BAB 5

1543 Kata
"Ibu cantik dan baik. Kalila mau punya mama kayak Bu Guru nanti." -Kalila Syafa- *** "Pak Fadi, bisa tolong cari tahu masa lalu Rendi—tersangka kasus pembunuhan Asyila—dan segala yang bersangkutan dengannya?” Brian meneliti berkas sambil sesekali melirik jam tangannya. Dia harus menjemput Kalila pulang, tetapi pekerjaannya masih menumpuk. Ada banyak kasus yang dilimpahkan padanya, termasuk kasus-kasus lama yang tidak terselesaikan. Brian mendongak ketika Fadi, penyidik berusia 37 tahun yang menjadi timnya sejak pertama kali Brian menjadi jaksa, memanggilnya. "Dia pernah ditahan di lapas remaja sekitar enam tahun lalu karena kasus kekerasan." Brian berdiri. Menghampiri meja Fadi. Begitu pula dengan Venita, seorang petugas berusia 25 tahun yang berada di bawah pimpinan Brian sebagai jaksa. Mereka bertiga memperhatikan layar komputer Fadi. Membaca profil pria bernama Rendi yang bersangkutan dengan kasus Asyila, si model yang tengah naik daun, yang ditemukan meninggal dalam keadaan mengenaskan di apartemennya. "Usianya sudah delapan belas tahun waktu kejadian, tapi dia dimasukkan ke lapas remaja dan hanya ditahan kurang dari tiga bulan, padahal korban cedera parah hingga koma." Fadi menunjukkan keterangan yang dia baca. Ada yang aneh menurutnya. “Dia juga sempat dituduh melakukan malpraktik sekitar dua tahun lalu. Tapi hal itu tidak terbukti di persidangan sehingga dia dibebaskan.” Brian mengernyit. Netranya mengitari ruangan berukuran 4x3 meter tersebut, berpikir keras. "Statusnya dengan korban masih pacaran, kan?" Brian menatap lekat Fadi. Tahu bahwa lelaki itu tidak memiliki jawaban, Brian mendesah. Tadi pagi dia sendiri yang menemani kepolisian mengintrogasi Rendi. Dan jawaban pemuda itu memang iya. Tapi ada yang salah. Brian merasa ada banyak yang janggal dari pemuda itu. Brian bisa merasakannya. Rendi adalah orang yang dihubungi Asyila satu jam sebelum kematiannya. Catatan panggilan hanya sekitar tiga puluh detik. Dan Rendi bilang dia hanya menanyakan jadwal Asyila untuk besok agar bisa mengatur kencan mereka. Tapi, bukankah tiga puluh detik terlalu singkat untuk membahas hal seperti itu? "Selidiki Rendi lebih lanjut. Terutama cari tahu apakah benar dia ada di luar kota sampai kemarin sore. Saya akan pergi ke TKP." Brian bergegas meraih jasnya dan keluar dari ruangan kantor. Beberapa orang yang dia kenal menyapa. Brian balas tersenyum dan berbincang sedikit sebagai bentuk kesopanan. Beberapa orang berbicara tentangnya. Untuk pujian, Brian sudah cukup sering mendengar. Kebanyakan lebih memuji ayahnya. Katanya, dia sangat hebat mendidik Brian hingga sampai ke titik ini. Tapi tidak sedikit pula yang menghujat dari belakang. Bisa-bisanya bahkan ada yang bilang bahwa Brian diangkat menjadi jaksa di usia muda karena pengaruh ayahnya yang sangat dekat dengan kepala jaksa waktu itu. Karier Brian juga semakin cemerlang setelah ayahnya diangkat menjadi kepala jaksa menggantikan kepala yang lama tujuh bulan lalu. Brian hanya cukup tersenyum tipis. Biarlah orang-orang hanya melihat hasil yang Brian peroleh. Entah itu dengan pandangan positif atau negatif. Yang pasti, yang tahu tentangnya adalah dirinya sendiri. Kesulitan apa yang dia alami, tekanan seperti apa, dan rintangan apa yang dia hadapi. Semua orang tidak tahu dan tidak pernah mau tahu. Yah, begitulah kehidupan. Brian kini sampai di sebuah komplek perumahan tempat kejadian pembunuhan dua hari lalu terjadi. Di depan sebuah rumah bergaya minimalis yang sudah dikelilingi garis polisi. Tidak ada orang yang berjaga. Brian mengenakan sarung tangan yang dia bawa, lantas masuk ke dalam rumah tersebut. Bau anyir yang berasal dari darah korban seketika menyeruak begitu Brian membuka pintu rumah