Ketika egomu masih menyimpan luka, bagaimana bisa kamu sadar akan rasa yang perlahan menyelinap? Kamu hanya paham soal satu kata: takut.
-Miss Marigold-
***
"Kalila!"
Baik Kalila mau pun Kira yang sedang bersamanya seketika menoleh ke asal suara. Brian tentu saja, siapa lagi? Dia berlari kecil ke arah mereka dengan sedikit keringat yang mengucur di dahi. Terlihat sangat gerah.
Kira tersenyum bodoh. Karena segala sesuatu yang ada pada Brian selalu melemahkannya.
"Papa telat. Lila udah nunggu di sini lama. Untung ditemenin Mama."
Terdiam, Kira berdecak dalam hati. Mereka belum melakukan kesepakatan. Seharusnya Kira bilang bahwa Kalila hanya boleh memanggilnya mama hanya ketika mereka berdua saja. Setidaknya sampai Kira berbicara baik-baik pada Brian. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia terlalu asyik menyimak cerita Kalila tadi sampai lupa menyampaikan hal-hal penting lainnya. Dasar Kira ceroboh. Sekarang bagaimana?
"Mama?" Brian mengernyitkan alis bingung menatap Kalila.
Kira sudah harap-harap cemas di tempatnya. Dan...
"Mama Kira. Mamanya Kalila."
Ya sudah. Tidak ada lagi yang bisa Kira lakukan untuk menghentikan kecanggungan ini. Salahnya sendiri selalu ceroboh. Baiklah, nantikan apa yang akan otak kecil Kira lakukan untuk membuat segalanya lebih baik.
Brian menatapnya. Kira hanya tersenyum canggung, mendekat beberapa langkah.
"Itu... Kalila katanya mau punya mama. Aku cuma nawarin Kalila buat anggap aku mamanya. Aku nggak masalah."
Berusaha menetralkan diri, Kira menghela napas dalam-dalam. Jantungnya berdegup sangat kencang di dalam sana sehingga rasanya amat menyakitkan.
Brian terlihat tanpa ekspresi. Dan hal itu membuat Kira semakin takut. Apakah dia marah?
Brian sedikit membungkuk di depan Kalila. "Kalila tunggu sebentar. Papa mau bicara dengan Ibu Kira, oke?" katanya.
"Lila gak boleh denger Papa sama Mama bicara apa?" tanya anak itu polos.
Senyuman kecil terbit tanpa diminta di wajah Kira. Papa Mama, mengapa terdengar begitu hangat dan manis?
"Iya, ini urusan orang dewasa. Kalila tunggu, ya?" Brian memberikan senyum penuh pengertian yang bak sebuah mantra langsung membuat Kalila luluh lantas mengalah.
Kini Kira berhadapan dengan Brian. Menjauh beberapa langkah dari Kalila sampai keduanya merasa yakin bahwa Kalila tidak bisa mendengar percakapan mereka di jarak tersebut. Lantas Kira mengernyit saat Brian hanya menunduk selama beberapa saat.
"Kira," panggil Brian. Dia mengangkat wajah, menatap lurus pada kedua netra Kira yang bening. Selama sesaat, napas Kira tersekat. Dari tatapannya, sepertinya Brian marah. "Jangan buat Kalila berharap lebih terhadap kamu," katanya kemudian.
Kira tahu pada akhirnya akan seperti ini. Tapi tidak tahu bahwa tatapan Brian yang memancarkan amarah bisa sangat menyakitkan. Meski Kira yakin, Brian mati-matian menahan agar dia tidak menunjukan secara kentara tentang kemarahannya. Dia bahkan jelas-jelas terlihat menahan diri.
"Maaf. Aku cuma kasihan sama Kalila. Dia mau punya mama dan aku cuma berusaha mewujudkannya meski—"
"Meski hal ini salah?" sela Brian.
Kira diam, hanya menatap lurus pada mata Brian yang juga tengah menatapnya.
"Kalila bakalan bergantung ke kamu. Dia bakal nganggap kamu benar-benar mamanya. Dan setelah itu apa?"
"Brian...." Kira melirih.
Brian memalingkan wajah, mengembuskan napas keras sehingga menimbulkan suara yang terdengar jelas oleh kuping Kira. Lantas menatap Kira lagi, kali ini tatapannya sedikit melunak.
"Maaf," gumamnya, terlihat masih kesal tetapi jelas menyesali tingkahnya. "Aku tahu, kok, niat kamu baik. Sangat tahu. Tapi pikiran Kalila masih sangat polos. Aku takut dia berharap terlalu banyak sama kamu. Dan apa yang terjadi setelahnya, setelah dia lulus dari sekolah ini? Dia akan terus ganggu kamu, meminta tanggung jawab kamu atasnya padahal kamu nggak benar-benar bisa dikatakan sebagai penggung jawabnya."
Benar. Apa yang dikatakan Brian benar. Beberapa bulan lagi Kalila akan lulus. Dan apa yang terjadi setelah itu? Jelas mereka tidak akan bertemu lagi seperti biasanya, terkecuali ada takdir lain yang mengantarkan mereka.
Aneh. Hati kecil Kira merasa tidak rela, padahal hanya membayangkan saja ketika hari itu tiba. Meski sebenarnya, Kira merasa tak keberatan Kalila mengganggunya, memintainya pertanggung jawaban atasnya selama... ayahnya ikut serta dalam tanggung jawab itu.
Ck. Kira menertawakan dirinya sendiri di dalam hati. Apanya? Brian bahkan tak tertarik padanya, dan dia sudah berpikir sejauh itu?
Dia memegang tali tasnya erat-erat. Tersenyum tipis untuk menyamarkan luka. "Aku minta maaf. Aku bakal kasih pengertian ke Kalila setelah ini," gumam Kira, mencoba mengatur suaranya agar tidak goyah.
Kira lantas berjalan meninggalkan Brian setelah menghadiahkan senyuman tipisnya lagi pada lelaki itu. Menghampiri Kalila yang terpekur sendiri di atas ayunan sambil menatap langit-langit yang cerah.
***
Sial. Brian mengumpat dalam hati, menyaksikan punggung Kira yang kian menjauh dari tempatnya berdiri. Tatapan terluka yang tak bisa disembunyikan perempuan itu membuatnya merasa bersalah.
Dia menyugar rambut hitamnya, meremasnya sejenak sambil menengadah. Lantas kembali mengalihkan atensinya pada Kira yang saat ini tengah berjongkok di hadapan Kalila.
Brian marah begitu saja bukan karena dia tak suka Kalila menganggap Kira sebagai mamanya, hanya saja, itu terlalu beresiko. Setelah pembicaraan semalam mengenai dirinya yang harus menikah agar mendapatkan seorang mama untuknya, Kalila tiba-tiba saja memanggil seorang perempuan dewasa dengan panggilan Mama, bagaimana Brian tidak kaget? Bagaimana kalau Kalila meminta hal yang aneh-aneh lagi setelahnya? Itu tidak bisa dibiarkan.
Brian paham, sangat paham bahwa Kalila membutuhkan sosok ibu dan Kira mau membantunya. Tapi ini tidak benar. Segalanya salah.
Brian memutuskan menghampiri dua gadis berbeda usia itu. Mendengar samar-samar pembicaraan mereka sampai akhirnya terdengar jelas ketika dia tiba di hadapan keduanya.
Kalila seketika menghadap pada Brian. "Papa, memangnya kenapa Lila gak boleh manggil Mama Kira dengan panggilan Mama? Memang itu salah, ya?" katanya dengan mata yang berkaca-kaca, hampir menangis.
Brian belum sempat menjawab, tetapi Kalila sudah kembali bersuara. Kali ini nadanya terdengar goyah sampai akhirnya isakkan terdengar.
