“Mas, menyingkir dariku!”
Lelaki itu justru menyunggingkan bibirnya lalu menaruh tangannya di dinding dengan menatap tajam ke mantan istrinya itu.
Melati berusaha menyingkir darinya, tetapi tenaganya jauh lebih kuat lelaki itu.
“Mas, mau kamu itu apa sih? Aku ingin lewat.”
“Melati, sebenarnya aku masih mencintai kamu. Kenapa kamu justru pilih cerai denganku? Kalau saja kamu bertahan, aku akan adil antara kamu dengan Sonya,” ucapnya hingga membuat kedua bola mata Melati melotot.
Wanita yang menyanggul rambutnya itu pun menampar mantan suaminya yang seenak jidat mengatakan akan adil dengannya.
Saat dia masih menjadi istrinya saja sudah selingkuh darinya.
Di manakah letak keadilan antara istri sah dengan pelakornya?
Lawak emang itu, Kapten!
“Tidak sepatutnya kamu mengatakan hal itu padaku, Mas. Kamu mikir dan ngaca mana ada istri yang mau dimadu hanya demi kamu yang ingin banyak koleksi. Mikir sampai situ jangan mikirnya pakai nafsu doang,” elak Melati dengan menantang.
Lelaki itu pun memegang pipinya. Untuk pertama kali istri yang begitu lembut dan perhatian dengannya, kini berubah total seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.
“Melati, aku sampai seperti ini itu karena kamu tidak secantik dulu. Kamu itu nggak bisa dandan seperti Sonya. Coba kalau kamu dandan, ke salon, dan manjakan suamimu pastilah aku tak akan selingkuh darimu. Ini juga kesalahanmu yang memilih berkutat banyak di dapur terus-menerus saat kita masih bersama,” Arya berusaha membela dirinya sendiri.
Meskipun Melati berusaha dandan, pakai baju favoritnya setiap malam, sampai gonta-ganti parfum, juga lipstik tidak memungkinkan Arya menerimanya jika dia tak cukup satu wanita.
Memang iya selama menikah dengan Arya, Melati begitu sibuk di dapur demi memberikan makanan yang enak untuk suaminya sebab dia sendiri enggan meminta bantuan ART jika berhubungan dengan masak.
Melati sampai bela-bela belajar dengan koki temannya agar masakannya itu dipuji oleh Arya setelah sebelumnya pernah diejek ibu mertuanya. Dari situlah, Melati lebih sering mengeksekusi dapur. Jadi, saat menyambut suaminya bawaannya masih ada bau-bau dapur yang membuat Arya mungkin berpaling.
“Bisa kamu ya salahin aku gitu? Aku itu di dapur biar nggak dihina mamah masakannya. Biar aku jadi istri yang full seratus persen untuk suamiku kelak dan itu bukan kamu lagi! Sekarang, aku minta kamu minggir!” Melati berusaha menyingkirkan Arya yang sudah mulai longgar.
Melati semakin mempercepat langkahnya menuju ke meja kasir.
Dia melihat jika troli yang dialihkan oleh Wira sedang menuju perhitungan kasir.
“Melati, apa toiletnya penuh?” tanya Wira dengan penasaran sebab begitu lama menunggu Melati gara-gara dihadang oleh mantan suami yang tidak tahu diri.
Melati yang tengah panik itu pun menggeleng. “Nggak, Pak.”
“Lho, kok lama sekali? Kamu kenapa panik begitu, Melati?” tanyanya lagi.
“Sa—saya nggak apa-apa, Pak,” kilah Melati yang berusaha mengambil napas dalam-dalam agar tidak ketahuan oleh Wira, jika dirinya memang sedang merasakan panik berlebihan.
“Totalnya dua juta lima ratus, Pak,” ucap kasir
Wira yang tengah memegang black card itu pun langsung memberikannya ke kasir. Sedangkan Melati segera mengeluarkan uang cash ke kasir itu secara bersamaan.
Kasir itu pun sampai bingung. “Lho, ini siapa yang mau bayar?”
“Biar saya saja, Mbak,” ucap Wira.
“Mbak, pakai uang saya saja.”
Kasir itu sampai kebingungan hendak menerima uang mana.
“Melati, biar saya saja yang bayar. Uangnya kamu simpan dulu.”
Melati mengangguk. Baginya lebih cepat p********n lebih cepat pula dia pergi dari mall ini.
Dia begitu malas melihat mantan suaminya yang masih berkeliaran di sini.
Sementara Sonya, dia sibuk memilih barang-barang branded kesukaannya.
Dia sampai melihat tas keluaran terbaru yang belum mampu dibeli.
“Mas, kamu ke toilet apa ke monas? Lama amat sih?”
“Sonya, kamu kan tahu toilet di sini itu harus turun dulu. Kan tadi ada warning, toilet di atas sedang ada perbaikan. Kamu udah kan belanjanya sekarang kita pulang aja yuk.” Arya menarik tangan istrinya, tetapi segera ditepis.
“Mas, apaan sih. Aku masih lihat tas terbaru yang belum aku beli. Mas, aku mau dong kamu belikan ini yang warna merah. Bagus kan, Mas?” Sonya bergelendotan manja lalu berkedip, agar Arya terbujuk rayuan mautnya.
Namun, usaha dia ternyata gagal sampai Arya pun melepaskan tangan wanita itu begitu saja, bahkan sedikit kasar.
“Sonya, kamu kan sedang hamil dan kebutuhan kita itu sudah meningkat semenjak kehamilan kamu untuk cek up ke dokter. Kamu sedikit berhemat dulu kenapa sih? Tadi pagi kan kamu tahu sendiri aku habis dipulangkan sehari. Itu artinya gajiku sudah dipotong hari ini.”
Wanita itu mengerutkan dahinya. “Mas, kamu kenapa jadi begini? Kamu kan janji nikahi aku untuk memenuhi kebutuhanku. Kalau masalah kamu dipulangkan itu salah kamu karena lelet.”
Arya terkesiap mendengar jawaban Sonya yang membuatnya dongkol. “Lelet kamu kata? Aku telat itu gara-gara kamu yang melambat-lambatkan aku berangkat. Jadi, seperti aku sampai dipulangkan. Padahal hari ini ada nilai tambahan karyawan yang rajin. Jadi, aku gagal untuk mendapatkan best kapten bulan ini itu gara-gara kamu!”
“Mas, aku nggak mau ya disalahkan gini. Aku kan mengandung anak kamu juga yang ingin mendapatkan perhatian lebih,” elak Sonya.
“Ah, sudahlah. Kalau kamu nggak mau pulang biar aku saja yang pulang.” Arya segera turun ke bawah lalu mengambil barang belanjaan yang dititipkan ke resepsionis.
Dia pun segera menuju ke tempat parkir sendiri karena saking dongkolnya dengan istri barunya itu.
Saat dia baru saja membuka mobil kedua matanya melihat saat Melati memasuki memasuki mobil mewah.
“Itu Melati ‘kan? Di—dia sama siapa?” gumam Arya yang melihat mobil itu pergi dari tempat parkir itu.
Mobil yang Wira kendarai itu bukan sembarang mobil untuk bepergian. Jadi, mobil yang dia pakai saat itu sudah diganti dengan mobil biasa dia jemput anaknya sekolah.
“Mas, tunggu!” Sonya memegang lengan suaminya itu.
“Kamu mau pulang nggak?”
“Maulah. Kamu itu kenapa sih sampai ninggalin aku gini?”
“Buruan masuk kalau nggak mau ditinggal.”
Melati begitu ceria setelah keluar dari mall itu dengan Abil yang berhasil membuatnya tertawa lepas karena celotehannya.
Tangannya membuka tasnya kembali untuk mengambil sejumlah uang yang sudah dibayarkan terlebih dahulu barang belanjaannya oleh Wira.
“Pak, ini uang sebagai pengganti yang tadi.” Melati memberikan amplop itu.
Wira menggeleng. “Tidak usah, Melati. Anggap saja itu tadi sebagai tanda terima kasih saya yang sudah mengambil nasi goreng kamu.”
“Tapi Pak, saya itu ikhlas dengan nasi goreng itu. Kalau uang itu terlalu banyak bagi saya.”
“Saya juga ikhlas membelanjakan barang itu. Jadi, kita itu impas, Melati.”
“Tap—”
“Sudah Bu guru ayah Abil kan sudah ikhlas. Kan tadi Bu guru sendiri yang bilang kalau memberikan sesuatu ke orang lain itu harus ikhlas,” celetuk Abil yang membuat Melati malu di depan wali muridnya sendiri.
“Ya sudah, Pak. Terima kasih.”
“Saya juga berterima kasih.”
Siang itu Wira tidak langsung mengantar Melati pulang melainkan bermain ke rumahnya karen Abil ingin ditidurkan oleh gurunya sendiri.
Awalnya Melati menolak, tetapi dia juga kasihan sama Abil yang merengek hingga menangis yang justru membuat Wira juga tidak enak dengan Melati.
Setelah mereka turun dari mobil ada seorang gadis yang berlarian menuju ke Wira yang baru saja turun.
Dia langsung memeluk lelaki itu dengan rasa rindu yang mendalam. Wira yang begitu kaget melihat wanita sedikit blasteran itu dipeluk di depan wali kelas anaknya pun segera melepaskan, bahkan gadis itu hendak mencium di depan putranya yang jelas-jelas pemandangan tak lazim untuknya tanpa adanya ikatan hubungan yang sah.
Wira pun segera melepaskannya dengan paksa hingga membuat gadis itu hendak terjengkang.