"Sudah saatnya kamu bangkit. Jangan terus mengunci diri di dalam memori masa lalu. Tanpa sadar itu cuma nyakitin kamu sampai akhir."
-Fadi Regan-
***
Hari sudah sore. Tidak biasanya Kira hanya duduk-duduk di kamar tanpa mengganggu Rani di kedai. Atau sekadar membuat ayahnya kesal karena dia datang dan ikut bekerja di sana.
Entahlah. Pergerakannya menjadi lambat sejak kejadian siang tadi. Yang dilakukan hanya termenung, entah berpikir atau melamun. Yah, sebenarnya tidak jauh beda juga, sih.
Melihat jam dinding yang bertengger di dinding kamar, Kira menghela napas. Jam tiga lebih. Beberapa saat lagi kedai pasti ramai. Tapi Kira tidak mood pergi. Tidak tahu apa yang terjadi padanya, pikiran Kira hanya dipenuhi dengan Brian dan tatapannya tadi.
Kira turun dari ranjang, berjalan menuju jendela dan menengadah. Menatap awan hitam yang bergelung di atas langit. Mendung membuat hatinya ikut kelabu.
Sementara di tempat lainnya, Brian tengah merapikan berkas-berkas kasus di meja. Memilah kasus mana yang jadi prioritas untuk segera diselesaikan. Meski pikirannya kacau, dia tak pernah mengizinkan dirinya sendiri dikuasai emosi. Jika tidak seperti itu, maka pekerjaannya pasti berantakan.
Semua berkas di mejanya sudah rapi. Brian berdiri, menatap keluar bangunan lewat jendela. Yang dilakukannya hanya diam dengan pikiran kosong. Sampai kemudian seseorang menyodorkan se-mug kopi ke hadapannya. Fadi. Mereka kini berdiri bersisian di depan jendela sambil menyesap kopi di tengah cuaca yang mendung.
"Pekerjaan saat ini sangat sulit, ya?" Fadi membuka suara.
Mengangkat sudut bibirnya sedikit, Brian menjawab, "Ya, sulit. Bukannya keterlaluan kita dibebankan pekerjaan yang berat dengan deadline yang nggak manusiawi?"
"Mungkin karena mereka merasa kita yang paling mampu?" sahut Fadi, "tapi memang iya, ini keterlaluan bagaimana pun juga."
"Waktu bersantai dengan keluarga jadi berkurang banyak, kan?"
Fadi tersenyum tipis, mengangguk. Sedetik kemudian dia menatap Brian. Sedikit ragu untuk bertanya, tetapi kemudian mulai bersuara, "Kamu nggak pernah kencan dengan seseorang," gumamnya. "Yah, sekarang aku lagi bicara sebagai abang yang kenal kamu sejak zaman kuliah, bukan sebagai penyidik yang kerja sama kamu," lanjut Fadi.
Brian tampak termenung beberapa detik tadi, dan Fadi bisa menangkap raut sedihnya yang segera dia tutupi dengan senyuman kecil.
"Sukses memang perlu, tapi jangan mengesampingkan soal kehidupan pribadi, Bri. Udah saatnya kamu bangkit. Jangan terus mengunci diri di dalam memori masa lalu. Tanpa sadar itu cuma nyakitin kamu sampai akhir."
Brian terkekeh sumbang sejenak. Seolah menertawakan dirinya yang pecundang untuk menghadapi kenyataan lain di hidupnya. Selama ini setelah kejadian nahas lima tahun lalu, Brian tak berniat mengubah dunianya. Segala yang dia lakukan selalu terencana, terjadwal, konsisten tanpa perubahan. Bekerja, pulang menemui Kalila, tidur, bekerja lagi, menemui Kalila lagi, tidur lagi. Terus seperti itu. Teman-temannya bilang hidup Brian membosankan. Sedang bagi Brian, itu lebih baik daripada harus menghadapi luka baru.
"Sampai saat ini aku nggak pernah kepikiran buat memulai kembali sesuatu yang baru," ujar Brian setelah hening yang agak lama.
Helaan napas Fadi terdengar. "Karena Renata?" tanyanya to the point. Menyebutkan seseorang yang pernah membuat Brian hancur luar biasa. "Dia udah ngejalanin hidupnya dengan baik. Bahkan dia udah nikah setahun lalu. Dan kamu masih terjebak di sana, Bri."
"Aku dengar pernikahannya gagal." Brian menatap lurus ke luar. Menerawang jauh entah ke mana.
"Lalu?"
"Mereka saling mencintai, didukung kedua orangtuanya, sama-sama sukses, tapi tetap gagal."
"Kamu takut?" Fadi tanya. Saat Brian hanya menyunggingkan seulas senyuman, Fadi melanjutkan, "anggap itu karma bagi mereka, bagi Renata yang udah nyakitin kamu."
"Tapi orang jahat ataupun baik tetap mengalami kegagalan."
"Maka dari itu, semua orang pernah gagal. Tapi cuma orang pecundang yang enggan bangkit karena takut akan kegagalannya lagi, Bri." Fadi menepuk bahu Brian, meremasnya, lantas meninggalkan Brian sendiri yang termenung dalam diam.
...ya, aku memang pecundang.
***
Seperti dugaan Kira, kedai sedang ramai-ramainya. Sudah dipastikan meja-meja dipenuhi oleh muda-mudi yang baru pulang sekolah atau kuliah. Kira melangkahkan kaki memasuki kedai tersebut diikuti oleh Jovan yang menjadi tebengannya barusan.
Sebenarnya tadi Kira enggan pergi. Tapi melihat wajah Jovan yang ditekuk di depan rumah, Kira paham betul bahwa lelaki itu tidak sanggup bertahan di rumah sendirian dengan keadaan kacau begitu. Akhirnya ya sudah, daripada membiarkannya galau, pergi ke kedai tak ada salahnya. Itung-itung dia jadi pekerja paruh waktu di kedai Dirga.
"Kalian ke sini lagi?"
Sambutan yang bagus, Ayah. Kira menggeleng kecil tak paham dengan ayahnya yang selalu melarang Kira datang.
"Jovan, kamu gak capek pulang kerja langsung datang ke kedai? Kenapa nggak istirahat aja di rumah?"
"Gak, Om. Di rumah juga gak ada kerjaan," balas Jovan lantas berjalan ke balik meja kasir. Sudah pasti anak itu akan beralih profesi sore ini.
"Ayah kayak yang nggak tahu aja. Dia kan baru putus cinta? Kalau di rumah terus berabe, susah move-on, kepikiran mbak mantan terus." Kira terkekeh pelan begitu mendapat death glare dari Jovan. Setidaknya menggoda sepupunya itu membuat Kira menjadi lebih baik.
"Ya, cari perempuan lain. Jalan kek ke mana, bukannya dateng ke kedai. Kira jadi ikut-ikutan, kan?"
"Lho? Jovan lagi yang salah?" Jovan mendelik.
"Ya, iya. Dia kan nebeng ke motor kamu."
"Tapi yang ngajak Kira."
Dan perdebatan tidak akan pernah berakhir jika saja Rani tidak datang dari dapur. Memberi peringatan pada mereka semua agar jangan ribut. Selanjutnya dia memberikan sebuah perintah yang entah anugerah atau musibah bagi Kira.
"Pergi ke mall. Pergi ke toko perhiasan buat perbaikin kalung Tante yang rusak. Sekalian aja kalian refreshing, jangan kayak orang susah, ribut mulu."
...karena setelahnya di mall itu, dia bertemu dengannya. Tidak, tidak bertemu. Hanya berpapasan dan kebetulan hanya Kira yang menyadari kehadirannya.
Dengan seorang perempuan. Tertawa kecil. Dan terasa amat menyesakkan di hati Kira. Why? Ada apa dengannya?
***