"Tadi Mama Kira nggak apa-apa, dia mau jadi mamanya Kalila, terus kenapa sekarang nggak mau? Papa bilang apa ke Mama Kira? Papa nggak marahin Mama Kira, kan?"
"Sayang," panggil Kira lembut. Memegang kedua bahu ringkih Kalila dan membuat gadis kecil itu menghadap padanya. "Jangan marah-marah ke Papa, dosa. Nanti Tuhan marah."
Dengan lembut Kira menghapus air mata di kedua pipi Kalila dengan jari-jari rampingnya. Dan hal itu tak lepas dari pengawasan Brian yang masih terdiam. Di balik sosok cerobohnya, dia memiliki jiwa keibuan dan hati yang lembut. Brian tahu. Tanpa sadar hal itu membuat hatinya menghangat tetapi juga sakit di saat yang sama.
"Dengar. Kalila cuma nggak panggil Ibu dengan sebutan Mama. Tapi Ibu bakalan ada kalau ada yang ganggu Kalila di kelas. Ibu tetap menjadi Ibu Guru yang sayang Kalila. Jangan sedih begitu."
"Tapi Lila mau mama. Lila mau punya mama," kekeuh Kalila sambil menghentakkan kakinya sekali.
"Nanti Papa Kalila bakal bawain mama, kok, buat Kalila. Tapi Kalila harus sabar."
Brian tertegun. Apakah akan? Brian tidak yakin. Dia sendiri bahkan telah menentang keinginan ayahnya untuk segera menikah. Yang benar saja!
Brian ikut berjongkok di samping Kira. Menyadari bahwa perempuan itu sempat menoleh padanya sejenak. Brian tersenyum, mengusap puncak kepala Kalila lembut.
"Apa Papa kurang baik buat kamu? Papa nggak cukup buat kamu?" Brian tanya. Nadanya biasa saja, tetapi hal itu mengundang tangis Kalila lagi. "Papa bisa jadi papa sekaligus mama Kalila. Kenapa Kalila mau mama lagi?"
Helaan napas Kira terdengar. Brian bahkan tahu dia menoleh dan menatapnya dengan sorot yang jauh. Tapi Brian tidak berani menatapnya balik. Dia hanya berusaha menghentikan tangis Kalila meski nyatanya tangisan anak itu semakin menjadi karenanya.
"Lila... Lila sayang Papa, Lila juga tahu Papa sayang Lila. Tapi Papa nggak bisa jadi mama. Lila mau pergi wisuda dengan papa dan mama kayak orang lain. Pergi piknik bertiga. Dipeluk mama sebelum tidur. Dibacakan dongeng anak kancil, bukan dongeng soal penjahat dan kerjaan Papa di kantor. Papa gak bisa jadi mama." Kalila mengatakan kalimat-kalimat itu secara tersendat, diselingi oleh isakkan kecil dan suara tarikan ingusnya.
"Kalila."
"Jangan panggil Lila. Kalila marah sama Papa."
Lalu anak tersebut berjalan begitu saja meninggalkan kedua orang dewasa yang masih berjongkok di sana. Langkah-langkah kecilnya membawa gadis itu ke dalam mobil Brian. Dari tempatnya Brian menghela napas lega. Setidaknya Kalila tidak kabur ke mana seperti adegan-adegan sinetron.
"Maaf aku udah bikin masalah kalian jadi tambah runyam."
Brian menolehkan kepalanya pada Kira yang sudah berdiri. Dia lantas ikut menegakkan kembali badannya dan mengangguk kecil. Sebenarnya dia juga ingin meminta maaf, tetapi entah mengapa kata-kata itu hanya tersangkut di tenggorokan tanpa tersuarakan.
"Kalau gitu aku antar Kalila pulang. Masih banyak kerjaan di kantor," gumam Brian yang sangat jauh dengan apa yang otaknya pikirkan sejak tadi.
Dia lantas berbalik. Berjalan lurus tanpa kembali menoleh. Meski begitu, dia masih awas. Dia tahu Kira memperhatikannya sampai dia masuk ke dalam mobil.
***