BAB 10

1780 Kata
Hidup tidak pernah adil bagi siapa pun. Brian berharap bisa memberikan keadilan itu, tetapi ternyata hal tersebut tidaklah mudah. Dia bukanlah Tuhan. *** Pagi ini tumben sekali Kalila bangun sangat pagi. Dia mandi sendiri, memakai baju dan bando sendiri. Bahkan dia sarapan dengan lahap, tidak seperti beberapa hari ke belakang. "Kamu lagi bahagia, ya?" tanya Brian menatapnya saat di meja makan. Kalila nyengir lebar. "Belum, Pa. Bahagianya masih setengah, belum full." Melihat kerutan bingung di kening lelaki itu, Kalila melanjutkan, "nanti juga Papa tahu. Udah ah. Papa cepetan makannya!" Kalila pamitan pada Bik Hana sebelum berangkat. Mencium pipi kanan dan kirinya lalu berbisik di telinga si Bibik, "Bibik do'ain Lila, ya. Lila mau cari calon mama buat Lila." Tanpa membiarkan Bik Hana menyuarakan tanya di benaknya, Kalila sudah berlari kecil ke mobil. Duduk dengan anteng di sisi Brian. Lantas mobil melaju meninggalkan Bik Hana yang masih geming di teras. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di sekolah. Meski sempat terjebak macet, tetapi Brian sangat pintar mencari celah. Kini Kalila sudah keluar dari mobil, menenteng tas dan menggenggam tangan Brian. Dari jauh Kalila melihat Kira tengah berjongkok di depan sebuah tanaman di dekat pohon kersen. Wajahnya terlihat ceria. Kalila suka. Kalila melepaskan tangannya dari Brian, lalu berlari kecil ke arah perempuan itu. "Bu Kiraaaa!" teriaknya antusias. Kira seketika menoleh. Senyuman lebar terbit di wajah cantiknya. Dia sangat mirip dengan mama yang selalu Kalila idamkan. Sosok yang cantik, lembut, ceria, bisa bernyanyi, dan bisa mendongeng. "Pagi, Kalila!" Kira menyapanya. Tak lupa sambil mengelus puncak kepala Kalila sekalian, lalu merapikan bandonya yang sedikit miring. "Kenapa Ibu jongkok di sini?" tanya Kalila, melihat Kira lalu tanaman di depannya bergantian. Kira berdiri sambil menepuk-nepuk rok hitamnya sebentar. "Ibu cuma lagi lihatin tanaman," katanya. Kemudian dia beralih pada Brian yang datang di belakang Kalila. Tersenyum. Ini yang Kalila suka. Saat Kira dan Brian saling melempar senyum. Kalila tidak tahu pasti, tetapi rasanya menyenangkan melihat Brian yang terlihat senang setiap bertemu gurunya tersebut. Obrolan ringan keduanya sangat suka Kalila simak. Terutama ketika kemarin, saat mereka makan di kedai ayahnya Kira. Kalila suka melihat mereka akrab. Sudah sejak lama Kalila ingin melihat ayahnya itu bicara akrab dengan orang lain selain dirinya dan Bik Hana. Biasanya jika bicara dengan kakek atau neneknya, Brian malah terlihat kaku dan canggung. Wajahnya tidak pernah menampakkan senyum. Kalila tidak suka itu. Malah pernah sekali Kalila mendengar suara kakeknya meninggi. "Papa, semangat kerjanya! Jangan lupa pulang cepet lagi. Jangan jadi workaholic, ya." Kalila menepuk-nepuk pelan lengan Brian, seperti seorang ibu yang hendak mengantar anaknya sekolah. "Kamu tahu workaholic dari siapa?" Kalila menyunggingkan senyum lebar. "Dari Bik Hana. Katanya Papa lembur terus soalnya Papa workaholic," balas Kalila. Brian terlihat menggeleng dengan senyuman tipisnya. Entah dia bingung atau bangga pada Kalila. Entahlah. Kalila tidak ambil pusing. Dia beralih mengamit tangan Kira yang masih ada di sisinya. "Kalila mau ke kelas sama Bu Kira. Dadah, Papa!" Lalu Brian tersenyum pada Kira, begitu pun sebaliknya. Kalila ikut tersenyum. Senang rasanya melihat mereka baik satu sama lain. Semoga saja, Kira dapat mama seperti Kira. Atau Kira saja, Kalila akan sangat senang. Kira tengah merapikan barang-barangnya di meja. Tanti tidak masuk karena sakit hari ini. Mungkin bawaan kehamilannya juga. Tiba-tiba Kalila menghampirinya, padahal dia sudah keluar dari kelas beberapa menit lalu. Yang mengejutkan, dia menanyakan hal yang di luar nalar. "Bu, kalau beli mama itu di mana, ya?" Kira sampai tidak berkedip selama beberapa detik. "Mama? Mama yang Lila maksud itu seorang ibu?" tanyanya memastikan. Begitu Kalila mengangguk, Kira mendesah pelan. Dia duduk di bangkunya lantas meraih Kalila ke pangkuan. "Kalila nggak punya mama?" Akhirnya pertanyaan ini bisa dia utarakan di saat yang tepat. "Punya. Tapi kata Papa sudah meninggal waktu Kira masih bayi," balasnya polos. Kira mengelusi rambut Kalila yang lembut. Dia sangat polos, mengingatkan Kira pada dirinya sendiri ketika kecil. "Mamanya Ibu juga meninggal waktu Ibu kecil," ucap Kira, lantas membalikkan tubuh Kalila agar menghadap padanya. "Benarkah? Lalu Ibu beli mama baru?" Kira terkekeh kecil. "Mama nggak bisa dibeli, Sayang." Binar yang tadi ada di kedua mata Kalila seketika lenyap, berganti dengan tatap sendu. "Kalila pasti sedih, ya?" tanya Kira kemudian. Kalila mengangguk. Menunduk, memainkan kancing jaketnya. "Lila mau punya mama kayak teman-teman Lila yang lain," gumamnya pelan. Kira menipiskan senyumnya sambil mengelus bahu Kalila dengan sayang. "Kalau Kalila mau mama, Papa Lila harus menikah dulu dengan perempuan," katanya. Kalila mendongak, menatap Kira dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Benarkah? Lila bisa punya mama kalau Papa nikah?" tanyanya antusias. Kira mengangguk ragu. Bagaimana kalau nanti Kalila bicara pada Brian kalau dia harus menikah dan Kalila tahu itu darinya? Bagaimana jika... "Kenapa Papa nggak nikah saja dengan Bu Guru biar Ibu jadi mama Lila?" Kalila menatap Kira dengan binar harap di kedua bola matanya. *** Kalau ditanya bagaimana keadaan Brian saat ini, Brian akan jawab dia tidak baik-baik saja. Seluruh tubuhnya lelah, otaknya apalagi. Kasus yang terus bertambah setiap hari, tekanan ayahnya, tekanan media yang terus mendesak untuk meminta membocorkan sedikit informasi, belum lagi percakapannya dengan Kalila malam tadi begitu mengganggu. "Papa, Lila mau punya mama." Shit. Mau Brian cari di mana seorang mama untuk Kalila? Dan haruskah? Brian kira dia saja cukup untuk menjadi orang tua Kalila, ternyata tidak. Kalila tetap membutuhkan sosok ibu, persis seperti yang pernah Bik Hana bilang padanya beberapa waktu yang lalu. Brian membentur-benturkan pelan kepalanya ke atas meja. Jelas hal itu mengundang perhatian Venita dan Fadi. Mereka berdua saling melempar pandang, bertanya-tanya. Tidak biasanya jaksa muda tersebut terlihat sekacau itu. "Uhm, Pak. Mau saya ambilkan minum?" Venita menginterupsi. Namun Brian hanya menempelkan pipi kanannya di meja dengan merana. Venita menatap Fadi, kemudian mengedikkan bahu. Tahu bahwa lelaki itu benar-benar kacau. Brian melihat jam layar ponselnya. Sudah jam sepuluh. Sebentar lagi Kalila pulang. Dia tidak memiliki jadwal sidang, tetapi merasa enggan untuk pergi menjemput Kalila. Dia takut bertemu gadis kecil itu, takut dia akan menanyakan perihal sosok mama lagi. "Kenapa Papa nggak nikah? Katanya kalau Kalila mau punya mama, Papa harus nikah dulu." Demi apa pun, Kalila bahkan jadi lebih horror dari ayahnya setelah itu. Tentu karena peran Kalila lebih besar dalam hidupnya. Brian tidak tahu bagaimana cara menolak permintaan anak itu dengan jaminan dia tidak terluka. Itu sulit, terlalu mustahil. Brian mengambil jas abu-abu mudanya di sandaran kursi, bergegas keluar sambil memakai jas tersebut. Sedangkan Venita dan Fadi hanya diam memandanginya. Sampai ketika dua langkah Brian keluar, dia terdiam. Brian kembali mundur dan membuka pintu ruangannya. "Siapkan berkas kasus penyerangan Marlina pada anaknya beberapa hari lalu di meja sebelum saya kembali," ujar Brian pada Fadi dan Venita. Lalu benar-benar pergi meninggalkan mereka. Di luar, gerimis turun. Tapi langit masih cerah. Brian melangkahkan kakinya keluar dari gedung kantor kejaksaan. Di luar sangat lengang ternyata. Hujan membuat orang-orang memutuskan menghindari pekerjaan di luar ruangan. Namun ketika Brian mengedarkan pandang, di sana, di sisi kanan tempat Brian berdiri, seorang pria tua yang renta berdiri. Sebuah spanduk dipegang di depan dadanya dengan sebuah tulisan Apakah Orang Miskin Tidak Pantas Mendapat Keadilan? Rupanya dia salah satu pemilik rumah yang dituntut karena tidak ingin pindah dari kawasan yang lahannya akan dijadikan hotel. Brian menghela napas sejenak. Menyisir pandang seolah mencari sesuatu. Ketika menemukan rekannya di divisi lain hendak masuk ke gedung dengan payung hitamnya, Brian segera mencegah. Dia meminta payung itu. Brian lalu berjalan menghampiri si Kakek yang terbatuk-batuk. "Tolong pegang ini," gumam Brian memberikan payung yang dipegangnya pada kakek tua itu. Si kakek menipiskan senyumnya. Mengucapkan terima kasih dengan susah payah. Batin Brian meringis menyaksikan hal itu. Hidup tidak pernah adil bagi siapa pun. Brian berharap bisa memberikan keadilan itu tetapi ternyata hal itu tidaklah mudah. Dia bukanlah Tuhan. *** Kira baru selesai mengobati lutut Iqbal karena terjatuh ketika olahraga tadi. Dia sudah menelpon orangtuanya, katanya mereka akan datang sesaat lagi. Sementara, anak-anak lain baru dipulangkan oleh Tanti barusan. Tak lama, ibunya Iqbal datang dan segera memeriksa keadaan anaknya dengan wajah khawatir. Kira tersenyum, mengantarkan keduanya keluar dari kantor sesaat kemudian. "Terima kasih banyak, Bu Kira," ucap ibu Iqbal yang lantas melenggang seraya menggendong anak lelaki tersebut. Kira tersenyum tipis, menatap kepergian keduanya. Sampai seorang bocah kecil yang menatapnya dari jauh mengalihkan atensi Kira. Kalila. Kira berjalan menghampiri anak tersebut yang kelihatannya memang menantikan Kira datang. "Kalila belum dijemput?" Kira bertanya lembut. Kalila menatap sendu ke arah kepergian Iqbal dan ibunya, lantas menggeleng. Dari sana Kira paham apa yang membuat anak itu sedih. "Papa belum ke sini," balasnya tak bersemangat. Dia lantas duduk di meja kayu di depan kelasnya. "Lila udah bilang sama Papa kalau Lila mau punya mama." "Lalu?" "Papa nggak jawab. Dia malah bengong," lanjut Kalila dengan bibir yang maju hingga beberapa senti. Kira tersenyum. Dia tidak tahu alasan apa yang Brian miliki sehingga dia memilih bisu. Tapi Kira tahu, apa pun itu, Brian hanya tidak ingin anaknya terluka. Kira menarik tangan Kalila dan mendekap anak tersebut dengan hangat selama beberapa detik. Kedua sudut bibirnya sedikit terangkat. "Apa Kalila benar-benar mau punya mama?" tanyanya. Ketika Kalila mengangguk gemas, Kira melanjutkan, "kalau begitu anggap saja Bu Guru mamanya Kalila." "Memang boleh?" Kalila tanya. "Bu Guru mau nikah sama Papa?" Kira meringis mendengar pertanyaan Kalila tersebut. "Bukan. Kalila hanya boleh anggap Ibu sebagai mama Kalila. Tapi Ibu nggak nikah sama Papa Kalila." "Kata Bu Guru kalau Lila mau punya mama, Papa harus nikah dulu?" Kira mengerang kecil, tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya pada Kalila. Salahnya sendiri yang kemarin bicara begitu. "Ngg, gini. Anggap aja Kalila membeli Ibu Kira biar jadi mama Kalila. Bayarnya cuma satu," ucap Kira, mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah, "Kalila mau icipin masakan Ibu. Terus harus jujur enak atau nggak." Oke. Alasan yang bagus, Kira. Saking bagusnya sampai itu terdengar bodoh. "Cuma itu?" Kalila tanya. Kepalanya miring-miring sedikit dengan puppy eyes yang menggemaskan. Kira sampai tidak tahan untuk tidak mencubit pipinya. "Iya. Cuma itu. Mau?" "MAU!" Kalila melompat-lompat girang. Binar bahagia di matanya membuat gadis itu nampak lebih menggemaskan. Ah, hati Kira rasanya menghangat. "Ma-ma. Mama Kira." Kalila tersenyum lebar, mengeja kata mama terlihat sangat menyenangkan untuknya. Dia meraih tangan Kira, menggenggamnya. "Karena Ibu Guru sudah jadi mama Lila, Lila panggilnya Mama, kan?" "Iya, Sayang. Mama Kira. Kalila senang?" Yesh! Lila senang! Hore, Lila punya mama! Lila gak bakal diejek anak-anak nakal lagi." Kira sempat termenung sejenak. Di antara senyum tipisnya, tatapan Kira menyendu. Dia mengerti betul bagaimana rasanya kesepian tanpa seorang ibu. Apalagi usia Kalila masih sangat belia. Kira jadi teringat akan dirinya dulu. Dirinya yang merindukan sosok ibu. Meski ayahnya berusaha berperan ganda--menjadi ayah sekaligus ibu yang baik--tetap saja, tidak ada yang bisa menggantikan sosok ibu atau mengisinya. Semua nampak berbeda. "Nanti Mama mau temenin Kalila main, kan?" "Main? Main apa?" Kira bertanya dengan kedua tangan berada di bawah dagu, menatap Kalila dengan senang. "Apa aja. Temen-temen Lila suka main sama mamanya katanya." "Boleh. Kapan-kapan kita main, ya?" Kira mengusap poni Kalila lembut. Mereka berdua berjalan bersisian, melewati koridor yang mulai sepi. Hari ini langit tampak cerah, tetapi titik-titik air jatuh beberapa saat lalu. Hanya beberapa menit, dan sekarang tidak lagi. Kira dan Kalila duduk di ayunan berdua. Kalila bercerita dan Kira mendengarkan. Yeah, hari pertama mereka sebagai ibu dan anak dihabiskan hanya dengan mendongeng. Karena keinginan terbesar Kalila ketika punya seorang mama adalah, bisa bercerita apa pun sambil memakan camilan, termasuk cerita tentang ayahnya yang terkandang menyebalkan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN