BAB 17

1084 Kata
Aku nggak bisa lagi mundur. Sebab kamu lebih dulu memberi jalan. -Kirananda Thalia- *** "Kejadiannya beberapa tahun lalu." Senyuman Kira merekah. Sedang pandangannya lurus dengan sedikit kelam yang Brian tatap. "Gadis itu sangat nakal. Dia sering membantah perintah ayahnya, ceroboh, dan selalu telat bangun pagi. Cita-citanya bisa pergi keliling dunia. Yah, anaknya memang anti-mainstream." Kira tertawa ringan, membuat Brian tersenyum. Bukan karena mengerti dengan apa yang Kira tertawakan, tetapi terpesona dengan betapa cantiknya perempuan itu saat tertawa begitu. "Dia nggak begitu pintar dalam mata pelajaran, tapi sangat pandai bergaul. Sehingga dia pikir mungkin hidupnya akan mudah. Terlebih, dia selalu merasa baik terhadap siapa pun. Tapi siapa sangka," Kira menjeda ucapannya cukup lama, "...semua meleset dari dugaannya." "Kenapa?" Brian tanya. "Ketika dia terjatuh, orang-orang ninggalin dia." Kira tersenyum lebar, menoleh pada Brian. "Dia kecelakaan. Buta dan lumpuh," ucapnya. Brian terdiam. Ditatapnya lekat-lekat wajah Kira yang menampakkan senyum sedang kedua matanya nampak sendu. Meski dia berusaha menyembunyikannya, Brian tahu ada sesuatu di sana. Di balik senyum dan tatapan sendunya. Tapi Brian tidak tahu apa itu. Kira menghela napas, kembali memfokuskan pandangannya lurus ke depan. "Teman-temannya datang sesaat. Menjenguk. Tapi setelahnya mereka hilang. Seolah, gadis ceria itu nggak pernah ada di kehidupan mereka. Yang mereka kenal hanya dia, gadis malang yang buta dan lumpuh." "Lalu gadis itu menghabiskan waktunya dengan sendirian? Bersama kegelapan, tanpa ada yang menuntun?" tanya Brian. "Ada. Ayahnya." Kira mengusap wajah. Brian baru sadar bahwa ada setetes air mata yang jatuh di pipinya yang barusan dia seka. "Ayahnya... dia bagaikan lentera di tengah kegelapan hidup gadis itu. Setiap malam, meski gadis itu tidak bisa melihat wajah ayahnya, dia tahu ada tangis yang menyesakkan dari bibir lelaki renta tersebut. Ada keringat yang dia cucurkan setiap pagi hingga jelang malam untuk membuat gadisnya pulih." Brian tersenyum tipis. "Gadis itu beruntung," komentarnya. Angannya berkelana pada sosok pria yang dia panggil ayah, tapi tidak seperti ayah baginya. "Bisa dikatakan begitu," gumam Kira. "Karena pengorbanan besar ayahnya, dunia gadis tersebut kembali terang. Dia bisa melihat cahaya lagi, bisa melihat senyuman banyak orang lagi." Beberapa perawat nampak hilir mudik. Beberapa di antara mereka yang bergender sama dengan Kira sempat menoleh dua kali. Menatap Brian. Tapi dunia mereka kini seolah hanya milik berdua. Hanya berpusat pada pembicaraan dan emosi mereka yang tercipta. "Tiga tahun. Waktu yang singkat tetapi cukup panjang bagi gadis itu. Kini dia lebih menghargai kehidupan. Lebih menghargai waktu. Meskipun begitu, dia tetap takut akan kegelapan. Dia takut... untuk kembali ke masa-masa suram itu." Kira menoleh padanya ketika Brian mengangkat tangan dan merangkul bahunya. Lantas menepuk-nepuk bahu sempit itu, berharap mampu memberikan ketenangan. Sedang sebelah tangannya yang bebas bergerak, menyentuh pipi Kira dan menghapus air matanya dengan lembut. Brian tahu, itu sulit. Meski Kira mencoba menyembunyikan air mata tersebut, menahannya tidaklah mudah. "Kamu... hebat," ungkap Brian setengah ragu. "Aku?" Kira memicingkan matanya, menatap Brian. Brian tertawa kecil. Menepuk puncak kepala Kira. "Iya. Gadis itu. Kamu. Kamu hebat," katanya. Kali ini tersenyum amat lebar. Brian tidak pernah tahu bahwa perempuan mungil di depannya bisa sangat tangguh. Menahan banyak luka tetapi masih bisa seceria yang dia lihat. "Aku nggak bilang itu aku?" Kira mengernyit. "Mata kamu yang bilang." Lalu Kira tersenyum tipis. Tatapan sendunya berubah nampak lega. "Kamu nggak mau nanya kenapa aku cerita ini ke kamu?" tanya Kira. Brian memiringkan sedikit wajahnya sambil menyipit. "Karena mau hibur aku, kan?" jawabnya. "Bukan cuma itu," balas Kira sambil menatap kuku-kukunya di pangkuan. Lalu kembali mengalihkan atensi pada Brian, menatap wajahnya dan menipiskan senyum. "Karena aku rasa aku bisa cerita ke kamu," katanya. Brian bergeming. Sorot mata Kira, senyumnya, dan suaranya yang mengalun merdu di telinga Brian... membuat jantungnya berdebar. Debaran yang sempat Brian rasakan. Debaran halus. Tidak menyakitkan, tapi memberikan efek yang menyenangkan. "Aku ngerasa nyaman bicara sama kamu. Dan aku rasa, kamu orang yang tepat untuk berbagi." Kira menepuk tangan Brian sehingga lelaki itu berkedip, tersadar dari lamunannya. *** Sudah hampir satu jam mereka duduk menghabiskan watu berdua. Saling berbagi cerita yang lebih ringan. Seolah, mereka memang sedekat itu. Seolah, mereka melupakan batasan apa pun yang selama ini menghalangi mereka. Keduanya merasa bebas, nyaman. Sampai tak sadar sepasang mata memperhatikan dengan sendu, sedang sepasang mata lain di sudut lain menatap dengan sorot dingin. "Aku harus ke kantor." Brian menunjukkan pesan dari Fadi yang mengatakan bahwa Brian benar-benar harus secepatnya pergi. Lelaki itu celingukan. Mencari seseorang. "Nggak apa-apa, aku bakal jagain Kalila sampai Bik Hana ke sini. Kalau kamu masih ada urusan di kantor, pergi saja," ucap Kira seolah sadar apa yang dirisaukan pria itu. Brian akhirnya menghentikan pencariannya dan memusatkan tatapan pada Kalila yang menatap lembut. Demi apa pun, Brian merasa jantungnya bermasalah. "Nggak ngerepotin kamu?" tanya Brian kemudian. "Nggak sama sekali," balas Kira tersenyum. "Tapi nanti aku bakal nagih bayaran." Lalu keduanya tergelak karena candaan Kira. "Ya udah. Aku titip Kalila, ya?" Brian berdiri dari duduknya. Melongok ke dalam kamar Kalila sebentar. "Aku bakal hubungin Bik Hana biar cepet-cepet ke sini." "Iya. Hati-hati." Kira mengangguk. Ikut berdiri di sisi Brian. "Sekali lagi aku minta maaf dan terima kasih udah repotin kamu." Brian berjalan mundur. Melambaikan tangan dengan senyuman lebar ke arah Kira. Setelah agak jauh, barulah dia berbalik pergi dan berlari kecil seolah sedang berlomba dengan waktu. Dan Kira berdiri di sana. Menatap punggung lebar Brian yang kian jauh. Sudut bibirnya terangkat lebar. Terima kasih. Aku nggak bisa lagi mundur. Sebab kamu lebih dulu memberi jalan. *** Brian menatap kerumunan pendemo di depan gedung kejaksaan yang sebagian besar didominasi oleh anak-anak remaja dan dewasa muda dengan sebuah poster besar yang bertuliskan tuntutan untuk menghukum Rendi dengan setimpal. Dia mendesah pelan ketika menemukan ayahnya berdiri di depan sana, melihatnya. Ah, dia tidak tahu bahwa masalah akan serumit ini. Susah payah, dibantu oleh penjaga keamanan, Brian melewati para pendemo itu dan masuk ke dalam kantor. Tak lupa, dia menoleh sebentar untuk melihat apa yang mereka inginkan dari kejaksaan. Lalu senyuman tipisnya nampak ketika dia melihat kakek-kakek yang beberapa hari lalu dia berikan payung, terlihat berdiri di paling sudut dengan tatapan nanar. "Kamu masih belum menemukan bukti lain untuk kasus pembunuhan Asyila?" sambut ayahnya, membuat Brian hanya berdiri kaku di depan meja kebesaran pria paruh baya tersebut. Ibran berdiri. Menyugar rambutnya yang sudah memutih sebagian dengan kasar, lantas berbalik menatap Brian bersama sorot marahnya. Sorot yang ketika kecil amat Brian takuti. Sekarang pun terkadang masih sama, tetapi tidak setakut dulu. "Kerja kamu apa saja? Kamu nggak lihat masa mendemo kejaksaan dan menuntut kita menghukum terdakwa seberat-beratnya?" Ibran menggebrak meja keras-keras. "Saya masih mencari bukti yang kuat untuk maju ke persidangan berikutnya. Juga, saya disibukkan dengan banyak kasus besar yang Anda limpahkan. Itu membuat saya keteteran," jawab Brian mencoba tenang. "Brian Mahesa!" teriak Ibran. "Ayah tidak mau tahu, segera selesaikan kasus ini. Jika dalam seminggu belum selesai, kamu tidak akan Ayah ampuni!" Brian mengangguk patuh. "Baik, Pak Kepala," balasnya. Lantas berlalu dengan bahu tegap. Meski, sebagian dirinya lelah sekaligus marah. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN