08. Harusnya Aku Yang Di Sana

1235 Kata
“Ma—masakan? Maksud Pak Wira masakan apa ya?” Melati merasa janggal ketika presdir maskapai itu tiba-tiba memuji masakan yang dia belum sempat memberikan testernya. Lelaki itu menyimpulkan bibirnya. Tangannya membuka dashboard mobilnya untuk mengambil tote bag Melati yang tadi pagi tertinggal oleh Melati. Dia mengambil lalu diberikannya kepada wanita yang tengah menggendong anaknya di pangkuannya. Seketika Melati terbelalak melihat tote bag yang pagi itu lupa tertinggal di sana. “I—iya, Pak. I—ini tobe bag saya yang tadi pagi tertinggal di mobil Pak Wira ya?” “Tapi maaf, isinya sudah saya makan tadi pagi. Jujur saja tadi pagi saya memang tidak sempat sarapan dan setelah sampai di kantor perut saya lapar sekali. Sekali lagi saya minta maaf ya tidak sempat juga mengembalikan ke sekolah kamu.” Wira mengambil uang pecahan seratus ribuan di dalam saku yang sudah dia persiapkan sebelum ini. “Ini sebagai pengganti karena saya lancang makan masakan kamu, Melati.” Wira pun memberikan uang itu kepada Melati. Jelas Melati menggeleng. Jangankan nasi goreng yang diambil hatinya juga boleh. Eh! Melati wanita berharga, dia tidak akan menerima lebih mudah lelaki untuk menjadi pendampingnya kembali. Menikah dengan Arya—lelaki yang sangat dia cintai saja masih diselingkuhi. Bahkan, Melati sebelum menikah dengan Kapten Arya sudah melakukan riset panjang untuk diterima di dalam kehidupannya. Dasar lelaki memang tidak ada puasnya dengan satu wanita saja! Melati mendorong uang itu dari genggaman tangan Wira. “Eh, nggak usah, Pak. Nasi goreng yang sudah Pak Wira makan itu tidak perlu dibayar. Lagi pula tadi pagi saya juga sudah makan di sekolahan.” “Tapi, saya merasa lancang mengambil begitu saja sebelum mendapat persetujuan kamu, Melati,” elak Wira. “Nggak kok, Pak. Tadi pagi saja saya masak nasi goreng untuk Rania juga. Yang tadi pagi itu berarti rejekinya bapak mencicipi nasi goreng saya. Tapi maaf ya kalau rasanya kurang enak. Pagi tadi saya agak gugup karena mendapat piket harian,” ungkap Melati dengan jujur. Wira pun mengangguk paham. “Terima kasih ya. Nasi goreng kamu enak sekali. Saya ini hampir beberapa tahun ini tidak sarapan nasi semenjak kesehatan mamah menurun. Pagi ini saya disambut nasi goreng kamu dan rasanya berbeda dari nasi goreng yang pernah saya coba. Oh ya, kenapa kamu sampai bawa bekal segala? Kan di sana dapat makan ‘kan?” tanya Wira yang mengerutkan dahinya. Tangannya memutar stir mobil untuk menuju ke arah mall terdekat. Melati menghela napas. Tangannya masih sibuk mengelus dahi anak kecil itu yang tak terasa sudah terpejam kedua bola matanya. “Saya hanya antisipasi saja, Pak. Saya ini kan karyawan baru dua hari kerja. Takutnya belum mendapatkan hitungan dapat makan juga. Tapi, tadi pagi malah stoknya melimpah ruah,” ujarnya dengan polos. “Kamu berarti memiliki inisiatif yang tinggi ya. Saya punya karyawan yang pintar dalam bekerja jangankan inisiatif berangkat saja terkadang terlambat. Justru saya lebih menyukai orang yang datang tepat waktu, inisiatif meski belum mengerti dalam pekerjaan daripada yang sok mengerti, tetapi seenaknya sendiri,” ungkap Wira yang sedang membandingkan Kapten Arya dengan kinerja Melati. Duh, kalau Wira mengetahui Melati mantan istri dari Kapten Arya bagaimana ya? Beberapa menit kemudian, mobil Wira pun masuk ke basement mall city terdekat itu. Wira melirik anaknya yang masih tertidur pulas di dekapan Melati. “Ya ampun kebiasaan banget tuh anak kalau tidur. Abil, bangun yuk, Sayang.” Wira mengelus kakinya dengan lembut. Wira selalu gagal dalam membangunkan putranya. Maka dari itu, dia selalu menggunakan cara halus agar tidak memalukan amat di depan gurunya sendiri. Satu kali tidak ada respons dari Abil. Kini Wira mengelus pipinya yang semakin grogi, jika harus berada di samping Melati untuk membangunkan putranya yang tak kunjung bangun. “Abil?” “Pak, biar saya saja yang bangunkan.” Melati mengelus ubun-ubun anak kecil itu dengan lembut. Jika tak ada respons, dia meniupnya beberapa kali di ubun-ubun itu lalu tangannya turun mengelus punggung bawah dengan berbisik, “Abil … bangun yuk, Sayang. Katanya mau belanja sama Bu guru? Kalau Abil nggak bangun kita pulang lagi aja ya?” Seketika bola mata anak kecil itu mulai mengerjap lalu kedua tangannya mulai menguceknya. Mulutnya menguap panjang karena telah mendapatkan tempat tidur yang nyaman baginya. “Kita sudah sampai Bu guru?” tanyanya dengan matanya yang sayu. Wanita berambut panjang itu mengangguk dengan semringah. “Sudah dong. Abil jadi nggak anterin Bu guru beli bahan-bahan buat class meeting besok?” Bibir anak kecil itu mulai mengembang tipis. Kedua tangannya terangkat lalu tertawa histeris, “Asyik! … Abil mau belanja sama Bu guru.” “Pah, ayo kita turun. Abil sudah kangen belanja-belanja sama Papah juga sama Bu guru Abil,” ucapnya dengan lantang. Lelaki itu pun tersenyum renyah melihat sang putra bangun tidur langsung semringah. Sebuah hal yang jarang sekali Wira dapatkan dari suasana itu. Dia pun sempat takjub dengan cara Melati untuk membangunkan anaknya seketika menjadi jinak. Mereka turun dari mobil lalu segera menuju ke tempat pengambilan troli. “Bu guru, Abil mau yang besar aja biar bisa naik ke atasnya,” pintanya dengan polos. “Abil, kamu kan udah gede udah sekolah. Masa naik troli terus sih?” Wira merasa tak enak dengan Melati. “Nggak apa-apa, Pak. Biar Abil senang saya juga ikut senang,” sahut Melati. Anak kecil itu memanyunkan bibirnya lalu menangkupkan tangan di atas perutnya. “Tahu nih, Papah. Abil itu nggak suka banyak larangan. Sekarang Abil mau sama Bu guru terus.” Wira sampai geleng-geleng kepala dengan putranya itu. Dia mengangkat anak kecil itu ke atas troli besar itu. Wira juga yang mendorong troli itu agar memperingan pekerjaan Melati untuk memilih beberapa bahan yang tertera di daftar belanjaannya. Abil begitu bahagia, bahkan anak itu sekalian berbelanja makanan ringan termasuk cokelat untuknya. “Melati, kamu nggak sekalian mau belanja bulanan gitu? Mumpung kita sekalian belanja?” tawar Wira. “Kebetulan kebutuhan saya sih masih banyak stoknya. Paling hanya beli makanan ringan itu pun tidak banyak buat camilan.” Melati mencetang satu per satu daftar belanjaan yang sudah diambil. Wira pun hanya mengangguk. Kini di tempat terakhir dia harus membeli dunia perkertasan seperti kertas krep, origami dan lain sebagainya untuk hiasan tambahan. Saat Melati sibuk memilih tiba-tiba sudut matanya melirik ada mantan suaminya yang sedang berbelanja dengan istri barunya. Mas Arya? Dia sedang belanja juga dengan Sonya? batin Melati yang ikut bergidik. Melati melirik ke troli mantan suaminya itu banyak sekali kebutuhan bayi dan lainnya. Hati Melati rasanya begitu rapuh melihat lelaki yang dia sangat cintai belanja untuk keperluan melahirkan dengan perempuan lain. Harusnya Melati yang ada di sana. Namun, dengan segera Melati memalingkan wajah untuk tidak mengingatnya. “Melati, kamu kenapa?” tanya Wira saat Melati melamun. Wanita itu pun menggeleng. “Ng—nggak, Pak. Saya mau lanjut memilih lagi.” Setelah selesai memilih kebutuhan sekolahnya, kini mereka pun berbelanja kebutuhan lainnya yang belum komplit. Setelah komplit semua kini mereka langsung menuju kasir pembayaran yang saat itu begitu padat pengunjungnya. “Pak, saya mau ke toilet sebentar aja. Boleh nitip belanjaan saya dulu?” pinta Melati yang sedang menahan sesuatu. “Oh, silakan.” Melati pun segera ngacir menuju ke toilet wanita untuk membuang hajatnya. Setelah usai dari itu dia kembali melangkah, tetapi saat dia hendak berbelok alias di tengah pertigaan yang menghubungkan toilet pria dan wanita seketika bertemu dengan mantan suaminya yang menghalangi jalannya. “M—mas Arya?” gumam Melati yang begitu panik saat Arya mulai mendekat. Dengan segera Melati berjalan mundur hingga terantuk dinding pembatas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN