"Saya yakin, Pak, cinta sejati itu ada. Hanya tidak semua orang bisa mendapatkannya."
-Venita Arya-
***
Brian menatap Kalila yang tertidur lelap di kursi, di sampingnya yang tengah mengemudi. Wajah damai anak tersebut membuat Brian tersenyum. Kalila, dari mata, hidung, bibir, sangat mirip dengan ibunya. Terkadang melihat Kalila selalu membuat Brian merindukan sosok cerewet Lea. Sosok yang selalu dia peluk ketika mengalami kesulitan. Tak terasa, lima tahun sudah berlalu sejak dia kehilangan tempat berlindungnya.
Terkadang Brian ingin memberikan penghargaan pada dirinya sendiri. Minimal mengatakan bahwa dia sudah melakukan segalanya dengan baik selama ini. Terutama karena dia masih bertahan sejauh ini.
Yah, Brian paham betul apa yang dia lalui tidak pernah mudah. Ayah yang selalu mengekang dan menekan. Cinta yang pergi setelah memberikan luka mendalam. Dan sebuah kesuksesan yang dia gapai dengan susah payah—meski dia baru saja memulai. Bukankah tidak berlebihan jika Brian memberikan penghargaan pada dirinya sendiri?
Brian menghela napas, memfokuskan kembali dirinya pada jalanan. Namun tiba-tiba, sosok itu datang, menghantui benaknya. Sosok yang barusan begitu dekat, hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Lalu Brian kembali mengenang bagaimana dia bereaksi terhadap Kira tadi. Wajahnya yang cantik, deru napasnya yang hangat mengenai wajah Brian, dan tatapan dalamnya. Brian merasa, ada sesuatu yang salah dalam dirinya sejenak tadi. Semacam ada letupan-letupan kecil di dalam hatinya. Brian tidak tahu itu apa, tapi logikanya mengingatkan bahwa hal itu salah. Tubuhnya bahkan bereaksi lebih hebat hingga menyebabkan sesak.
Brian tidak pernah merasakan perasaan asing terhadap perempuan sejak lima tahun lalu. Bahkan pernah, Brian berpikir membenci sosok perempuan. Tapi tidak. Dia mengingatkan dirinya sendiri; Lea perempuan, Kalila pun perempuan, tidak sepantasnya dia membenci semua perempuan. Pada dasarnya semua kembali pada pribadi seseorang. Hanya saja untuk kembali jatuh hati, Brian tidak bisa. Atau belum? Entahlah. Namun perasaannya sesaat tadi... itu sedikit mengusiknya.
Brian mematikan mesin mobilnya ketika sudah sampai di depan rumah. Lantas menggendong Kalila ke dalam rumah karena sepertinya anak itu terlalu lelap tidur. Mungkin karena memang kelelahan. Belum lagi cuaca yang memang sangat mendukung untuk tidur.
"Aden mau ke kantor lagi?" tanya Bik Hana sesaat setelah Brian keluar dari kamar Kalila selepas membaringkan anak tersebut di ranjang.
"Iya, Bik. Masih banyak pekerjaan," balas Brian sambil membuka jasnya. Tadi sempat kebasahan sebelum ke kedai yang katanya milik ayah Kira. "O ya, Ibu nggak pulang hari ini?" Brian bertanya perihal sosok ibu kandungnya yang jarang di rumah.
Si Bibik mengangguk kecil. Mengambil jas Brian yang disodorkan padanya. "Ibu masih di Eropa sama teman-temannya. Besok katanya mau ke Jepang, urusan kerjaan," balas si Bibik. Terselip nada tidak enak di dalam suaranya.
Brian sendiri hanya tersenyum tipis mendengar jawaban Bik Hana. Lina, ibunya, sejak dulu memang selalu sibuk sendiri. Lahir dari keluarga kaya raya membuatnya selalu menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Ketika datang ke rumah pun, yang selalu didengar Brian bukan panggilan kasih sayang seorang ibu pada anaknya, tetapi sindiran sarkas pada sang Ayah. Perang dingin dan keributan yang panas di antara mereka. Entah bagaimana kehidupan pernikahan mereka, Brian tidak mengerti. Sampai keluarga macam apa yang Brian tinggali pun, Brian tidak paham.
Ayah yang terlalu berambisi dalam segala sesuatu, termasuk kesuksesan anaknya. Sedangkan ibu yang terlalu santai. Memiliki anak seolah bukan apa-apa untuknya, bukan sesuatu yang bisa menghentikannya melakukan segala kegiatan tidak penting yang selalu dia lakukan.
Brian pamit pergi. Sejenak menyapa Mang Parman, tukang kebun yang kadang-kadang datang bersama istrinya, Bik Karni, untuk membantu pekerjaannya. Jujur, kadang Brian iri pada mereka. Meski hidup sederhana, tetapi mereka saling menyayangi dengan kedua anaknya yang masih sekolah. Brian pernah bertemu dengan anak kedua mereka. Dia sangat sopan dan kelihatan cerdas. Brian yakin dia tidak kekurangan kasih sayang sedikit pun dari kedua orangtuanya. Dan hal itu terkadang membuat Brian miris, membandingkan hidupnya dengan hidup orang lain.
***
"Dia benar-benar pelakunya?"
Brian langsung disambut oleh pertanyaan tersebut oleh Venita ketika dia baru saja masuk ruangan setelah melakukan interogasi. Brian tak langsung menjawab. Dia duduk di kursinya, menyimpan file-file yang dia bawa dari ruang interogasi tadi. Kemudian menghela napas.
"Manusia benar-benar mengerikan, bukan?" lirih Brian, menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi. Lantas menatap nyalang pada langit-langit.
"Jadi, beneran?" Venita menatap Fadi, yang barusan juga ikut dengan Brian menginterogasi Rendi, tercengang.
Fadi mengangkat bahu acuh. "Kita masih membutuhkan bukti tambahan untuk meyakinkan hakim di pengadilan bahwa dia pembuhnya," balasnya kemudian.
Brian kembali menegakkan tubuhnya, menatap Venita lurus. "Jadi kamu masih percaya tentang kebohongan soal cinta sejati—seperti yang sering kamu baca di n****+-n****+ romantis—setelah kasus ini, Ven?" Brian terkekeh kecil.
Perempuan berambut panjang itu tersenyum tipis. "Masih. Saya yakin, Pak, cinta sejati itu ada. Hanya tidak semua orang bisa mendapatkannya. Bukannya begitu, Pak Fadi?" Venita beralih pada Fadi. Dan suami dari perempuan bernama Wenda itu tertawa pelan.
"Benar. Tapi sampai saat ini saya tidak tahu definisi pasti cinta sejati itu bagaimana, Nona Venita Arya."
Brian terkekeh kecil melihat Venita dan Fadi saling mencondongkan tubuh satu sama lain, saling menatap dengan senyuman tipis.
"Apa menurut Bapak, Bu Wenda bukan cinta sejati?" tuntut Venita.
Fadi menggeleng kecil. "Saya mencintai Wenda untuk saat ini dan sebelumnya. Tapi tidak tahu untuk besok."
"Lha? Bapak gimana, sih?" Mendadak cara bicara Venita jadi non-formal. Kentara sekali perempuan itu kesal. Bahkan sempat-sempatnya dia menggebrak meja, meski tidak begitu keras.
"Memang benar begitu, Nona. Tidak ada yang tahu pasti soal perasaan. Yang saya tahu, saya hanya mencoba untuk tetap memegang janji pernikahan kami, apa pun halangannya nanti. Cinta sejati atau bukan, saya tidak tahu."
Brian termenung. Cinta sejati, benar, apa itu cinta sejati? Seperti apa? Selama ini Brian tidak pernah percaya. Dia bahkan hanya menganggap cinta hanyalah bualan semata. Tapi melihat Fadi yang begitu mencintai istrinya dan hidup bahagia dengan sepasang anak yang tumbuh sehat, Brian terkadang bertanya-tanya—adakah? Benarkah cinta sejati itu ada? Jika hanya sebagian orang yang mendapatkannya, mungkinkah Brian adalah satu dari bagian orang yang tidak mendapatkannya?
"Pak Fadiii," Venita menatap Fadi terharu. Sisi lain dari Venita yang terlihat elegan di luar, ya, ini. Dia memiliki sisi kekanakkan juga.
"Sudah. Kenapa kita jadi bahas soal hal-hal tidak berfaedah begini?" Brian menginterupsi.
Brian berdiri, mengambil berkas kasus yang masih menumpuk di rak sebelah kanan Venita.
Pria Mahesa tersebut menyimpan berkas yang dia bawa di mejanya. Lalu berjalan ke arah jendela dan menatap ke bawah sana, di mana para wartawan berkumpul untuk mengorek informasi yang akan mereka angkat ke media. Tentu saja perihal perkembangan kasus pembunuhan Asyila. Semua orang menggila karena kematian model top tersebut beberapa waktu lalu. Media begitu haus akan info secuil apa pun itu. Mereka bahkan rela bermalam di kantor kejaksaan selama berhari-hari, berharap mendapatkan informasi yang up to date.
“Kadang manusia mengerikan, ya? Menjadikan kemalangan orang lain untuk mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri,” gumam Brian miris.
***
Sudah beberapa hari ini Kira melihat Brian mengantar Kalila sekolah. Namun Kira belum berani menyapa Brian semenjak hari di mana dia mengompres luka Brian di kedai ayahnya. Kira hanya masih bingung dengan perasaannya. Bukan hanya itu, dia juga takut. Bagaimana jika yang Jovan katakan benar-benar terjadi? Kira, menyukai Brian. Bagaimana jika perasaannya bertepuk sebelah tangan? Atau Brian ternyata memiliki pasangan, entah itu istri atau pacarnya? Kira belum siap patah hati.
Tapi, itu tidak mungkin, kan? Kira tidak mungkin jatuh hati secepat itu. Semoga.
Hari ini Brian mengenakan stelan berwarna cream. Sangat rapi, seperti biasa. Namun dari kejauhan, Kira menangkap gurat lelah di wajahnya. Sepertinya dia benar-benar sibuk sehingga melupakan istirahat. Dari jarak beberapa meter saja kantung matanya terlihat jelas. Ah, Kira tidak bisa membayangkan sekeras apa pekerjaan lelaki itu.
Kalila turun dari mobil, lantas terlihat bicara serius pada ayahnya tersebut. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi Kalila terlihat sedikit sebal. Diam-diam Kira tersenyum kecil, menatap binar polos Kalila. Setelah beberapa saat, barulah Kalila mau berjalan di sisi Brian, sambil mengamit tangan besarnya.
Kira ikut melangkah. Berjalan tepat di belakang Kalila dan Brian. Ya Tuhan, Kira merasa menjadi seperti penguntit! Tapi baiklah, di jarak sedekat ini sekarang Kira bisa mendengar jelas celotehan keduanya.
"Papa, kan, sudah minta maaf? Masa Kalila masih ngambek gitu?" ucap Brian, terdengar seperti keluhan.
Tidak ada jawaban yang terlontar dari bibir gadis mungil di sisinya. Dia hanya berjalan lurus. Kira bisa membayangkan wajah merengut gadis itu. Pasti menggemaskan.
"Gimana kalau malam ini kita makan di luar? Kalila mau?" Brian kembali bersuara. Dari percakapan mereka, sepertinya Kalila tengah marah karena Brian melakukan kesalahan. Entah apa. Tapi Kira bisa tahu bahwa Kalila tidak mudah dibujuk.
"Di kedai Bu Kira?" celetuk Kalila kemudian, berbarengan dengan langkahnya yang terhenti.
Lalu Kira memekik kaget, secara tiba-tiba kakinya tersandung barusan. Hampir saja dia nyuksruk jika saja tidak ada punggung Brian di depannya. Tetapi...
"Ah, maaf."
Kira meringis. Betapa cerobohnya dia sampai harus jatuh segala! Belum lagi tangan Brian yang refleks menahannya tadi sehingga keadaan tubuh mereka saling mendempet satu sama lain. Oke. Ini mirip sinetron sekali. Menggelikan.
Lagi-lagi jantung Kira berdebar amat cemas sehingga rasanya menyakitkan. Kira bersumpah bahwa berada di dekat Brian adalah suatu bahaya untuknya. Kira baru sadar akan hal itu sekarang, saat kewarasannya perlahan-lahan hilang karena lelaki itu.
"Anda tidak apa-apa?" Suara Brian menginterupsi lamunan Kira, yang lagi-lagi terpesona akan keindahan sosok Brian.
Kira menggeleng pelan, berdeham sambil menetralkan kembali pernapasannya. "Saya tidak apa-apa. Maaf." Kira mundur tiga langkah, mencari jarak aman.
Brian tersenyum tipis. Demi celana dalam Patrick yang jarang dicuci, Kira lagi-lagi bersumpah, senyuman Brian tidak baik untuk dikonsumsi atau dinikmati. Baiklah. Kira memang alay kadang-kadang. Tapi senyumannya terlampau manis, membuat detak jantung Kira semakin tak karuan.
Dan, apa lagi ini?
Kira membulatkan mata begitu Brian tiba-tiba berjalan mendekat ke hadapannya. Lalu dia berjongkok. Selama dua detik, Kira menahan napas. Hendak mundur tetapi sebelah kakinya ditahan Brian. Ternyata lelaki tersebut mengikat tali sepatu Kira yang barusan terlepas, alasan Kira hampir jatuh tadi.
Baiklah. Kira memang terlalu ceroboh. Dia sengaja selalu memilih memakai sepatu kets ketika bepergian karena dia menyadari kekurangannya yang selalu grasuk-grusuk, ceroboh, dan selalu saja melakukan kesalahan. Tapi dia tidak menyangka bahwa sepatu kets juga masih tidak aman untuknya. Mungkin setelah ini Kira harus mengganti sepatunya dengan sepatu balet.
"Lain kali hati-hati," ucap Brian setelah berdiri.
Kira mengangguk kecil, tak bisa mengeluarkan suara seolah dia telah tersihir oleh tatapan Brian yang tajam, menembus relung batinnya. Bahkan Kira tidak sadar saat Kalila menuntut tangannya, berjalan bersisian bertiga. Sudah seperti keluarga kecil saja.
***
Kira masih saja bengong, sementara Tanti sudah bicara dari A sampai Z, dari Z kembali ke A lagi. Pikirannya dipenuhi oleh segala sesuatu tentang Brian. Brian. Brian. Dan Brian. Kira bahkan lupa dengan niat awalnya datang cepat ke sekolah, yakni untuk merekap absensi anak-anak. Astaga, Brian tengah membuat sebagian logika Kira lenyap.
"KIRA!"
Kira baru mengerjap ketika Tanti berteriak keras tepat di kupingnya sambil memukul pelan bahu Kira.
"Ngelamunin apa, sih? Dari tadi lho, aku udah ngomong kesana kesini tapi gak ada respon. Malah bengong terus," gerutu Tanti cemberut.
Kira menggeleng kecil, berusaha memfokuskan dirinya lantas menatap Tanti intens. Yang ditatap jelas was-was, tidak biasanya Kira seserius ini.
"Pernah nggak, Kak Tanti ngerasa kepala Kakak hampir pecah karena dipenuhi sama segala sesuatu tentang satu orang?" tanya Kira to the point. Saat Tanti hanya mengkerutkan alis tanda bingung, Kira melanjutkan pertanyaannya secara lebih gamblang, "...gini lho, Kakak selalu mau tahu dia siapa, dia bagaimana, dia lagi apa, dia sama siapa. Kadang kala hanya dengan lihat senyum dia aja, Kakak ngerasa dunia terhenti, hanya terfokus ke bagaimana senyuman itu tercipta, bagaimana binar indah di matanya menatap Kakak."
Hening. Kira greget menanti jawab Tanti, sementara Tanti senyum-senyum tidak jelas mendengar Kira begitu antusias bicara. Saking antusiasnya sampai dia lupa mengendalikan volume suara, hingga alhasil beberapa guru yang sudah datang di kantor menatap Kira. Beberapa di antara mereka tersenyum kecil, beberapanya lagi hanya bersikap biasa saja seolah tak peduli.
"Kamu lagi ngomongin siapa, Ra?" Tanti malah balik bertanya, menatap Kira dengan kerlingan nakal.
Ketika itu Kira baru sadar bahwa dia terlalu semangat bercerita. Jelas tidak aneh jikalau Tanti curiga.
Kira berdeham, menarik sedikit sudut bibirnya menjadi satu senyuman tipis, berusaha menetralkan dirinya. Ruangan kantor yang berukuran 5x7 meter persegi itu tiba-tiba terasa senyap, atau hanya perasaan Kira saja?
"Gini, anu...," Kira kehilangan kata. Sepertinya dia akan terciduk lagi kali ini.
"Kamu lagi deket sama seseorang?" Tanti tanya.
Kira menggeleng keras. Memang benar, kan, dia tidak dekat dengan Brian?
"Bukan. Aku cuma nanya itu, kok, kenapa tiba-tiba jadi bahas deket sama seseorang?"
"Siapa?" Tanti seolah pura-pura tidak mengerti dengan apa yang Kira utarakan. "Ketemu di mana? Orangnya cakep? Tinggi? Mapan?" cerca Tanti tak berjeda.
Kira menghela napas panjang. Iya, Brian cakep, tinggi, mapan. Terlalu sempurna, bukan? Sayangnya mungkin dia milik orang lain. Mungkin.
"Aku gak deket siapa pun!" balas Kira sebal akhirnya. Dia tidak bisa jujur sekarang. Tidak sebelum Kira memastikan sendiri apa yang sebenarnya dia rasakan.
***