tersebut. Baru tiga langkah masuk, pendengaran Brian menangkap langkah kaki di dalam rumah. Apa ada orang lain di sini? Perlahan, Brian kembali melangkah. Meminimalisir suara, takut-takut benar ada orang lain. Jika ya, bisa dipastikan dia adalah pelaku yang akan menghancurkan bukti yang dia sadari tertinggal. Dia pernah menghadapi hal serupa tiga bulan lalu. Brian memasang mata dan telinga siaga, bersembunyi di balik tembok ketika suara benda yang jatuh terdengar disusul oleh langkah seseorang yang semakin jelas. Saat Brian berhitung dalam hati, menyusun rencana untuk menyergapnya, ponsel yang dia genggam tiba-tiba berbunyi, membuatnya berjengit kaget. Ketika itu pula orang yang ada di rumah itu menyadari kehadiran Brian. Tanpa pikir panjang, Brian berlari saat orang itu lewat di hadapannya. Tunggu. Orang itu nampak tak asing. Brian mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya tadi, seraya masih fokus mengejar orang yang diduga saksi yang pernah Brian temui dua hari lalu. Meski dia mengenakan jaket dan topi yang menutupi wajahnya, Brian yakin dia adalah orang yang dia temui. "Komplek perumahan tempat pembunuhan Asyila Dania. Wisnu, saksi yang kita temui dua hari lalu, dia di sana. Saya sedang mengejarnya sekarang." Usai mengatakan itu, Brian segera memutus sambungan. Wisnu berlari begitu cepat. Tapi Brian tidak pantang menyerah. Sampai di sebuah jalan buntu, Brian mengambil sebongkah kayu di antara tumpukan sampah. Melayangkan kayu tersebut hingga mengenai punggung Wisnu dan pemuda itu tersungkur. Segera Brian menyergap Wisnu. Tapi dia bukan lawan yang mudah. Meski tubuhnya lebih kecil dari Brian, tetapi tenaga pemuda itu tidak main-main. Bahkan wajah Brian sempat terkena bogeman mentahnya. Untung Brian pernah belajar bela diri. Hal itu membantunya ketika menghadapi b******n-b******n sepertinya. Brian balik memukul Wisnu yang kini berada di bawah tubuhnya, telentang sambil menahan Brian. "Kenapa kamu ada di TKP?" Brian membalikkan tubuh Wisnu menjadi telungkup. Menahan kedua lengannya di punggung. Sedang tubuh laki-laki itu terbaring lemah di atas aspal setelah dua tinjuan kuat Brian dihadiahkan di wajahnya. "Sial!" umpat Brian, kehabisan napas. Dia menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mengisi oksigen ke dalam paru-parunya yang menjerit kesakitan. Setelah deru napasnya berangsur normal, Brian kembali bicara, "kamu mau menghancurkan bukti yang tertinggal, kan? Rendi yang memerintahkan kamu?" Wisnu masih bungkam. Dia sama lelahnya dengan Brian. Yang dia lakukan sejak tadi hanya berusaha menghirup oksigen, mengisi paru-parunya. Mungkin sambil berusaha mengurangi pening dan nyeri yang ditimbulkan tinjuan Brian juga. Beberapa saat kemudian polisi datang. Brian menyerahkan lelaki itu pada mereka. Meminta untuk kembali menyelidiki lebih lanjut perihal bukti yang berusaha dihilangkan. Brian membersihkan bajunya yang berdebu akibat berusaha melumpuhkan Rendi tadi. Menghela napas, Brian pamit untuk pergi sebentar sebelum menyusul menuntaskan kasusnya. Hari yang benar-benar melelahkan. *** Kira memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Sesekali bersenandung kecil. Perempuan itu memang selalu nampak ceria. Semua guru tahu itu. Sejak pertama dia datang, senyuman manis tidak pernah absen menghiasi wajah ayunya. Terkadang mereka bertanya-tanya, apa Kira tidak pernah memiliki masalah atau kesulitan dalam hidupnya? Tapi itu mustahil. "Kir, aku ngidam es krim. Beliin es krim, dong, di Indoapril depan!" Tanti memamerkan cengiran lebar pada Kira. Kira mendengkus. Tapi tawa kecilnya kemudian terdengar. "Itu ngidam apa hobi, Kak? Perasaan tiap hari ngidam es krim," balas Kira jenaka. Memang semenjak kehamilannya, hampir setiap hari Tanti bilang ingin es krim. Ya tidak apa-apa jika dia mau es krim dalam keadaan siang yang terik. Ini? Kadang-kadang dia minta es krim ketika matahari saja baru beranjak naik. Kira takut saja Tanti sakit perut. Mana seringnya mau es krim duren. Dia tidak mual apa dengan baunya? Malah Kira yang hampir muntah-muntah setiap Tanti makan es krim durian. Eneg. "Kamu belum ngerasain aja hamil muda gini, Kir. Kalau udah ngerasain pasti paham, deh." Kira memutar bola mata malas. "Nikah dulu, deh. Hamil mah belakangan, Kak." "Ya udah, nikah sana!" Tanti tergelak saat Kira menatapnya kesal. Mereka berdua beranjak dari kursi. Kebetulan kelas sudah selesai dan anak-anak sudah dipulangkan lima belas menit lalu sehingga sekolah sudah lumayan sepi, hanya ada beberapa guru dan penjaga sekolah yang masih tinggal. Di luar, matahari tertutupi awan kelabu. Angin bertiup lumayan kencang menimbulkan udara dingin yang menusuk. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. "Dijemput Mas Virzha?" tanya Kira sambil berjalan bersisian dengan Tanti yang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Tanti memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu menoleh pada Kira. "Kayaknya. Dia lagi di perjalanan." Kira ber-oh-ria. Lalu langkahnya terhenti saat di depan sana, di sebuah ayunan, seorang anak duduk termenung sendiri. Kira dan Tanti saling melempar pandang untuk kemudian menghampiri gadis kecil tersebut. "Kalila?" panggil Kira. Sang anak akhirnya mendongak, menatap Kira dengan tatapan polosnya. "Kenapa belum pulang?" tanyanya. Anak itu menggeleng kecil. "Nunggu Papa. Katanya mau jemput Lila, tapi belum juga datang." Kira menyisir pandang ke sekitar, mencari sosok Brian. Mungkin saja dia sudah sampai. Tapi nihil. Kira memutuskan menghubungi nomor pria tersebut. Namun tidak tersambung. Awan semakin kelabu, dan mereka tidak bisa meninggalkan Kalila begitu saja. Akhirnya mereka mengajak Kalila untuk ikut sebentar ke minimarket depan. Lagi pula jika Brian datang pasti akan terlihat dari sana. "Kalila mau?" Kira menatap Kalila yang sejak tadi memperhatikan Tanti dan Kira memilih beberapa es krim. Ah, anak ini sangat pendiam. Padahal biasanya di kelas dia paling aktif dan banyak bicara. Kalila terlihat menimang sebentar. Kemudian ragu-ragu dia bilang, "Papa suka marah kalau Lila makan es krim. Tapi Lila suka es krim," ucapnya berbisik, seolah takut bahwa Brian datang dan mendengar ucapannya. Mendengar itu, Kira tersenyum tipis. "Mungkin karena Lila makan es krimnya kebanyakan?" tanya Kira, berjongkok untuk mensejajarkan tubuh mereka. Kalila menggeleng kecil, menatap Kira dan tiga box besar es krim di depannya bergantian. "Sebenarnya Kira suka sakit gigi, makanya kata Papa gak boleh makan es krim atau permen," katanya dengan polos. "Ah, begitu." Kira lantas menatap Tanti, meminta saran apa yang harus dia lakukan sekarang. Haruskah dia membelikan es krim untuk Kalila atau jangan. Ketika Tanti mengangguk, barulah Kira kembali bicara. "Beli satu aja, ya? Jangan bilang-bilang Papa dan langsung sikat gigi kalau udah sampai rumah biar giginya nggak sakit." Kalila tersenyum lebar, menular pada Kira dan Tanti. Anak kecil memang menggemaskan. Kira menyukainya. "Terima kasih, Bu Guru Kira." Kalila mengambil es krimnya dengan semangat. "Ibu cantik dan baik. Kalila mau punya mama kayak Bu Guru nanti." Kira termenung selama beberapa detik. Kalila mau punya mama kayak Bu Guru nanti. Sebuah kalimat sederhana yang membuat Kira berpikir keras. Apakah yang dia pikirkan benar-benar kenyataannya? Brian ayah tunggal yang ditinggal sang istri? Kira menoleh pada Tanti. Mengatakan banyak tanya lewat matanya. Sedang Tanti hanya menggeleng tak tahu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN