu tak pernah lepas dari khilaf. Kita juga tidak bisa membaca pikiran dan isi hati orang lain. Karena itu, bagaimana caranya memastikan bahwa orang-orang yang kita pilih sebagai guru BK ini memang orang yang jujur, adil dan bertanggungjawab? Bukankah ini sangat sulit?” Kembali Silla meneguk ludah, tak dia pungkiri yang dikatakan Ardo memang benar. “Apa ini artinya Anda tidak setuju dengan masalah pemberian beasiswa yang saya sarankan ini?” Kali ini Silla yang bertanya. Ardo menggelengkan kepala. “Bukan tidak setuju. Hanya saja kita juga harus memikirkan baik-baik dampak dan masalah yang biasanya menimpa anak beasiswa. Kita juga harus memikirkan solusinya dari sekarang agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Tentunya kita tidak mau sekolah dan yayasan yang sudah susah payah kita dirikan mendapat cibiran dan pandangan negatif dari masyarakat. Benar, bukan?” Semua peserta meeting menganggukan kepala, menyetujui pemikiran Ardo tersebut. “Sepertinya masalah pemberian beasiswa ini harus kita pikirkan baik-baik, Bu Silla. Benar yang dikatakan Pak Ardo, masalah bullying pada anak beasiswa juga harus kita pikirkan solusinya.” Fredy yang menjadi pemimpin meeting tersebut akhirnya berkomentar. “Baik, Pak. Saya hanya sekadar memberikan masukan, pendapat dan saran. Saya sangat berterima kasih jika saran dan pendapat saya ini diterima mengingat begitu banyak anak cerdas dan berprestasi di luaran sana tapi mereka tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Saya rasa beasiswa ini sangat penting untuk membantu mereka. Bukankah ini tujuan kita mendirikan sekolah dan yayasan ini? Tidak lain untuk menciptakan anak-anak yang berkualitas untuk masa depan negara kita ke depannya agar tidak kalah bersaing dengan negara lain?” Silla tak menutupi emosi yang sedang dirasakannya, dia tetap berpikir bahwa pendapatnya itu memang benar dan seharusnya disetujui. “Memberikan beasiswa untuk banyak siswa kurang mampu di luar sana artinya kita harus menyiapkan dana yang besar.” Ardo kembali menginterupsi. “Apa kita sudah siap dengan dana ini? Bahkan dana untuk membangun gedung sekolah dan mempersiapkan perlengkapan sekolah hingga siap dilakukan proses belajar mengajar ini sudah membutuhkan dana yang banyak. Jangan lupa kita juga harus menyiapkan dana untuk membayar tenaga pengajar dan karyawan lain untuk perawatan gedung sekolah. Saya rasa masalah beasiswa ini bisa dipikirkan nanti karena tidak terlalu penting.” “Tidak terlalu penting Anda bilang?” tanya Silla semakin tersulut emosi. “Justru beasiswa sangat penting. Sudah saya katakan tadi bahwa tujuan kita mendirikan sekolah dan yayasan ini karena untuk menciptakan banyak siswa yang berkualitas. Tentu saja kita juga harus membantu siswa cerdas dan berpotensi, tapi terhambat untuk belajar karena masalah ekonomi keluarga. Kita harus membantu mereka.” “Apa Anda siap untuk dananya, Nyonya Pranaja?” Silla bungkam detik itu juga mendengar pertanyaan Ardo kali ini. “Sudah saya katakan tadi, dana untuk beasiswa ini pasti sangat banyak. Kita harus ….” “Saya siap memberikan donasi sebanyak mungkin untuk program beasiswa ini,” sahut Silla tegas, memotong ucapan Ardo yang belum selesai. “Bila perlu saya siap memberikan semua uang tabungan saya agar program beasiswa ini bisa diberikan pada anak-anak yang membutuhkan.” Ardo bertepuk tangan, terlihat jelas sedang mengejek ucapan Silla. “Wow, luar biasa. Anda memang seorang jutawan yang dermawan, ya, Nyonya. Baik kalau Anda sudah berkata begitu, saya akan menjadi orang pertama yang menyetujui diadakan program beasiswa untuk sekolah dan yayasan yang kita dirikan bersama ini. Bagaimana dengan yang lain?” Suara bergemuruh para peserta meeting yang sedang berdiskusi pun terdengar. d**a Silla naik turun dengan cepat karena dia baru saja meluapkan amarah yang dirasakannya, tatapannya memicing tajam pada Ardo yang justru sedang menyeringai padanya, terlihat jelas pria itu melakukan semua ini memang untuk memanas-manasi Silla, dan sialnya wanita itu terjebak permainan suaminya sendiri yang alih-alih membela dan membantunya justru memojokannya seperti ini. “Bagaimana kalau kita ambil keputusan tentang program beasiswa ini melalui voting terbanyak?” Fredy memberikan pendapatnya. “Ada yang keberatan dengan saran saya ini?” “Kami setuju, Pak,” sahut para peserta meeting dengan serempak layaknya paduan suara. “Baik. Kalau begitu mari kita mulai pengambilan suaranya. Silakan acungkan tangan bagi yang setuju diadakan program beasiswa ini.” Orang pertama yang mengangkat tangan adalah Ardo, seperti yang dikatakannya dia menjadi orang pertama yang mendukung pendapat dari istrinya. Lalu disusul peserta yang lain, semuanya mengangkat tangan pertanda semua peserta menyetujui diadakannya program beasiswa tersebut. “Dari hasil pengambilan suara yang ternyata seratus persen setuju, maka diputuskan program beasiswa yang disarankan Bu Silla disetujui. Kita akan menyiapkan untuk dana beasiswa ini.” “Maaf memotong, Pak. Saya ingin mengingatkan sekali lagi bahwa Bu Silla yang akan menjadi donatur terbesar dalam program beasiswa ini,” ujar Ardo. Silla yang mendengarnya mengulas senyum miring. “Tentu saja. Saya tidak akan menarik kembali ucapan saya.” Silla pun kembali ke kursinya karena merasa bagiannya sudah selesai. Lantas peserta yang belum melakukan presentasi pun memulai presentasinya. Satu hal yang membuat Silla jengkel bukan main, Ardo tak banyak bertanya pada peserta rapat yang lain, bahkan pria itu tak mengeluarkan suaranya sepatah kata pun, tak menanggapi presentasi mereka dan hanya memperhatikan dalam diam. Silla geram dalam hati, menyadari Ardo sengaja banyak bertanya dan menyudutkannya karena ingin membuatnya marah. Yang jadi pertanyaan di benak Silla, kenapa Ardo melakukan itu? Apa alasannya? Rasanya Silla ingin menanyakannya sekarang juga. Hampir tiga jam rapat itu berlangsung, hingga berakhir karena semua peserta rapat sudah mengutarakan pendapat mereka dan sudah banyak hal yang mereka sepakati. Setelah rapat itu selesai, kini mereka semua sedang berkumpul di restoran mewah yang berada di hotel tersebut. Memesan ruangan VIP sehingga tidak ada yang akan mengganggu mereka. Banyak makanan lezat dan mewah yang dihidangkan, siap untuk disantap oleh peserta rapat yang jika dihitung berjumlah delapan orang tersebut. “Kenapa pasangan pengantin baru ini duduk berjauhan?” tanya Fredy begitu melihat Ardo dan Silla memang duduk berjauhan. Silla duduk di dekat Tasya, sedangkan Ardo duduk bersama peserta rapat yang lain. “Iya, benar. Pasangan pengantin itu harus duduk berdekatan. Tidak perlu malu-malu, kami memaklumi kok.” Suara riuh mereka yang menyuruh Ardo dan Silla duduk berdekatan pun menggema di dalam ruangan itu. “Sudah sana, kamu duduk di dekat suamimu.” Tasya yang berkata demikian seraya menyenggol bahu Silla yang duduk di sampingnya. Wajah Silla masih masam dan cemberut, masih belum melupakan kejadian saat meeting tadi. “Sil, sana kamu duduk di dekat suami kamu.” “Aku malas,” balas Silla. “Tapi nanti orang-orang akan berpikir kalian sedang bertengkar. Kalian kan baru menikah kemarin, jangan sampai citra kalian berdua buruk di mata orang lain.” “Ck, menyebalkan.” Silla pun bangkit berdiri dari duduk, menuruti perkataan Tasya, dia pun mendudukan diri di samping Ardo karena kebetulan di samping kiri pria itu memang kosong. “Nah, begitu dong. Pengantin baru harus duduk berdekatan,” celetuk salah seorang dari mereka. Silla tak mengatakan apa pun, hanya menunduk malu. Seperti biasa jantungnya berdetak cepat karena duduk berdekatan dengan Ardo, dan lagi-lagi pikiran liarnya teringat pada kejadian semalam ketika melihat Ardo yang setengah telanjang. “Kalian pasti baru tahu kalau istriku ini sangat pemalu, bukan?” Ardo tiba-tiba berkata demikian. “Ya, kami baru tahu Bu Silla pemalu padahal saat di depan umum, Bu Silla sangat lancar dan fasih berbicara. Sangat aktif setiap kali kita mengadakan rapat.” Salah satu peserta rapat menimpali. “Ya, maklumi saja namanya juga masih pengantin baru, jadi masih malu-malu kalau di depan orang lain. Yang penting saat kalian berduaan, tidak malu-malu lagi. Benar, kan, Bu Silla? Pak Ardo?” Ardo hanya terkekeh, sedangkan Silla diam-diam mengepalkan tangannya, kesal bukan main karena hari ini dirinya menjadi bahan olok-olok orang lain dan penyebabnya adalah suaminya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN