Berbeda Dengan Pasangan Lain

2068 Kata
Silla tak bisa fokus bekerja hari ini, pikirannya tak pernah berhenti dari obrolannya dengan Ardo kemarin di restoran. Hingga kini dia ragu benarkah keputusan untuk tetap menikah dengan pria itu memang keputusan yang tepat. Namun, dia sudah terlanjur menjawab seperti itu, ingin berubah pikiran pun rasanya mustahil. Selain itu, dia yang masih memiliki ketertarikan pada pria cinta pertamanya itu menjadi salah satu alasan Silla tetap bersedia menikah dengan Ardo meskipun Ardo sudah mengatakan dengan jelas akan jadi seperti apa kehidupan mereka setelah menikah. Silla tengah memijit pangkal hidungnya ketika seseorang tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. “Maaf mengganggu, Bu,” ucap Sara, asisten pribadi Silla di kantor. “Ada apa? Kalau ada meeting hari ini, saya minta diundur saja, saya sedang tidak konsentrasi untuk meeting.” “Bukan itu, Bu. Saya ingin memberitahu ada seseorang yang ingin menemui Anda.” “Siapa?” tanya Silla disertai satu alisnya yang terangkat. “Aku orangnya yang ingin menemui kamu, Silla.” Silla terenyak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang dari arah pintu, orang itu masuk ke ruangan Silla tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu atau meminta izin pada sang pemilik ruangan. Jika orang tak sopan itu merupakan karyawannya, jelas Silla akan marah besar. Namun, ternyata orang itu adalah Lidya, seseorang yang tidak mungkin berani Silla tegur. Silla pun bangkit berdiri dari duduk dan bergegas menghampiri wanita yang melahirkan Ardo ke dunia itu. “Ah, Tante Lidya.” “Maaf, ya, Tante masuk tanpa permisi. Tante sudah tidak sabar ingin menemui kamu,” ucap Lidya seraya terkekeh kecil. Silla menggelengkan kepala, tak merasa keberatan sedikit pun. Dia lantas menyuruh sang asisten untuk pergi dari ruangan karena dia dan Lidya pasti akan membicarakan masalah perjodohan dengan Ardo. Silla tak ingin sang asisten mengetahui masalah itu. Setelah sang asisten pergi, kini hanya ada Silla dan Lidya di dalam ruangan tersebut. Mereka sedang duduk di sofa, saling berdampingan. “Sil, bagaimana pertemuan kamu dengan Ardo kemarin? Apa saja yang kalian bicarakan?” Silla sudah menduga inilah alasan Lidya datang ke kantornya, tidak lain karena ingin mencaritahu tentang hasil dari pertemuannya dengan Ardo kemarin. “Kak Ardo sepertinya tidak mengingatku. Padahal waktu aku masih kecil dan Kak Ardo masih remaja, kami pernah bertemu bahkan mengobrol berdua.” “Wajar kalau Ardo lupa, kejadian itu kan sudah lama berlalu, Sil. Tapi kalau kamu membahas tentang pertemuan kalian di masa lalu, Tante yakin Ardo akan kembali mengingat kamu.” “Benarkah begitu?” Silla tak yakin Ardo memang masih mengingatnya. “Ya, Tante yakin sekali. Tapi sudahlah, jangan membesarkan masalah ini. Yang ingin Tante tahu bagaimana hasil pertemuan kalian kemarin? Semuanya lancar, kan?” Silla tertegun, bingung harus menjawab apa. Dia dilema antara berkata yang sebenarnya atau harus berbohong di depan ibu Ardo tersebut. “Sil, kok diam? Ardo tidak mengatakan yang aneh-aneh padamu, kan?” Menatap raut wajah Lidya, terlihat jelas wanita itu sedang cemas. Silla tak ingin membuat Lidya khawatir karena itu dia pun menggelengkan kepala seraya mengulas senyum. “Semuanya lancar kok, Tan. Kak Ardo juga tidak mengatakan yang aneh-aneh. Kami hanya mengobrol biasa.” Hingga akhirnya Silla memutuskan untuk berbohong demi menjaga perasaan Lidya. Detik itu juga Lidya mengembuskan napas lega. “Syukurlah kalau begitu. Tante lega mendengarnya. Tadinya Tante khawatir Ardo mengatakan yang aneh-aneh padamu. Anak itu terkadang mulutnya sangat pedas, sering mengatakan kata-kata kasar, tidak memikirkan perasaan lawan bicaranya.” Silla hanya menyengir karena kemarin pun dia sudah tahu memang seperti itu sifat Ardo. Pria itu bicara seenaknya tanpa memikirkan perasaan lawan bicara. “Jadi, kalian setuju untuk menikah?” tanya Lidya lagi, membuyarkan lamunan Silla yang teringat kembali pada pembicaraannya dengan Ardo kemarin. Silla memberikan respons dengan anggukan. “Ya, kami setuju untuk menikah.” Detik itu juga Lidya bertepuk tangan girang, terlihat senang bukan main. Wajahnya terlihat sumringah dan senyuman lebar terulas di bibirnya. Sebenarnya ini alasan utama Silla tetap bersedia menikah dengan Ardo walau pria itu sudah mengatakan kenyataan pahit yang akan Silla terima jika nekat menjadi istrinya. Silla tak sampai hati jika harus menolak permintaan Lidya, terlebih jika mengingat kondisi wanita itu yang sedang mengidap penyakit serius. Silla terenyak ketika Lidya tiba-tiba menggenggam tangannya erat. “Terima kasih, Silla. Tante tidak akan melupakan kebaikanmu ini. Terima kasih karena bersedia menikah dengan anak Tante. Tante tidak tahu harus membalas kebaikanmu ini dengan cara apa.” Silla menggelengkan kepala, merasa perkataan Lidya itu terlalu berlebihan. “Jangan bicara begitu, Tan. Aku senang bisa mengabulkan permintaan Tante. Lagi pula ….” Silla tak melanjutkan perkataannya, terlihat ragu dan enggan. Tentu saja ucapan Silla yang menggantung itu membuat Lidya penasaran ingin mengetahui kelanjutannya. “Lagi pula kenapa, Sil? Teruskan dong.” Silla menggeleng. “Tidak, Tan. Bukan apa-apa.” “Ah, kamu jangan begitu. Jangan membuat Tante penasaran begini. Ayo lanjutkan, tadi kamu mau bilang apa?” Karena Lidya terus memaksa akhirnya Silla pun memberanikan diri mengatakan yang sejujurnya. Dengan wajahnya yang merona hebat karena malu, Silla pun berkata, “Lagi pula, Kak Ardo itu sebenarnya cinta pertamaku, Tan. Sepertinya sampai sekarang aku masih tertarik padanya, jadi tidak masalah aku menikah dengannya. Justru aku senang.” Mendengar jawaban Silla yang mengejutkan itu, Lidya terlihat semakin senang. “Ah, begitu ternyata. Kenapa kamu tidak bilang sejak awal sama Tante?” “Karena aku lupa kalau putra Tante itu Kak Ardo,” jawab Silla dengan kepala tertunduk, rona merah di wajahnya kini menjalar hingga ke telinga. Silla tercekat ketika merasakan sentuhan lembut di rambut panjangnya yang dia biarkan tergerai. Itu sentuhan lembut tangan Lidya yang sedang mengusapnya. “Syukurlah, Sil. Tante senang mendengarnya. Sudah Tante duga, Tante tidak salah memilih kamu sebagai istri Ardo. Tante percaya kamu dan Ardo pasti bahagia setelah menikah nanti. Kalian akan memberikan Tante cucu yang cantik dan tampan. Tante percaya Ardo akan bahagia bersamamu, dia akan berubah.” Silla tersenyum tipis, senang karena dirinya begitu dipercaya oleh Lidya, di sisi lain ini merupakan beban untuknya karena tak tahu apakah benar Ardo akan bahagia setelah menikah dengannya. Dan apakah benar mereka akan memberikan cucu pada Lidya mengingat Ardo kemarin sudah berkata demikian. Memperjelas bahwa pernikahan mereka tak akan sama dengan pasangan yang lain. Ya, Silla tak tahu bagaimana menghadapi situasi yang serba membingungkan ini. Dia hanya bisa menjalaninya dengan pasrah. *** Resepsi pernikahan itu berlangsung sangat meriah. Tamu undangan berbondong-bondong datang hingga untuk memberikan ucapan selamat pada mempelai pengantin pun harus mengantre panjang. Sebenarnya ini sesuatu yang wajar mengingat pasangan pengantin yang menjadi tuan rumah dalam acara ini merupakan pemimpin perusahaan masing-masing. Baik Ardo maupun Silla tentunya memiliki banyak kenalan yang mustahil tak datang jika diundang. Jika dilihat dari pakaian yang dikenakan para tamu undangan, bisa ditebak mereka bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang-orang luar biasa yang memiliki kekayaan fantastis. Mereka para pebisnis sama halnya seperti Ardo dan Silla. “Ck, melelahkan,” gerutu Ardo pelan, tapi Silla masih bisa mendengarnya dengan jelas. Sangat wajar jika Ardo mengeluh seperti itu karena dia bahkan tak memiliki kesempatan untuk duduk atau sekadar istirahat. Dia terus berdiri karena tamu undangan yang memberikan selamat, tak ada habisnya. “Do, jangan bilang begitu. Silla juga pasti lelah, tapi dia tidak mengeluh.” Itu suara Lidya yang menegur sang putra, dia pun mendengar keluhan yang dilontarkan putranya itu, “Tapi tamu undangan tidak ada habisnya. Aku rasanya mual melihat masih banyak orang yang mengantre ingin mengucapkan selamat.” “Itu bagus, kan, Kak?” Kali ini adik perempuan Ardo yang berkomentar. Wanita bernama Anetta Cecilia Pranaja itu merupakan satu-satunya adik yang dimiliki Ardo. Wanita berusia 23 tahun yang kini sedang menempuh pendidikan S2 di salah satu universitas bergengsi di Jakarta. Wajahnya yang ayu sangat sepadan dengan ketampanan yang dimiliki kakak laki-lakinya. Ardo memutar bola mata. “Bagus apanya? Justru ini menyiksa karena aku jadi tidak bisa istirahat.” “Huh, Kak Ardo mengeluh terus, padahal bukan hanya Kakak yang terus berdiri dan menerima ucapan selamat. Kita semua yang ada di pelaminan mengalami hal yang sama dengan Kakak. Apalagi Kak Silla, dia pasti paling tersiksa karena mengenakan sepatu hak sangat tinggi. Tapi lihat, Kak Silla sama sekali tidak mengeluh. Kak Ardo lemah dan payah.” Ardo mendengus, rasanya ingin menjitak kepala adiknya yang begitu cerewet itu jika dia tak ingat mereka sedang berada di acara resepsi pernikahannya. Sedangkan Silla hanya tersenyum kecil melihat perdebatan antara sepasang kakak beradik tersebut. “Kak Silla, jangan terkejut atau heran ya jika nanti sering melihat aku dan Kak Ardo bertengkar.” Silla tersenyum kecil. “Tidak apa-apa, Anetta. Justru aku iri pada kalian karena aku tidak ada yang bisa diajak berdebat. Aku tidak punya saudara.” Anetta menatap iba Silla yang terlahir sebagai anak tunggal. “Tapi sekarang Kak Silla kan punya adik. Aku ini adik suamimu, berarti aku ini juga adikmu sekarang.” “Adik, ya?” gumam Silla, hatinya terharu karena sikap adik Ardo yang begitu hangat dan bersahabat itu. Anetta sama seperti Lidya yang memperlakukan Silla dengan baik dan ramah, tentu saja membuat Silla sangat nyaman dan merasa keputusannya menikah dengan Ardo memang sudah tepat. Dia sekarang memiliki keluarga yang baru, Silla tak merasa sebatang kara lagi setelah kematian orang tuanya. “Terima kasih Anet.” Anetta mengibaskan tangan mendengar Silla yang mengucapkan terima kasih padanya, padahal itu tak perlu menurutnya. “Oh, ya. Setelah ini kalian akan berbulan madu ke mana?” tanya Anetta. Silla terdiam, tak bisa memberikan jawaban karena dia bahkan belum pernah membicarakan tentang rencana bulan madu dengan Ardo. “Tidak ada bulan madu. Kami tidak akan pergi ke mana-mana.” Yang memberikan jawaban dengan tegas dan tanpa bantahan itu adalah Ardo. “Do, kok begitu? Kalian harus berbulan madu. Itu kan tradisi pasangan yang baru resmi menikah.” Lidya yang mendengar jawaban Ardo pun ikut bergabung dalam pembicaraan. “Mana bisa kami bulan madu, Ma. Aku sibuk di kantor.” Lidya berdecak. “Urusan di kantor kan bisa kamu tunda dulu, Do. Atau kamu serahkan sama asisten kamu. Kenapa jadi mengorbankan bulan madu kalian?” “Urusan di kantor sangat penting, mana mungkin bisa diserahkan pada orang lain. Sebagai pemimpin tertinggi, harus aku sendiri yang menyelesaikanya. Lagi pula, aku yakin Silla juga sama sibuknya denganku di kantornya, benar kan?” Silla meneguk ludah karena Ardo yang tiba-tiba berkata demikian. Sempat terdiam sejenak, Silla pun akhirnya menganggukan kepala. “Benar, Tan. Aku juga banyak pekerjaan di kantor.” Lidya berdecak. “Bulan madu itu penting untuk mempererat hubungan di antara kalian berdua. Bulan madu itu momen paling penting bagi pasangan pengantin baru.” “Kami akan bertemu setiap hari setelah ini, jadi tidak ada bedanya kami berbulan madu atau tidak. Mempererat hubungan itu bisa dilakukan setiap hari, Ma, tidak perlu hanya dengan bulan madu.” Ardo menjawab dengan telak, membuat Lidya yang tersudutkan itu kini mengatupkan mulutnya rapat. “Selain itu, Mama jangan lupa, aku dan Silla menikah atas permintaan Mama, jadi jangan banyak berharap pada kami, Ma. Kami sudah bersedia menikah saja seharusnya Mama sudah senang dan bersyukur. Karena itu jangan banyak menuntut yang lain.” Setelah mengatakan itu, Ardo tiba-tiba melenggang pergi. “Mau ke mana kamu, Do?” tanya Lidya heran sekaligus panik putranya akan melarikan diri di hari pernikahannya. “Istirahat. Aku lelah, Ma.” “Tapi masih banyak tamu yang mengantre ingin mengucapkan selamat.” “Kan ada Silla. Aku rasa mengucapkan selamat pada mempelai pengantin wanita saja sudah cukup. Aku istirahat dulu, Ma.” Setelah itu, Ardo benar-benar pergi, tak mempedulikan meski ibu dan adiknya berteriak memanggil namanya agar tak pergi. “Huh, Kak Ardo itu memang egois dan keras kepala. Dia juga menyebalkan karena suka bertindak seenaknya. Yang paling parah mulutnya itu pedas sekali, sering mengatakan kata-kata yang menyakiti perasaan. Kak Silla harus bersabar, ya. Kak Ardo orangnya memang menyebalkan begitu.” Anetta mencoba menasihati Silla yang tentunya tak tahu menahu sifat jelek seorang Adelardo. Silla tersenyum kecil. “Iya, tidak apa-apa. Aku mengerti.” “Kak Ardo beruntung sekali karena memiliki istri yang cantik, baik, dan pengertian.” “Ardo memang beruntung mendapatkan Silla.” Lidya menyambar pembicaraan antara Anetta dan Silla. “Mama yakin kelak Ardo akan menyadari bahwa istrinya wanita yang sempurna. Silla … Mama percaya kamu pasti bisa mengubah semua sifat buruk Ardo setelah kalian tinggal bersama.” Silla hanya bisa meringis, merasa bebannya semakin bertambah. Dia tak yakin bisa mengubah semua sifat buruk Ardo. Yang paling meragukan … apa benar Ardo akan berpikir bahwa Silla merupakan istri yang tepat untuknya? Sungguh Silla sendiri tak yakin akan hal tersebut. Yang dia sadari hanyalah, kehidupan rumah tangganya dengan Ardo tak akan sama dengan pasangan lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN