BAB 6

1443 Kata
"Aku cuma bisa nebak. Tapi apa yang kamu rasakan sesungguhnya, cuma kamu sendiri yang tahu. So, selamat mencari tahu, Kirananda!" -Jovan Al-fares- *** Kira tersenyum hangat menyaksikan Kalila makan dengan lahap di kedai milik ayahnya. Pipi gembil anak itu semakin membengkak ketika dia mengunyah, dan itu lucu. Yah, jadi setelah menunggu agak lama di depan minimarket tadi, Brian tidak kunjung datang. Tanti sudah dijemput suaminya dan hujan sudah mulai turun. Akhirnya Kira memutuskan membawa Kalila ke kedai ayahnya yang terletak tidak begitu jauh dari sekolah. Dia mengirim pesan pada Brian jika Kalila bersamanya. Kira tak habis pikir saja, bagaimana bisa Brian membuat janji pada seorang anak tapi tidak menepatinya? Apa jadinya jika Kalila terus menunggu di sekolah lalu tiba-tiba kejadian nahas terjadi? Apa Brian tidak berpikir sejauh itu? Jika tidak bisa menjemput dengan alasan sibuk karena pekerjaannya, setidaknya biarkan Bik Hana yang biasa menjemput Kalila melakukan tugas biasanya. Tidak perlu membuat janji jika sulit menepati. "Uhm, Kalila?" panggil Kira. Kalila seketika menoleh padanya. "Ibu Kalila...," Kira menggantungkan ucapannya. Dia bingung bagaimana bertanya pada anak tersebut. Takut menyinggung atau membuatnya sedih. "Ibu mau tanya kenapa Lila gak punya mama?" Anak itu bicara dengan wajah santainya. Dan itu cukup membuat Kira tercengang. "Lila gak tahu. Kata Papa, Lila---" "Kalila?" Kalila tidak melanjutkan ucapannya saat Brian tiba-tiba datang dengan tubuh bagian atasnya yang basah kuyup. Juga, sebuah memar di wajahnya. Ada apa dengannya? "Papa!" Kalila bangkit. Jelas sangat lega dengan kedatangan ayahnya. Tapi sedetik kemudian dia duduk kembali, membatalkan niat untuk memeluk ayahnya tersebut. Kini hanya wajah cemberut yang hadir. Ah, dia marah. Brian mendekat, berjongkok di sisi kursi Kalila, memperhatikan wajah dan seluruh tubuh gadis kecil tersebut seolah takut ada bagian tubuh yang hilang. Ya kali. "Maaf, Papa ada urusan mendesak tadi. Kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan satu tarikan napas. Kira tersenyum tipis. Sikap Brian mengingatkannya pada Dirga, Sang Ayah. Dulu ketika Kira kecil dengan Jovan main terlalu jauh atau hilang terlalu lama, Dirga akan mencarinya hingga menggila sendiri. Setelah ketemu, dia akan menatap Kira lekat, lalu memeriksa seluruh tubuh Kira, takut-takut ada yang lecet atau apa. Setelah tahu bahwa Kira masih utuh tanpa lecet sedikit pun, dia baru bernapas lega. Jika ada yang lecet, dia akan marah-marah tetapi setelahnya langsung memeluk Kira. Yah, dia tidak benar-benar marah, dia hanya selalu khawatir. Semua ayah memang sama saja, pikir Kira. "Terima kasih sudah mengamankan Kalila. Saya tidak tahu bagaimana jadinya jika dia tidak bersama Anda," ucap Brian, setelah berdiri dan menghampiri Kira. Kira mengangguk kecil. "Tidak apa-apa." Kira menatap Kalila sejenak, mengelus puncak kepala gadis itu. "Tapi lain kali jika memang sibuk, jangan memaksakan diri sendiri. Kasihan Kalila nunggu lama." Kemudian Kira tersenyum lebar pada Kalila, "...ya, kan, Sayang?" Kira meminta persetujuan. Kalila membalas dengan anggukkan mantapnya. "Kata Papa, Lila jangan keliaran sendirian di luar. Tapi Papa biarin Lila nunggu Papa sendiri tadi. Gimana kalau ada orang jahat yang sering Papa ceritain itu?" Kira tertegun. Dia menatap Kalila dan Brian bergantian. Brian menceritakan apa saja pada anak kecil seperti Kalila? Jangan bilang ... "Papa tadi habis ngejar penjahat juga, Sayang." Brian menunjukan luka memar di wajahnya. Hal itu sontak membuat Kalila meloncat dari tempat duduknya. Berdiri sambil berjinjit agar bisa menggapai ayahnya. Sayang, hal itu mustahil jika tidak Brian sendiri yang berjongkok mensejajarkan wajah mereka. "Papa dipukul penjahat?" pekik Kalila berang. Brian mengangguk kecil, lalu dihadiahi pukulan di pundaknya oleh gadis kecil itu. "PAPA! Lain kali Papa nggak boleh dipukul penjahat. Yang harus mukul itu Papa! Papa jangan lemah. Udah Lila bilang berapa kali!" Kira tercengang. Lagi. Percakapan ayah dan anak macam apa ini? "Tapi Papa berhasil nangkap penjahat itu." Brian menyengir. Kalila memiringkan kepala, seolah memastikan apakah ucapan ayahnya dapat dipercaya. Kemudian tersenyum lebar setelah beberapa saat. "Bagus. Kerja bagus." Kalila menepuk-nepuk pelan puncak kepala Brian, seolah di sini dialah orang tua dan Brian adalah anaknya. Astaga. Mengapa ini jadi menggemaskan? "Jadi, Papa dimaafin?" Brian melingkarkan tangannya di tubuh Kalila, menatap lekat gadis itu. Begitu Kalila mengangguk dengan senyuman lebarnya, Brian tersenyum lembut, mengecup kening Kalila dan meraihnya ke dalam gendongan. Brian berdiri kembali. Menatap sekilas ke sekitar tempatnya berada. Dia sepertinya baru sadar bahwa sejak tadi bukan hanya ada dia, Kalila dan Kira di sana, tetapi juga ada seorang pemuda yang berdiri di meja kasir, memperhatikan mereka. Sisanya hanya pengunjung kedai yang tidak mempedulikan sekitar. Lagu Letting Go milik Day6, salah satu grup band asal Korea Selatan, terdengar memenuhi kedai tersebut. Itu lagu favorit Jovan. Favorit Kira juga. Selera musik mereka memang sama. "Kalila makan berapa banyak?" Brian menatap Kalila lalu menatap Kira. "Papa! Kira makan sedikit, kok!" Kalila berbicara seolah dia tengah disalahkan atas sesuatu. "Tapi lebih dari satu piring, kan?" Brian menatap piring-piring di meja Kalila. Kira terkekeh mendengar pertanyaan sarkas Brian. Dia sendiri kaget tadi ketika mengetahui porsi makan Kalila begitu banyak. Ya, setidaknya memang di atas ukuran normal anak-anak seusianya. Dia sangat lahap. Pantas saja pipinya begitu gembil. "Bayar di sana, ya?" Brian bertanya Kira, mengedikkan dagu ke arah Jovan. Kira menggeleng segera. "Tidak. Tidak usah dibayar, Pak." "Lho?" "Udah Lila bayar, kok, Pa." Brian segera menoleh pada Kalila. Bagaimana bisa Kalila membayar makanannya sendiri? Kemudian Kalila bergumam, "Lila makan makanan buatan Bu Kira. Katanya gratis bersyarat." Kalila memasang mimik yang membuat Brian penasaran. "Bu Kira gak bisa masak katanya," bisik Kalila melanjutkan. Di depan Brian, muka Kira sudah memerah. Dia tidak tahu apa saja yang dikatakan anak itu pada ayahnya. Tapi dari mata Kalila yang memicing-micing sejak tadi, dia tahu anak itu tengah bergosip tentangnya. "Terus?" Brian juga. Kenapa begitu penasaran? "Lebih enak masakan Papa. Tapi Lila lapar, jadi Lila habisin makanannya," bisik Kalila lagi di telinga ayahnya. Kira tersenyum canggung begitu Brian juga menampakkan senyuman kakunya. "Baiklah. Saya masih ada pekerjaan. Jadi saya mau pam—" "Tunggu!" cegah Kira segera, sebelum Brian menyelesaikan ucapannya. "Di luar masih hujan. Apa tidak tunggu di sini saja dulu sampai hujannya agak reda? Lagi pula," Kira memperhatikan memar di wajah Brian, "...luka Anda sedikit bengkak." Brian tersenyum kecil, memegang wajahnya yang masih lumayan terasa nyeri. "Ah, ini tidak apa-apa," katanya. "Luka Anda harus diobati dahulu." Brian menoleh ke sisi kanannya. Pada Jovan yang barusan mengeluarkan suara sambil berjalan ke arahnya dengan sebuah es batu dan handuk. Ketika sampai, dia meletakkan barang-barang itu di meja. Tersenyum singkat, lalu pergi lagi. Kira mengangguk. Memberi isyarat agar Brian duduk di salah satu kursi. Setelah mendapat teguran dari Kalila, barulah Brian duduk di sana. "Maaf," gumam Kira. Dia menarik kursinya untuk lebih dekat pada Brian. Membalut es di dalam baskom dengan handuk. Namun ketika baru saja kompresan es itu hendak mengenai wajahnya, Brian mundur. Membuat Kira mengernyit. "Biar saya saja," cetus Brian. Kira menggeleng. "Tidak apa-apa. Ini tidak akan sakit," Kira membalas tenang. Padahal jauh di dalam hatinya, dia gugup bukan main. Bayangkan, wajah tampan Brian berada tepat di hadapannya! DI HADAPANNYA! Kira tidak percaya, pori-porinya saja nampak sangat manis. Dan kumis-kumis tipis di atas bibirnya... itu seksi. Ya Tuhan, Kira! Kira menempelkan kompresan itu di lebam Brian, tepat di tulang pipi. Sedikit tersenyum ketika lelaki itu mendesis sakit sambil memejamkan mata. Dari jarak dekat, Kira bisa mencium aroma tubuh Brian yang maskulin. Perpaduan antara kayu-kayuan dan citrus yang menenangkan. Sangat cocok dengan penampilan Brian. Ketika Brian membuka matanya, mendadak Kira merasa dunia seakan terhenti. Tatapan Brian, wajahnya, dan segala sesuatu yang ada pada diri pria itu seakan menarik Kira ke sebuah dimensi waktu berbeda. Di mana hanya ada mereka berdua di sana, tidak yang lainnya. Kira membeku sempurna, tapi jantungnya berdetak sangat cepat. Otaknya berteriak agar dia segera tersadar dan menjauh. Tapi tubuhnya tidak merespon. Dan itu membuat logikanya menggila. Hingga... "Maaf." Brian menyentuh tangan Kira, menurunkannya dari wajahnya. Seketika itu barulah Kira sadar dan berdeham. Dia mundur dengan segera. Terasa sangat canggung. "Hujannya reda," gumam Brian. Menatap ke luar kedai dan menatap Kira lagi. "Terima kasih atas semuanya. Kalau begitu kami pamit dulu." Brian membungkuk sopan. Pada Kira, kemudian para Jovan dan Dirga yang berada di balik meja kasir sambil memperhatikan mereka sejak tadi. Kira hanya tersenyum tipis. Tidak bisa lagi mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Entah kenapa, dia hanya merasa gugup. Bahkan saat Brian dan Kalila sudah benar-benar pergi dari hadapannya, Kira masih membeku. Berdiri di tempat semula tanpa bergeser sedikit pun. Dia hanya sesekali berkedip dan menghela napas. Selebihnya, dia merasa seperti seluruh tubuhnya lumpuh. "Dia udah pergi." Kira akhirnya merasa bebas saat seseorang menepuk bahunya. Jovan. "Van?" panggil Kira. Tapi kedua netranya masih menatap ke arah kepergian Brian barusan. "Barusan aku ngerasa... tubuhku kayak beberapa tahun lalu. Gak bisa gerak. Tapi anehnya, jantung aku berdebar kencang banget. Sakit, tapi rasanya menyenangkan." "Karena kamu natap dia?" Jovan merespon. "...mungkin?" "Mau aku kasih jawaban atau nyari jawabannya sendiri?" Kira menoleh. Ketika itu, senyuman Jovan terbit. "Aku cuma bisa nebak. Tapi apa yang kamu rasain sesungguhnya, cuma kamu sendiri yang tahu. So, selamat mencari tahu, Kirananda!" "Lalu tebakan kamu?" teriak Kira saat Jovan meninggalkannya begitu saja. "Lagu Day6 yang terakhir diputar tadi," kata Jovan tanpa berbalik. Kira termenung, mengingat lagu Day6 yang mana yang terakhir diputar sebelum beralih ke lagu-lagu milik J_ust? Lalu... I like you? Hell, no. Kira menggeleng kesal. Bagaimana bisa? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN