BAB 20

1082 Kata
"Bik, Kalila sudah minum obat?" tanya Brian di sore hari yang mendung. Dia pulang di jam normal hari ini. Sebenarnya ingin pulang sejak tadi, memastikan keadaan Kalila, tetapi pekerjaan yang menumpuk membuat niatnya tersebut urung. Bagaimana pun, tekanan dari berbagai kasus membuatnya harus bekerja ekstra keras. "Belum," balas Bik Hana. "Katanya...." "PAPA!" Keduanya menoleh karena teriakkan Kalila. Lantas menemukan anak itu berdiri di depan tangga, dan mereka menghampirinya. "Kamu udah baikan? Kenapa jalan-jalan, hm?" tanya Brian sesaat setelah sampai di hadapan gadis kecilnya. "Lila mau nunggu Mama Kira!" pekiknya antusias. Meskipun demikian, wajah pucat masih tersisa di wajah mungilnya. "Mama Kira?" Brian mengernyit bingung. Menatap Bik Hana kemudian ke Kalila lagi. "Iya, Mama Kira. Dia mau ke sini. Makan malam terus jagain Kalila sampai tidur." Brian nampak berpikir sejenak. Kapan mereka merencanakan ini. Tapi seolah sadar kebingungan ayahnya, Kalila dengan segera menjelaskan. "Lila tahu nomor telepon Mama Kira. Hehe. Lila minta dia ke sini." Penjelasan Kalila membuatnya tidak enak, tetapi saat menatap cengiran Kalila yang begitu polos, Brian tak bisa memarahinya. Dia hanya bisa menghela napas panjang lantas mengusap puncak kepala anak itu. "Kalila, lain kali nggak boleh kayak gitu. Kasihan, Mama Kira direpotin," pesannya dengan lembut. "Nggak, kok. Mama Kira bilang nggak repot. Malah katanya seneng bisa deket Kalila terus. Mama Kira, kan, sayang sama Kalila?"      "Tapi, Kalila...." "Mama Kiraaa!" Ucapan Brian terhenti karena gadis itu memekik dan lantas berlari kecil menghampiri sesosok perempuan yang baru saja datang. Kira, dengan kemeja putih dan rok salem yang membalut tubuh mungilnya. Brian tersenyum begitu netranya bertemu dengan manik mata kelam Kira. Dia tampak manis. Penampilannya sama sekali tidak menunjukkan sikapnya yang terkadang ceroboh. "Halo, Kalila! Sudah sembuh?" tanya Kira pada Kalila yang berdiri di depannya dengan kedua binar di mata bulatnya. "Belum. Badan Kalila masih panas, masih pusing juga. Tapi nggak selemas kemarin," Kalila menjawab disisipi nada riang di suaranya. Senyuman Kira nampak melebar. "Anak Mama Kira hebat, ya? Sini peluk!" Kira merentangkan kedua tangannya dan Kalila tanpa disuruh dua kali langsung berhambur ke dekapan perempuan itu. Melihatnya, membuat hati Brian menghangat. Kalila dan Kira terlihat saling menyayangi. Mereka seperti seorang anak dan ibu sungguhan. Dan itu sedikit banyak membuat Brian merasa takut. Takut bahwa nantinya, Kalila meminta tanggung jawab lebih dari Kira. Takut bahwa nantinya, perasaan Brian tumbuh semakin liar untuk perempuan itu, sedangkan dirinya masih tidak bisa untuk menerima siapa pun. "Maaf, Kalila nyusahin kamu," kata Brian saat mereka mengantar Kalila kembali ke kamarnya. Kira menoleh dan tersenyum tipis. Dari dekat, wajah Kira terlihat lebih cantik. Wajah putihnya nampak mulus, nyaris tidak ada noda atau luka bekas jerawat. Bahkan, pori-porinya hampir tak terlihat. Dia bagaikan jelmaan boneka manekin yang dipajang di toko-toko. "Nggak sama sekali, Bri. Aku malah seneng," balasnya sambil menyuruh Kalila rebahan di ranjang. "Kalila tunggu di sini, Mama mau buat makan malam, ya?" katanya dengan nada lembut pada Kalila. Tanpa banyak berpikir, Kalila mengangguk mantap. Padahal akhir-akhir ini dia begitu sulit saat Brian ajak makan. Lantas Kira keluar dari kamar Kalila, disusul Brian yang mensejajarkan langkah di sisinya. "Tahu nggak, karena aku anak tunggal, aku seneng banget sama anak kecil. Dari dulu berharap punya adek, tapi kan nggak bisa?" kata Kira membuka suara. Hal itu membuat Brian menoleh kepadanya. "Kenapa?" tanya Brian. Bermaksud menanyakan kenapa Kira tidak bisa punya adik. "Ibu meninggal waktu aku kecil," balas perempuan tersebut, tanpa ada nada sedih atau pun kecewa. Dia nampak baik-baik saja, terlalu baik-baik saja untuk orang yang tengah menceritakan lukanya. Seperti beberapa waktu lalu ketika dia menceritakan penderitaannya selama tiga tahun. Dan hal itu justru membuat Brian bertanya-tanya, apakah dia benar tidak apa-apa, atau semuanya hanya topeng belaka? "Sejak saat itu, aku cuma tinggal sama Ayah. Dan Jovan, makanya aku anggap dia adik sendiri. Meski, nggak bisa dikatakan adik, sih. Toh, dia yang lebih sering jagain aku sejak kecil." Kira menoleh dan terkekeh kecil. Brian sangat menyukai senyuman Kira, tawanya, binar mata polosnya, dan suaranya. Dia terlihat cantik dan lugu, seperti mawar putih. Keduanya menuruni tangga. Refleks Brian menarik tangan Kira saat dia menemukan boneka kodok karet di anak tangga yang akan Kira injak. "Hati-hati," ucap Brian. Sama sekali tak menyadari wajah terkejut Kira. Bukan hanya terkejut, sepertinya pegangan tangan Brian di lengannya menimbulkan sensasi lain. Pipi perempuan itu memerah. "Maaf," gumam Kira pelan. Brian terkekeh ringan. Entah mengapa wajah cengo Kira selalu sukses menggelitiknya. "Lho? Kok ketawa?" Kira bertanya polos. Benar-benar polos, seperti gadis seumuran Kalila. "Nggak apa-apa," Brian berusaha mengulum tawanya, lantas berjongkok untuk mengambil boneka itu. "Kamu emang sering ceroboh begini, ya?" tanyanya lagi setelah kembali menegakkan tubuh. "Eh? Nggak, kok. Tadi cuma nggak lihat aja," Kira berusaha mengelak. Meski ekspresi wajahnya tidak mampu membohongi Brian. "Soal yang kopi waktu pertama kali kita ketemu?" tanya Brian, sontak membuatnya hampir tertawa geli karena ekspresi Kira. "Bri, mulai bisa, ya, godain orang!" Kira merengut kesal lantas melangkah mendahului Brian dengan rona merah yang tidak bisa disembunyikan. Brian benar-benar tidak percaya bahwasanya menggoda Kira bisa semenyenangkan ini. Dia benar-benar lucu, dan... cantik, tentunya. Brian memperhatikan Kira yang berdiri di sisi Bik Hana—memotong sayuran—di ambang pintu dapur, menyandarkan lengan kanannya di kusen pintu, sedang kedua tangannya bersedekap di d**a. Menatap Kira dari belakang dengan cara seperti ini mengingatkannya akan kenangan beberapa tahun silam, saat dia masih bersama Renata. Brian ingat, dulu dia selalu senang melihat perempuan itu memasak di apartemen kecilnya. Sesekali Brian akan datang mengganggu, sekadar memeluk perempuan tersebut dan menyomot makanan yang baru matang. Darinya, Brian belajar memasak. Darinya, Brian tahu makanan apa yang paling dia sukai: makanan buatan kekasihnya. Dan, itu sudah berlalu. Brian tersenyum kecut. Tidak ada gunanya mengingat masa lalu. Toh, semua sudah berakhir untuknya sejak dulu. Dia hanya tidak bisa mengenyahkan kepingan-kepingan kenangan mereka. Itu saja. "Bik, Kira sebenarnya nggak bisa masak," bisik Kira pada Bik Hana, membuat Brian tersenyum kecil. Dia berbisik tetapi suaranya masih lumayan keras. "Nanti ajarin Kira, ya? Ya?" Brian berdeham, sengaja. Seketika Kira menoleh dan mempoutkan bibirnya sebal. Kira benar-benar seperti anak kecil. Tapi aneh, jika di hadapan anak-anak, dia bisa terlihat berbeda. Jauh berbeda. Hal itu mungkin yang membuatnya unik, membuat Brian penasaran ingin mengenalnya lebih jauh. Pekikan Kira yang lumayan keras membuat Brian seketika menegakkan tubuh dan berlari cepat ke arah perempuan itu. "Kenapa?" tanyanya khawatir. "Jari. Keiris pisau," ringis Kira. Kedua matanya berkaca-kaca. Sebentar lagi pasti menangis jika saja Brian tidak segera meraih jemarinya dan membawa dia menuju westafel, mencuci luka itu. "Makasih," gumam Kira, menatap Brian lekat. Brian mengangkat wajahnya. Lalu pandangan mereka bertemu, menghadirkan debaran itu lagi. "Aku ambil betadine, ya. Tunggu di sini," kata Brian. Berusaha menyadarkan dirinya, dan debaran keras jantungnya. Diam-diam, di depan westafel, Kira tersenyum menatap kepergian Brian. Lantas menatap jarinya yang terluka dengan tatapan penuh cinta. "Neng jatuh cinta, ya, sama Den Brian?" Tatapan Kira lalu beralih pada Bik Hana yang tersenyum-senyum menatapnya dan menatap arah kepergian Brian. "Iya, Bik. Aku suka sama dia. Cinta." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN