“Kamu-aku. Brian-Kira.Sebuah perubahan sederhana yang menghadirkan efek tak terkira.”
-Authornim yang cantik-
***
"This is the window, this is the door, this is the black board, this is the floor. Ini jendela, ini pintu, ini board hitam, dan ini lantai."
Kira bernyanyi di depan kelas dengan ciri khas anak-anak sambil menunjuk sesuai dengan intruksi lagu. Anak-anak di kelas ikut bernyanyi riang. Beberapa anak benar-benar bernyanyi dengan suara lantang, sebagiannya bernyanyi malu-malu, dan sisanya memilih lipsync bahkan ada yang hanya berputar-putar becanda dengan teman di sisinya tanpa ikut bernyanyi.
Kira tertawa begitu Roby, salah satu anak yang bernyanyi paling keras sambil meloncat-loncat aktif terjatuh mengenai Kalila. Sepenglihatan Kira, anak itu hanya pura-pura tergelincir. Ah, dia memang usil kadang-kadang. Kalila sampai merengut memelotot padanya.
"Ayo, semuanya ikut nyanyi, ya! Yang nggak ikut nyanyi gantinya harus nyanyi di depan gantiin Bu Kira dan Bu Tanti. Paham?" Kira mengatupkan kedua tangannya di bawah dagu, seraya menatap anak-anak dengan binar ceria.
"PAHAM!" serentak anak-anak menjawab.
"Yup. Mulai lagi, ya. Satu... dua... tiga!"
Anak-anak kembali bernyanyi. Kini lebih ramai dari sebelumnya. Mungkin suara mereka bisa terdengar sampai ke ruang guru yang terhalang oleh tiga ruangan dari sana.
Usai bernyanyi tiga kali putaran, Kira dan Tanti saling melempar pandang memberi kode.
"Ada yang mau pulang?" Tanti bicara lantang.
Anak-anak dengan segera menjawab mau keras-keras. Di antara mereka malah ada yang segera merapikan alat tulis di meja. Padahal belum ada intruksi apa pun. Tanti hanya baru bertanya.
"Kita adakan permainan dulu, ya. Sesuai lagu." Tanti tersenyum lebar. "Tadi ada bahasa inggrisnya apa saja di dalam lagu?"
"Jendela, pintu, papan tulis, lantai!" Anak-anak menjawab tidak jelas. Ada yang berurutan, ada yang asal bunyi, ada yang hanya cuap-cuap.
"Oke. Kalau ibu tanya bahasa inggrisnya pintu, kalian jawab?"
"Door!" Roby dan Kalila menjawab paling cepat, kemudian disusul yang lain mengikuti.
"Kalau ibu tanya apa artinya floor?" Kira bertanya dengan ekspresinya yang lucu. Tanpa dia ketahui, seseorang yang mengintip di luar jendela tersenyum melihatnya.
"LANTAI!"
Kira tertawa mendengar Roby yang menghabiskan seluruh tenaganya saat menjawab. Antusias sekali anak itu.
"Baik, kita mulai. Yang bisa jawab, angkat tangan, ya. Jangan langsung jawab kalau belum Ibu tunjuk. Mengerti?" Tanti berjalan ke jajaran anak-anak sambil melanjutkan ucapannya. Kemudian berhenti di belakang kelas. "Yang jawab bisa langsung pulang!"
Kira tersenyum. Ancang-ancang memulai permainan.
"Bahasa inggrisnya papan tulis hitam?" Kira berucap lantang, lantas mengedarkan pandang kepada anak-anak, pun dengan Tanti di belakang.
Dua orang anak mengangkat tangan lebih dahulu. Kemudian yang lain juga berebutan mengangkat tangan.
"Arga?" Kira menunjuk seorang anak yang mengacungkan tangan tinggi-tinggi, bahkan hingga naik ke atas bangku saking ingin kelihatan.
"Back board, Bu Guru!" jawabnya.
"Back?" Kira terkekeh mendengar jawaban Arga. Kemudian anak itu kebingungan sendiri.
"B-black?" Anak itu memastikan bahwa kali ini jawabannya benar.
Kira tersenyum kecil, lalu menjentikkan jarinya. "Betul! Yeah, Arga boleh pulang!" Kira bertepuk tangan manis.
Kemudian permainan dimulai lagi. Sudah tiga orang anak yang pulang lebih dahulu. Kira mendelik pada Roby yang tidak mengacungkan tangan sejak tadi, padahal Kira tahu dia bisa menjawab.
"Roby, apa bahasa inggrisnya lantai?" tanya Kira.
"Cuma Roby, Bu?" Roby menoleh ke arah Kalila. "Ini Roby angkat tangannya barengan sama Kalila, lho." Dia mengedikkan dagu ke arah tangannya yang masih terangkat sambil menggenggam tangan Kalila yang ogah-ogahan.
"Roby ngeselin, ya, dari tadi!" Kalila mendengkus menatap Roby. Roby-nya malah cengengesan.
"Biar keluar kelasnya bisa barengan. Lila gimana, sih?"
Kira tertawa pelan melihat perdebatan dua anak tersebut. Wajah Roby yang tanpa dosa dan wajah Kalila yang jutek menjadi pemandangan yang amat menggemaskan. Pada akhirnya mereka menjawab berdua dan keluar kelas bersama.
Kelas telah usai sepuluh menit lalu. Langit sudah mendung dengan petir yang sesekali menyambar-nyambar. Kira merapikan barang-barangnya di meja, lantas keluar dari kantor yang sudah sepi.
Dia menengadah begitu dedaunan jatuh di hadapannya saat dia lewat di depan pohon kersen. Pohon itu tidak begitu tinggi, tetapi daunnya lumayan lebat. Terletak tidak begitu jauh dari gerbang. Beberapa saat setelah dia lewat, hujan tiba-tiba turun dengan begitu lebatnya.
Kira berlari kecil, lalu memutuskan berteduh di depan sebuah toko alat tulis yang letaknya persis di sisi sekolah di depan jalan raya. Kira mendesis pelan. Dia hanya memakai terusan berbahan tipis sekarang. Sementara angin bertiup kencang, membuat bulu tubuhnya meremang dingin. Belum lagi tubuhnya yang basah kuyup karena kehujanan sesaat tadi.
Menggerutu pelan, Kira mengeluarkan ponselnya di dalam tas. Hendak menghubungi Jovan agar menjemputnya. Namun niatnya tersebut urung begitu suara klakson seolah menjerit memanggilnya.
"Ayo masuk!"
Kira menahan napas. Dia Brian, bersama Kalila yang kelihatannya sedang lelap.
Sempat ragu sejenak sampai akhirnya Kira memutuskan untuk tidak menuruti egonya. Toh, rumahnya tidak begitu jauh dari sana. Dan juga mereka satu arah.
"Hujannya tiba-tiba deras," gumam Kira sesaat setelah dia menutup pintu mobil dan duduk di kursi belakang sambil mengusap bagian atas bajunya yang basah.
Di depan, Brian terlihat membuka jasnya. Tanpa disangka lelaki itu mengulurkan jas tersebut pada Kira.
"Bajunya basah, transparan," ucap Brian menjawab pertanyaan Kira yang tak tersuarakan. Oh, ayolah. Demi apa, Brian bahkan tidak memalingkan wajah agar tidak menatapnya dalam keadaan seperti itu. Benar-benar pria yang sopan.
Kira menerima jas Brian. Dia sadar bahwa dia memang membutuhkannya. Oke, ini sedikit memalukan. Tapi akan lebih memalukan jika Kira tidak memakai jas tersebut dan membiarkan baju dalamannya terlihat oleh banyak orang nanti.
"Terima kasih." Kira membalas canggung. Lantas memakai jas pria tersebut. Beberapa sekon kemudian, sudut bibirnya terangkat. Ini hangat.
Mobil pun melaju, diiringi lagu-lagu Barat yang diputar dengan volume sedang oleh Brian.
"Uhm, Anda langsung pulang ke rumah?" tanya Brian, memecah keheningan yang tercipta selama dua menit terakhir.
"Ke kedai saja," balas Kira. Dia pikir kedai ayahnya jauh lebih dekat.
"O ya, bicara lebih santai saja. Kita tidak di sekolah sekarang." Kira kembali bersuara ragu-ragu. Dia pikir memang cara bicara mereka terlalu canggung selama ini. Bukannya apa, Kira rasa umur mereka tidak begitu jauh, tetapi mengapa harus bicara sesopan dan sekaku itu? Meski yah, hubungan mereka hanya sebatas guru dan wali murid, tetapi sungguh, ini bahkan sedang di luar sekolah!
"Ah, iya. Kita canggung sekali, ya?" balas Brian dengan kekehan ringan yang mengalun merdu memenuhi indera pendengaran Kira. "Kalau gitu, panggil Brian saja. Saya panggil Kira, gak apa-apa?"
"Eh?" Kira sedikit terkejut mendengar respon Brian yang lebih santai dari perkiraannya. Atmosfer yang sejak tadi terasa beku, perlahan mencair karena tatapan Brian yang saat ini terasa lebih hidup ketika Kira mengintipnya di balik kaca depan. "Boleh. Saya---"
"Bukannya 'saya' terlalu kaku juga?" Brian menoleh sedikit. Dia tersenyum, dan senyumannya menular pada Kira.
"Yah, oke. Aku-kamu," cetus Kira dengan hati yang entah mengapa merasa hangat di tengah dinginnya cuaca siang ini.
Kamu-aku. Brian-Kira.
Kira merapalkan kata-kata itu di dalam hati sampai akhirnya mobil terhenti dan Kira terpaksa menyudahi sejenak kebahagiaannya.
"Makasih tumpangannya... Brian," ucap Kira, sedikit ragu ketika mengucap nama Brian tanpa embel-embel Pak untuk pertama kalinya. "Jasnya?" Kira mengedikkan dagu pada jas yang dia pakai sekarang.
"Gak apa-apa. Pakai saja dulu." Brian membalas dengan senyuman yang membuat jantung Kira memompa darahnya sepuluh kali lebih cepat. "Oh, nanti malam aku ada janji sama Kalila makan di sini."
Kira tersenyum senang mendengarnya. "Baiklah. Aku tunggu kedatangan kalian," balasnya sambil membuka pintu.
Namun tak cukup sampai di situ. Brian menghentikan Kira sebelum dia keluar. Lantas Brian mengeluarkan sebuah payung hitam. Dia keluar dari mobil, membuka pintu belakang.
"Ayo, bisa sakit kalau kebasahan lagi." Brian menatap Kira, meminta agar perempuan itu lekas berdiri mengikutinya.
Dan, di bawah payung hitam itu mereka berjalan berdua. Dengan lengan yang bersentuhan menghadirkan getaran aneh di antara hati keduanya. Bahkan ketika mereka berpisah di depan kedai, getaran itu masih berlanjut. Mengundang letupan-letupan kecil di sudut hati mereka.
Kira tersenyum menyaksikan kepergian Brian. Memandangnya dengan binar harap tak berkesudahan, hingga Brian dan mobilnya lenyap tak terlihat.
Dan, hujan menjadi saksi bisu tentang betapa hati Kira yang selama ini hampa, mulai terisi oleh satu pria bernama, Brian Mahesa.
***