Manusia kadang bisa lebih mengerikan daripada monster.
***
Malam itu, Brian bekerja sampai larut. Meneliti tentang banyak hal yang berhubungan dengan kasus-kasus yang sedang dia tangani. Beberapa hal Brian temukan. Dan itu sukses membuat matanya yang lelah seketika enggan tertutup karena otak yang semakin berpikir keras.
Jam dua kurang sepuluh menit, Brian menyadari Kira baru terlelap di sofa sebelah. Wajah tenangnya mengalihkan perhatian Brian dari pekerjaan. Brian turun dari sofa, menghampiri perempuan itu dan menatapnya lama. Entah lima menit, sepuluh menit, atau lebih dari itu? Brian tidak tahu. Dia terlalu larut dalam dunianya saat menatap perempuan itu. Seolah terjebak dalam labirin rumit, tak mampu keluar, tak bisa berkutik.
Desisan kecil keluar dari mulut Kira beserta tangannya yang mengusap lengannya sendiri. Saat itu Brian mengerti bahwa dia kedinginan. Wajar saja, jelang pagi suhu udara semakin menurun.
Brian hendak membuka jasnya dan menyelimuti tubuh Kira dengan kain tersebut. Dia berpikir bahwa itu sama sekali tidak akan menghangatkan tubuhnya. Maka dia memutuskan untuk keluar ruangan, mencari selimut entah di mana itu. Sampai akhirnya dia menemukan perawat yang jaga malam dan meminta sehelai selimut darinya.
Ketika Brian menyelimuti Kira dengan sangat hati-hati, dia sadar... perasaannya sudah tertarik terlalu jauh pada perempuan itu. Embusan napas hangatnya bahkan mampu menciptakan desiran aneh yang sudah sejak lama tidak Brian rasakan. Desiran yang lembut, hangat, dan menyenangkan.
Kira. Kira. Kira. Brian suka menyebut nama itu. Lebih suka lagi saat melihat wajahnya. Tapi tentu yang paling dia suka adalah senyuman saat Kira bersamanya.
Saat itu Brian menerka-nerka banyak hal. Tentang Kira, tentangnya, dan tentang perasaan mereka.
Lalu pagi harinya, Brian hampir lepas kendali saat deru napas hangat Kira tepat berada di hadapannya yang terlelap. Berbicara lirih dan mengena di hati. Perempuan itu tulus, Brian mampu merasakannya. Tapi, ketakutan lebih mendominasi. Takut akan kecewa atau mengecewakan. Takut gagal, atau menghadapi kehancuran. Brian takut. Makanya, Brian berusaha menarik mundur dirinya. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Berpura-pura tidak mendengar Kira dalam tidurnya.
"Intinya, penculik ini bukan bermaksud memeras keluarga para korban, melainkan sengaja mengambil organ tubuh anak-anak itu lantas membunuh mereka?"
Brian mengalihkan atensinya dari lamunannya seraya menatap layar ponsel yang menunjukkan foto Kira di i********:. Lantas menatap Venita yang bergidik ngeri di mejanya saat mereka membicarakan perihal kasus penculikan yang berujung pada penjualan organ tubuh yang tengah ditayangkan di televisi. Brian mengangguk kecil melihat wajah berseragam polisi yang amat dikenalnya terpampang di layar tersebut.
"Begitulah. Demi uang, kadang orang nggak peduli dengan kehidupan orang lainnya. Padahal anak-anak malang tanpa orangtua seperti mereka seharusnya disantuni, bukan dijadikan tumbal seperti itu," balas Brian. Menutup ponselnya dan dia letakkan di dalam laci. Melihat kasus mengerikan ini, membuat Brian teringat Kalila.
"Kalau ini tentang jual beli organ tubuh manusia, otomatis ada rumah sakit atau dokter yang berperan dalam kasus ini, dong?" tanya Venita sambil mengetuk pulpennya di atas meja. Menatap Brian dan Fadi bergantian.
Fadi yang entah sedang mengerjakan apa di balik komputernya membalas, "Yup. Katanya jahitan d**a dan perut korban sangat rapi, jelas itu dilakukan oleh profesional."
Venita bergidik ngeri. Bahkan Brian pun yang nampak tak menunjukkan emosi, sebenarnya sama bergidik dengan kasus ini. Manusia kadang bisa lebih mengerikan daripada monster. Dan itu memang nyata.
***
"Kayaknya flu Kalila nular ke Roby. Secara mereka kan deket gitu," komentar Tanti sesaat setelah Juan, ayahnya Roby, pergi.
Barusan papa muda itu berbicara perihal kondisi anaknya yang demam tinggi dan katanya terkena penyakit yang sama dengan Kalila.
"Iya. Flu Singapura. Butuh waktu lebih dari sepuluh hari buat pulih." Kira berjalan sambil sesekali tersenyum, menyapa orangtua yang menunggu anak-anak mereka di luar kelas.
"Kelas pasti sepi. Nggak ada dua orang anak yang aktif itu. Biasanya gemas, kan, ada mereka?"
Kira terkekeh. Benar, dua anak itu seolah menjadi happy virus saat di kelas. Ya, meski akhir-akhir ini Kalila lebih sering sendirian. Tapi benar, interaksi antara Kalila dan Roby adalah hiburan tersendiri bagi mereka.
Keduanya menggemaskan.
***
Di keluarga lain, saat anak bertemu orangtua, momen akan terasa hangat dan menyenangkan. Namun beda halnya dengan keluarga Brian. Ketika ada acara makan bersama, Brian merasa tengah berada di negara dengan musim dingin lalu dipaksa berjalan keluar menerjang badai salju. Miris, getir.
"Kamu belum punya pacar, Bri?"
Pertanyaan sederhana yang memiliki jawaban rumit itu terlontar dari bibir wanita berpakaian glamour di hadapannya. Lina, ibunya, siapa lagi? Dari bentuk hidung dan bibir sangat mirip dengan Brian.
Perempuan itu masih terlihat segar dan muda, padahal usianya sudah kepala lima. Wajar saja, dia selalu menjaga pola makan dan pola istirahat. Belum lagi dengan perawatan rutin yang selalu dia lakukan. Bergelimang harta sejak masih kecil menjadikan wanita itu nampak elegan tetapi sedikit angkuh di saat yang sama.
"Tumben Ibu tanya hal pribadi seperti itu?" respons Brian.
Setahunya, ibunya tak begitu peduli dengan kehidupan Brian. Bahkan ketika Ibran memukulinya sewaktu kecil pun, dia sama sekali tidak menghentikannya. Kejam? Tidak. Hanya saja, ibunya terlalu takut dengan lelaki yang dia sebut suaminya itu. Setidaknya, itulah yang berusaha Brian pikirkan. Kendati, tak sekali pun dia merasa ibunya benar-benar memperhatikannya.
"Karena usia kamu sudah matang. Selama ini Ibu sudah biarkan kamu main-main. Tapi sekarang, nggak lagi, Bri. Sudah saatnya kamu menikah."
Brian menghela napas dalam. Melirik Ibran yang duduk di kursi kepala keluarga. Mereka sekongkol?
"Aku nggak mau membicarakan masalah itu sekarang."
"Brian," panggil Ibran dengan penekanan. Membuat Brian memicing menatap pria itu.
"Kalila sakit. Ayah dan Ibu nggak mau nanya perihal cucu kalian itu?" tanyanya sesaat kemudian, disertai emosi yang tersirat di dalamnya.
"Sakit? Sudah dibawa ke rumah sakit?" tanya Lina. Tapi jelas, Brian tak mendengar nada khawatir sama sekali dari kalimat itu.
"Ya. Baru pulang tadi pagi."
"Baguslah. Artinya masalah beres."
Brian mendengkus kesal. Melirik dua orang itu bergantian lantas memekik, "Ayah. Ibu!" katanya. Lantas menghela napas panjang saat tatapan tanya mereka dilayangkan padanya. "Ck. Aku selesai," lanjut Brian saat merasa tidak akan menemukan titik akhir dari pembicaraan ini selain hanya menggiringnya pada kemarahan.
"Kita belum selesai, Bri. Kamu yang sopan!" tukas ibunya saat Brian bangkit dari kursi.
Brian tak mendengarkan apa-apa lagi. Pun tak peduli dengan tatapan para pelayan yang berjejer di sekitar mereka.
Brian sudah muak. Dia muak datang ke bangunan megah yang ukurannya lima kali lipat dari rumahnya yang dibeli empat tahun lalu. Dia muak berhadapan dengan dua orang egois yang tidak pernah bertanya bagaimana perasaannya, bagaimana harinya. Mereka hanya peduli pada diri mereka sendiri. Brian benci.
***