"Jangan terlalu sulit atau terlalu mudah percaya seseorang, Kira. Nggak boleh su'udzan ke orang, tapi was-was tetap perlu. Apalagi menyangkut soal perasaan."
-Dirga Laksana-
***
"Apaan, sih, Kir? Rempong amat dari tadi bolak-balik mulu. Lagi cosplay jadi setrikaan?"
Kira menoleh sebal pada Jovan yang baru datang lima menit lalu lantas hanya duduk di salah satu meja tanpa pergerakan apa pun. Tahunya memperhatikan Kira dari tadi. Dasar jones tidak punya kerjaan!
Kira mendengkus. Tidak ayahnya, tidak bibinya, tidak Jovan, semuanya memprotes Kira. Dirga protes karena Kira datang lagi ke kedai. Tidak tahu kenapa datang ke kedai itu seolah haram untuk Kira. Rani protes karena Kira memakai parfum yang terlalu menyengat katanya, padahal biasa saja. Sekarang Jovan protes karena dia mondar-mandir. Astaga.
"Kira cantik, nggak boleh marah-marah. Nanti cepat tua." Kira berucap pelan, mengingatkan dirinya sendiri. Jari tengah dan jari telunjuknya diletakkan di sudut bibir dan menarik kedua sudut itu ke atas agar membentuk suatu senyuman.
Beberapa detik kemudian, sebuah mobil berhenti di depan. Bola mata Kira seketika berbinar sampai tanpa sadar dia meloncat-loncat kecil kegirangan.
Brian dan Kalila! Ah, mereka benar-benar datang meski hujan masih turun di luar sana.
"Oh, pantes kayak orang ayan. Jadi karena cowok itu."
Sebuah bisikan di telinganya membuat Kira tersadar. Lantas dia mendelik ke arah Jovan yang berdiri di samping kanannya sambil mensedekapkan tangan di d**a. Tak lupa kedua netranya menatap lurus ke pintu depan, di mana dua orang berbeda usia berjalan masuk.
"Van, aku udah rapi, cantik, kan?" bisik Kira sebelum menghampiri kedua orang itu.
"Biasa aja," balas Jovan sekenanya, membuat Kira mempoutkan bibirnya sebal.
"Dasar pejuang move on! Ngeselin," gerutu Kira. Sesaat kemudian wajah sebalnya berubah tersenyum saat menghampiri Brian dan Kalila. Entah mengapa melihat mereka selalu membuat Kira antusias. Terlebih lelaki itu, Brian.
"Hai, Kalila!" Kira menyapa anak berkucir dua yang menatapnya dengan binar bahagia.
"Ibu Kiraaa!"
Kira terkekeh saat Kalila menyapanya tak kalah antusias. Senyuman lebar membuat pipinya semakin mengembang, gemas.
Kira lalu beralih pada Brian, tersenyum canggung. "Hai, Brian," ucapnya. Nadanya hampir sama ketika si Spons kuning memanggil Kevin pentolan. Antara senang tapi degdegan. Hai, Kevin!
Brian hanya membalas dengan senyuman kecil. Selanjutnya Kira membiarkan mereka duduk di salah satu meja yang kosong.
Kedai milik ayah Kira tidak begitu besar. Yah, seperti kedai pada umumnya. Berbentuk bangunan yang memanjang ke belakang, sehingga dari depan terlihat sempit. Namun begitu masuk, kita tahu bahwa kedai itu memiliki dua ruangan yang di sekat oleh dinding kaca.
Di dekat pintu masuk terdapat tiga meja yang berbaris ke samping. Kemudian ada sebuah meja kasir yang berbentuk seperti bar yang memanjang, diisi oleh komputer dan sebuah mesin kopi. Di atasnya ada tiga buah lampu gantung berbentuk kotak. Lalu di belakang terdapat sedikit ruang untuk kasir dan dapur yang disekat oleh dinding. Biasanya di dapur itu Kira menghabiskan waktu untuk membantu Rina atau sekadar mengganggunya. Sedangkan di depannya, terdapat sembilan meja lagi sampai kemudian ada sekat kaca yang disebut tadi. Di balik sekat itu ruangannya tidak begitu luas, hanya terdapat enam meja. Namun suasana di sana paling tenang. Apalagi dengan sebuah pancuran buatan yang gemericik airnya membuat suasana semakin nyaman. Pancuran itu dibuat sendiri oleh Kira beberapa bulan lalu dari bambu dan tanaman buatan. Dan, di sanalah Brian dan Kalila duduk.
"Dia yang waktu itu ke sini hujan-hujan, kan?"
Kira menoleh singkat pada ayahnya ketika dia tiba-tiba muncul di belakang saat sedang memperhatikan Brian di depan meja kasir. Tersenyum, Kira mengangguk.
"Dia walinya Kalila, murid aku, Yah."
"Oh, masih kelihatan muda," komentar Dirga.
Kira termenung, seolah baru sadar akan sesuatu. "Umurnya sekitar dua puluh delapan apa dua puluh sembilan gitu, Yah. Apa terlalu muda buat punya anak seumuran Kalila?"
"Lha, iya jelas." Kira membalikkan tubuh, menghadap ayahnya. Tertarik dengan penjelasan lebih lanjut dari pria paruh baya tersebut. "Umur dua puluh tigaan anaknya udah lahir, berarti nikah muda. Atau kalau nggak—" Dirga menggantung ucapannya.
"...kalau nggak?"
"Kecelakaan?"
Kira membentuk bibirnya menjadi satu garis tipis. "Dari wajahnya nggak kelihatan dia cowok kayak gitu ah, Yah." Kira menatap lurus ke arah Brian yang tengah mengobrol asyik dengan Kalila sambil menunggu pesanannya siap.
"Siapa yang tahu soal isi hati seseorang?" Dirga mengedikkan bahu. "Jangan terlalu sulit atau terlalu mudah percaya seseorang, Kira. Nggak boleh su'udzan ke orang, tapi was-was tetap perlu. Apalagi menyangkut soal perasaan."
Eh? Kira terdiam, memandangi ayahnya dengan tatapan tanya.
"Kamu harus janji kalau kamu nggak akan kesulitan," tutur Dirga, tak menjawab sama sekali pertanyaan-pertanyaan yang bergelayutan di benak Kira.
***
Cara menatapnya tampan, cara bicaranya tampan, cara berjalannya tampan, hingga cara makan saja tampan. Segala sesuatu yang ada pada diri Brian terlihat sangat tampan di mata Kira. Entah, Kira tidak melihat sedikit pun celah kekurangan dari lelaki itu. Atau dianya saja yang tidak sadar karena terlalu terpesona akan beberapa hal yang menonjol dari dirinya?
"Ibu Kira cantik, ya, Pa?"
Kira tersadar dari lamunannya ketika mendengar samar-samar namanya disebut. Yah, saat ini dia sedang duduk di meja yang sama dengan Brian dan Kalila. Yang dilakukannya? Tentu saja memandangi Brian seperti gadis i***t yang pertama kali mengenal lawan jenis. Dia bahkan tidak tahu apa yang dibicarakan anak dan ayah itu sejak tadi. Dia terlalu fokus memperhatikan gerak-gerik Brian.
"Ya, cantik," ucap Brian, tersenyum tipis pada Kira.
Sontak hal itu membuat Kira bertanya-tanya, sebab dia tidak menyimak pembicaraan mereka tadi.
"Papa nanti mau beliin mama yang kayak Ibu Kira, kan?"
Uhuk. Kira tersedak mendengar celotehan Kalila yang sangat random itu. Secara kebetulan, Brian juga sama-sama tersedak.
"Ih, Papa sama Ibu Kira barengan gitu keselek ayam."
Kira dan Brian sama-sama tersenyum meringis kepada satu sama lain. Kira sampai harus meminum seluruh air putih di gelasnya saking merasa pembicaraan Kalila terlalu ehem.
"Kalila, jangan bicara kayak gitu. Ibu Kira jadi nggak nyaman." Brian menatap penuh peringatan.
Gadis kecil itu merengut, menatap ayahnya. "Memangnya apa yang salah sama ucapan Lila?" Kalila mendengkus, kemudian menyuap makanannya. "Padahal katanya mau bawain Lila mama, tapi nggak sampai sekarang nggak ada," lanjutnya yang hanya berupa gerutuan pelan.
Kira dan Brian saling melempar pandang dengan senyum canggung. Atmosfer tiba-tiba terasa panas, padahal di luar hujan gerimis dan angin bertiup kencang.
"Maaf, Kalila emang sedikit blak-blakan," gumam Brian tak enak.
Mereka lantas melanjutkan makan dengan hening. Kira seperti biasa memilih memperhatikan Brian yang makan sangat lahap. Bahkan ini porsi ketiga dia. Astaga, pantas pipinya gembil begitu. Tapi Kira menyukainya. Menyukai bagaimana Brian makan seolah dia tidak sedang dengan orang asing. Menyukai bagaimana Brian bersikap santai seolah mereka benar-benar dekat.
"Uhm, laki-laki yang ada di sana itu, pacar kamu?"
Kira menolehkan kepalanya ke arah yang Brian tunjuk secara tak langsung. Dia menemukan Jovan yang bersandar di tempatnya tadi, di depan meja kasir sambil memperhatikannya. Seketika Kira terkekeh melihat Brian.
"Dia sepupu aku. Gak usah dihiraukan, emang anaknya agak kepo, ngeselin. Baru putus cinta dia."
"Ah, iyakah? Kelihatannya kalian deket banget, ya? Dia ngelihatin dalem gitu, kayak aku ini penjahat atau apa gitu yang takutnya mau nyelakain kamu," gumam Brian setengah berbisik.
Kira tertawa pelan. "Kita deket? Berantem terus iya," balas Kira.
"Pasti asyik banget ya, punya saudara buat partner berantem atau berbagi cerita?"
Kira diam. Brian juga diam menatap Jovan lurus. Tatapannya... Kira pernah melihat tatapan itu sebelumnya. Tatapan yang sama ketika Kira bertanya perihal ibunya Kira. Dan dari semua kesempurnaan yang Brian miliki itu akhirnya Kira sadar, ada sebuah luka yang sengaja dikubur lelaki itu. Sebuah rasa hampa dan kesepian yang luar biasa dari setiap ucapannya.
Brian, sebenarnya kamu siapa dan ada apa di balik setiap tatapan itu? Aku ingin tahu, tapi takut.
***
"Kamu suka dia?"
Pertanyaan ayahnya yang dilontarkan semalam tadi terus bergelayut di benak Kira. Menyukai Brian? Yah, Kira suka. Kira suka semua yang ada pada diri pria itu kecuali satu, tatapan hampa dan penuh luka yang membuat Kira ingin mendekapnya. Mengusap kepalanya dan berkata, semua baik-baik saja.
Kira tidak tahu pasti perasaan suka seperti apa yang dia rasakan. Apakah hanya sebatas suka karena kagum dengan segala kelebihan yang dia miliki, ataukah suka yang lebih dari itu. Yang Kira tahu, melihatnya membuat Kira senang. Melihatnya membuat Kira lebih bersemangat menjalani hari.
Kira menatap embun yang terjatuh dari dedaunan tanaman di dekat gerbang. Sesekali senyumnya mengembang merasakan udara sejuk berkat tanaman-tanaman dan pepohonan yang tumbuh di lingkungan sekolah tersebut. Ini yang membuat Kira betah bekerja di sini. Selain karena anak-anak sangat menggemaskan, udara di sekitar sini juga sangat menenangkan. Lingkungannya terjaga rapi, bersih, dan nyaman.
Kira jadi ingat tentang cita-citanya sebelum hal nahas beberapa tahun silam terjadi padanya. Kira ingin bebas, berjelajah ke alam liar mana pun hanya berbekalkan tekad dan bekal seadanya. Merasakan bagaimana kerasnya hidup manusia tanpa rutinitas pasti seperti yang dia jalani saat ini. Menyambung hidup hanya dengan memanfaatkan hasil alam. Melihat pepohonan liar, tumbuh-tumbuhan, dan hewan-hewan di alamnya. Ah, itu menyenangkan.
Atau berjelajah ke negeri orang. Melihat banyak kehidupan yang berbeda. Bahasa, adat istiadat, dan rutinitas yang tak sama. Mengabdikan setiap momen kehidupan itu ke dalam jepretan kamera digital yang dia bawa. Itu menyenangkan. Sayang, hasrat itu sudah pupus sejak lama. Tapi Kira masih merasakan sisa-sisa perasaan itu. Perasaan antusias dan bahagia saat kita memikirkan apa yang kita sukai dan apa yang ingin kita lakukan.
Kira ingin merasakan hasrat itu lagi. Dan Brian, tanpa sadar sudah membuat Kira merasakannya. Perasaan antusias, hanya dengan memikirkan hari ini dia akan bertemu dengannya. Hasrat untuk lebih dekat, meski masih abu-abu.
***