BAB 18

2079 Kata
Kira memperhatikan Kalila yang tengah terlelap. Menatap banyak cinta yang dicurahkan Brian untuk anak tersebut. Anak yang bukan buah hatinya dengan seseorang, melainkan anak kakaknya. Hati Kira menghangat. Brian benar-benar sosok yang bertanggung jawab dan penyayang. Seandainya dia tidak mengalami semua kejadian buruk itu, mungkin sekarang dia sudah menjadi suami dan ayah dari orang lain. Jahat, Kira merasa sedikit bersyukur karena Brian melalui itu semua sehingga dia memiliki kesempatan sekarang. Meski sulit untuk membawa lelaki itu keluar dari sana. Setidaknya tidak sesulit jika tahu Brian milik yang lain. Kira pamit pulang ketika Bik Hana datang. Menitipkan Kalila dan memberi pesan agar segera menghubunginya jika saja Kalila sadar. Lantas dia benar-benar keluar. "Maaf," gumam Kira ketika dia tidak sengaja menabrak seorang pria berkacamata tebal yang berjalan berlawanan dengannya di lorong. Pria itu hanya mengangguk kecil, lantas pergi begitu saja sambil menunduk. Membuat Kira memperhatikan punggungnya hingga benar-benar menjauh. Pria aneh. *** "Kamu pernah mencintai seseorang?" Brian menatap Kira, perempuan yang beberapa saat lalu bergegas ke rumah sakit begitu mendengar Kalila sadar—seolah Kalila adalah orang penting di dalam hidupnya—seperti Brian. Keduanya berdiri di depan ruangan Kalila, seraya mengintip ruangan tersebut dari balik kaca. "Pernah. Ayah. Cinta pertamaku." Brian menghela napas. "Kamu tahu maksud aku, Kir," ucap Brian. Nampak tidak puas, nyaris kesal, dengan jawaban yang dilontarkan perempuan di sisinya. Lalu Kira terkekeh sebentar untuk selanjutnya menatap lurus ke dalam ruangan, memperhatikan Renata yang memeriksa keadaan Kalila. Tadi mereka sempat masuk, tetapi belum sempat berbincang karena ternyata jamnya untuk pemeriksaan. "Sejak hari di mana aku buta dan lumpuh, nggak pernah sekali pun aku berekspektasi tinggi terhadap suatu hal. Termasuk soal perasaan, cinta, dan hubungan," ungkap Kira dengan senyuman tipis yang bermakna ganda. "Saat itu aku terlalu takut dengan keadaan." "Sebelum kecelakaan itu, juga nggak pernah?" tanya Brian. "Nggak." Kira menggeleng singkat. "Dulu aku banyak teman, baik perempuan mau pun laki-laki. Tapi hanya sebatas itu. Sebatas suka main-main. Nggak pernah nyerempet soal hubungan lebih dari teman." Brian memperhatikan bagaimana Kira tersenyum saat melihat Kalila nampak lebih segar dari sebelumnya. Dia bahkan terlihat berbincang dengan Renata. Kira... di matanya, dia bukan hanya cantik. Lebih dari itu, ketulusan, dan cara dia bangkit dari keterpurukannya, membuat dia memiliki pesona tersendiri. Pesona yang menarik Brian ingin lebih dekat padanya. "Tapi, sejak beberapa hari terakhir, pikiranku mulai berubah," ujar Kira setelah hening selama kurang dari sepuluh sekon. Lantas dia tertawa pelan. "Lucu ya, di umur segini aku baru mulai jatuh cinta. Dan baru tahu bahwasanya, mencintai itu nggak semudah yang dikira." "...terlebih, saat orang yang dicinta itu terjebak di antara masa lalunya," lanjut Kira. Setengah berbisik, tetapi masih mampu Brian dengar. Sayangya, Brian tidak bisa menjawab kalimat Kira karena pintu terbuka dari dalam. Entah suatu kemalangan untuknya, atau malah pertolongan. Sebab dia sendiri bingung hendak merespons seperti apa. "Kalila sudah lebih baik sekarang. Kalian boleh masuk." Brian mengangguk pelan sebagai jawaban atas ucapan Renata. Mencoba bersikap seolah mereka benar-benar asing. Setidaknya, itu cara Brian bertahan.[] "Papa!" pekik Kalila semangat, meski masih terdengar sedikit lemah. Senyuman lebar Brian terulas dari bibir ranumnya. Dia berjalan cepat menghampiri ranjang Kalila. Tak lupa meletakkan boneka kuda poni di sisi gadis kecil itu. Boneka yang selalu menjadi teman tidurnya. "Gimana perasaan kamu, hm?" Brian mengusap rambut Kalila yang lepek dengan lembut. Namun alih-alih menjawab, Kalila malah menatap ke arah belakangnya lantas memekik lagi, "Mama Kira!" Kali ini lebih keras. "Kalila," balas Kira dengan senyuman lebar. Membuat bukan hanya Kalila yang tersenyum, tetapi Bik Hana yang memperhatikannya juga sama. "Ups. Maaf," Kalila melirik Brian yang masih menatapnya. Senyuman di bibir anak itu seketika lenyap. Dan itu membuat Brian merasa bersalah. "Nggak apa-apa. Kalila boleh panggil Bu Kira 'Mama'." Brian sadar, tiga pasang mata di ruangan itu kini menatapnya dengan sorot yang sama. Tapi Brian sama sekali mencoba untuk tidak peduli. Dia hanya menunjukkan senyuman kecilnya. *** Kira tengah membacakan dongeng Rapunzel dan Menara Emas saat sudut netranya menyadari Brian tengah memperhatikan dia di sisinya. Jujur, Kira terlalu malu untuk menoleh padanya. Apalagi setelah apa yang dia katakan di luar ruangan tadi dan juga soal panggilannya dengan Kalila. Semua jadi terasa canggung. Belum lagi Bik Hana yang sudah pulang. Menyisakan dua orang dewasa seperti mereka saja di sana. "Rapunzel menangis sambil menyanyi. Air matanya menghidupkan Eugene. Mereka pergi ke istana dan memperkenalkan Rapunzel sebagai putri Raja dan Permaisuri. Akhirnya, Rapunzel dan Eugene menikah, lalu bahagia selama-lamanya. Yeah!" Kira mengakhiri dongengnya sambil bertepuk tangan, diikuti oleh Kalila, dan juga Brian dengan senyuman lebarnya. "Mama Kira sudah selesai baca dongeng. Sekarang, Kalila tidur." Brian menyugar poni Kalila dengan jarinya. Dia menatap Kalila lembut. Jelas terlihat sangat menyayanginya. Tanpa sadar, itu membuat kedua sudut bibir Kira terangkat dengan desiran halus di sekitaran jantungnya. "Ciuman sebelum tidur?" Kalila menatap dengan puppy eyes yang lucu. Brian menggeleng pelan. "Untuk saat ini Kalila nggak bisa dapet ciuman karena Kalila masih sakit. Nanti kalau Kalila sembuh... baru, ya?" Kalila sempat merengut sejenak, tapi kemudian bertanya, "Penyakit Kalila menular, ya?" katanya. Brian hanya tersenyum kecil. Kira menarik selimut anak itu hingga ke d**a, mengusap kening Kalila lembut. "Mama Kira mau temenin Kalila tidur semalaman?" Kira dan Brian seketika melempar pandang karena pertanyaan yang terlontar begitu saja dari bibir Kalila. Atmosfer mendadak terasa panas. Tapi pada akhirnya, Kira mencoba mencairkan keadaan. Tersenyum. "Iya. Tapi Kalila janji harus cepat sembuh." *** Jovan baru saja rehat setelah pengunjung kedai lumayan berkurang. Dan pesan masuk dari Kira membuat acara rehatnya terganggu. Belum lagi dengan permintaan aneh gadis itu. Menginap? Yang benar saja! Bagaimana bisa Jovan meminta izin kepada Dirga mewakili Kira? Dia tahu betul bagaimana Dirga amat protective terhadap Kira. Nggak. Jovan membalas pesan dari Kira secepat kilat. Sesekali melirik Dirga yang tengah berdiri di balik meja kasir. Wajah tenangnya akan sangat menakutkan jika mengetahui Kira mulai aneh-aneh. Kemarin saja hilang beberapa jam sudah sampai seperti itu. Sekarang? Apa Kira sudah tidak ingin hidup atau bagaimana? Jovan tak mengerti. "Van, Kira belum pulang?" Jantung Jovan hampir saja meloncat dari tempatnya saat Dirga bertanya secara tiba-tiba. Padahal lelaki itu tidak melihat ke arahnya, tetapi Jovan merasa amat terintimidasi. Takut untuk menjawab. "Van?" Saat Dirga mendongak, Jovan hanya meringis dengan jantung yang berdetak cepat. Mampus. Gimana bilangnya, ya? "Itu, anu, Om. Katanya... Kira mau nginep." "Nginep? Di mana?" Oke, reaksinya masih santai. Jovan memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu mencoba menjawab dengan tenang. "Di rumah sakit," kata Jovan. Dirga menghampirinya. Jantung Jovan benar-benar sudah mau loncat saja rasanya. "Oh, keadaan anak itu pasti kurang baik." Alhamdulillah. Jovan menghela napas lega kali ini. Ternyata Dirga tidak marah seperti dugaannya. "...tapi, bukannya ada ayahnya? Dia ke mana?" Mampus. Jovan tidak jadi tenang. Kira bilang dia bersama dengan jaksa itu. Kalau Dirga tahu Kira dengan lelaki tersebut, apa reaksinya? Apakah masih bisa sesantai ini? Apa Jovan harus jujur atau... "Van?" "Anu, dia... ada." "Sama Kira?" "Ya." "Berdua?" "I-ya." Jovan menenggak salivanya sendiri. Saat Dirga mengangkat wajah dan melotot padanya, Jovan segera meralat, "maksudnya bertiga. Iya, bertiga sama Kalila!" ucapnya buru-buru. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, Jovan. "SURUH KIRA PULANG SEKARANG JUGA!" *** Kira memejamkan matanya saat membaca pesan dari Jovan. Dia sudah terlanjur berjanji pada Kalila untuk menginap. Tapi membaca pesan itu membuat nyalinya ciut. Ayahnya marah. Marah besar. Bagaimana Kira akan menghadapinya? Di kala ia termenung di depan kaca westafel sambil menangkup ponsel di d**a dengan jantung berdebar keras, benda pipih itu tiba-tiba berdering. Kira sampai hampir melempar benda itu saking terkejut. Jovan. Kira menghela napas dalam-dalam. Mencoba bersikap tenang meski keyakinannya bahkan kurang dari tiga puluh persen. Tidak ada yang akan tenang jika berhadapan dengan kemarahan ayahnya. Tidak ada! Bik Rani yang cerewet dan galak pada Jovan saja kalah jika Dirga sudah marah. "Ha-lo?" Kira mengangkat panggilan tersebut akhirnya. Meski hatinya sudah menciut, mungkin hanya sebesar biji jagung. Refleks Kira menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya saat teriakkan itu terdengar. Ayolah, Kira lupa tidak berhati-hati. Sudah tahu ayahnya jago ngegas. "Kamu nginep sama laki-laki? Pulang sekarang juga. Pulang!" "Ayah, bukan begitu...." "Pulang atau Ayah sendiri yang jemput kamu ke sana, hm?" "Ayah." Kira memanggil penuh penekanan, tetapi juga putus asa. "Kira udah terlanjur janji sama Kalila. Kira nggak bisa batalin gitu aja. Cuma malam ini, ya? Malam ini aja. Kira janji bakal jaga diri. Nggak macem-macem. Lagipula, Brian itu jaksa, taat aturan." "Memang jaksa bukan manusia? Dia juga laki-laki normal." "Ayah, nggak bakalan. Kalau Brian macam-macam, Ayah tahu apa yang harus Ayah lakuin. Ya, kan?" Kira terus mencoba meyakinkan. Tadinya sudah berniat untuk menyerah saja. Tapi membayangkan tatapan lugu Kalila, Kira tidak bisa. "Baiklah," balas Dirga di ujung sana setelah helaan napas berat yang kentara. "Kalau ada apa-apa, jangan salahkan Ayah semisal jaksa itu hanya tinggal nama. Paham?" "Iya, Ayah!" pekik Kira senang. "Makasih, Ayah! I luv you." Kira memutus sambungan, lantas menghela napas lega. Dia tersenyum menatap wajahnya sendiri di depan cermin. Sampai suara bilik pintu terbuka membuat perhatian Kira teralihkan. Masalahnya, orang yang keluar dari bilik itu... Renata. "Dokter Renata?" gumam Kira terkejut. Tapi sedetik kemudian berusaha menetralkan lagi raut wajahnya. Mungkin Renata tidak mendengar percakapan dengan ayahnya tadi. Mungkin. Sayangnya, tidak begitu. "Kalian bukan suami istri, kan?" Kira memejamkan mata. Meringis pelan. Bingung harus menjelaskan bagaimana. "Kami...." "Nggak apa-apa. Saya tahu pasti Brian yang minta." Kira mendelik. Memperhatikan Renata yang kini berdiri di sisinya, menyalakan air di keran dan fokus mencuci tangan. "Brian orang yang logis. Saya tahu, ada alasan di balik kebohongan yang dia buat dengan kamu," ucapnya seraya mematikan keran air lalu menatap Kira dengan senyuman tipis. "Entahlah. Saya merasa lega mendengar bahwa kalian bukan suami-istri. Artinya, dugaan dia berselingkuh ketika kami masih bersama—terpatahkan." Kira terdiam kelu. Menyaksikan Renata melenggang pergi dari hadapannya. Entah mengapa, sebagian dari dirinya terluka mendengar penuturan Renata. Padahal tidak ada yang salah dengan ucapan wanita itu. *** Kira memperhatikan Kalila yang tengah memeluk boneka kuda poni berwarna pink yang tadi dibawa Brian. Katanya, Kalila punya banyak boneka serupa, warna-warni. Bukan hanya bentuk bonekanya, mulai dari selimut, tirai, sprei, hingga lemari semua berkarakter kuda poni. Kira jadi teringat dirinya ketika seumuran Kalila. Bedanya, dulu Kira menyukai Doraemon. Sampai saat ini bahkan, beberapa barangnya pasti berbau Doraemon. Contohnya bantal dan soft case ponsel. Kira membantu mengusap-usap kening Kalila, membantu anak itu terlelap semakin dalam. Setelah yakin bahwa Kalila sudah nyenyak, Kira beralih duduk di sofa--ruangan tersebut memang menyediakan dua buah sofa panjang di sudut ruangan, beserta satu meja pendek--sambil meregangkan ototnya yang kaku. Sementara, Brian sedang keluar sebentar. Katanya membeli makan malam. "Sudah tidur?" Kira menoleh dan mendapati Brian masuk dengan sebuah kresek besar di tangannya. Sepertinya makanan yang dia beli. "Aku cuma dapet ini di depan," kata Brian. Menata makanan yang dia bawa di atas meja. Ayam bakar dan soto sapi. Plus dua botol air mineral kemasan. Keduanya lantas makan, sambil sesekali berbincang ringan. Semakin hari, semakin mereka sering bertemu dan berbicara, mereka semakin merasa dekat satu sama lain. Kira adalah pembicara yang asyik, dan Brian adalah pendengar yang baik. Keduanya merasa, mereka cocok saat bersama. *** Kira terbangun esok harinya saat sinar mentari menyelinap lewat celah tirai kamar. Saat itu dia menyadari bahwa Brian memakaikannya sebuah selimut, yang meski tipis, tetapi begitu lembut dan lumayan hangat. Mengenai pria itu, dia masih terlelap ternyata, dengan sebuah laptop di pangkuannya. Kira melipat selimutnya. Lantas berjalan menghampiri Brian yang tidur di sofa lainnya. Tatapan Kira berubah nanar menyaksikan tanda-tanda lelah di wajah lelaki tersebut. Wajah tampannya begitu polos dan membuat hati Kira terenyuh ketika terlelap begitu. "Kamu kelihatan lelah. Kerjaan kamu pasti berat, ya? Belum lagi harus urus Kalila," lirih Kira seraya menyingkirkan poni dari wajah Brian dengan jemari lentiknya. Kira merasa prihatin menyaksikan Brian semalaman menatap laptop, sesekali menghubungi seseorang lalu menghela napas keras. Dia terlihat sangat stress. "Jangan sakit. Jangan terlalu lelah," bisiknya. Menatap Brian sangat lekat. Mata Brian terbuka perlahan-lahan, sangat pelan, lalu tatapan mereka bertemu. Dan mata Kira mendadak lupa bagaimana cara berkedip. Dia hanya tahu, bahwa dirinya terpesona dengan tatapan mata pria di hadapannya. "Selamat pagi," gumam Brian serak, lantas terduduk. Saat itulah Kira mengerjap dan segera mundur seraya menyelipkan helaian rambutnya ke belakang telinga dengan gugup. "Hai, pa-pagi." Kira tersenyum kikuk. Pipinya memanas. Dia yakin itu sangat merah. Argh. Pagi yang teramat canggung. *** "Kamu nginep sama Brian? Bapaknya Kalila? Jaksa yang ganteng itu?" Kira tidak pernah merasa semalu ini sebelumnya. Dan Tanti membuatnya makin malu dengan memekik begitu keras seperti itu. Rasanya Kira ingin menggali lubang dan mengubur diri saja segera. Tiba-tiba saja Kira merasa menyesal bercerita pada Tanti. "Kak, please." Kira menatap perempuan itu dengan wajah antara memelas dan sebal. "Sori," Tanti menggumam pelan. Meringis menatap beberapa guru yang saat ini menatap mereka dengan tatapan berbeda-beda. "Lagian, sih... TAPI BENERAN, KAN?" Serius demi apa pun, untung Tanti temannya. Kira berdo'a saja semoga mulut toanya tidak menurun pada anaknya kelak. Semoga. "Aku nginep cuma buat jagain Kalila. Nggak ada apa-apa, tuh, sama Brian." Kira sedikit melenguh membayangkan dirinya yang terciduk memperhatikan wajah Brian dari jarak dekat tadi pagi. Sungguh, rasanya Kira masih malu sampai sekarang ketika membayangkan kejadian itu. "Tapi kamu ngarep ada apa-apa, kan?" Tanti mengerling. Dan itu sukses membuat Kira ingin pura-pura amnesia saja lalu tidak mengenali wanita itu. "Jangan ngaco. Ke kelas, ayo!" decak Kira sebal. Hingga perbincangan keduanya yang unfaedah saat itu harus terhenti karena seorang lelaki tinggi kurus dan berkacamata berdiri di ambang pintu. Menatap Kira dan Tanti. "Saya walinya Roby." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN