CINTA KEDUA 15
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Terkadang sesuatu yang terlihat bagus oleh mata sendiri belum tentu bagus di mata orang lain. Bisa saja apa yang kita anggap baik ternyata tidak baik. Namun, hal itu tertutup rasa ketidakenakan untuk menolak meski tahu akan memberikan kesakitan. Semuanya dilakukan hanya sebagai bentuk penghormatan dan sopan santun kepada pemberi. Akan tetapi, si pemberi akan selalu dihantui rasa bersalah jika mengetahuinya.
Ya, wanita yang baru saja membuat sang menantu memakai sepatu pilihannya hanya bisa terkurung sesal. Ada rasa bersalah karena tidak bertanya apakah menyukainya atau tidak. Akan tetapi, semua itu sudah terlambat.
“Ibu jadi merasa bersalah sama Nesha, Fan. Harusnya Ibu lebih memahami apa yang dia suka dan tidak. Ibu pikir semua wanita seperti Wening yang menyukai sepatu beginian. Tapi, Nesha ... malah jadi kesakitan,” ujarnya dengan hati yang diliputi gelisah.
Arfan sekali lagi mengusap punggung tangan yang mulai banyak keriput sebab faktor usia. “Ibu tidak perlu merasa bersalah. Dia baik-baik saja. Ya, memang terlihat semakin cantik. Tapi, buat apa jika hanya membuat sakit. Untung aja tadi aku bawa sepatunya Nesha. Jadi, lumayan bisa tertolong,” jawabnya, lalu bangkit menuju kamar karena sepertinya pembahasan tentang hati telah selesai.
Sang Ibu yang melihat anaknya berdiri langsung bertanya, “Kamu mau ke mana, Fan?”
“Ke kamar, lah, Bu. Aku ingin tahu keadaan Nesha. Apa udah lebih baik atau lagi nangis,” jawabnya yang kembali menatap wanita pemilik surga dengan sorot mata kerisauan. Ia takut kalau wanita yang tanpa sengaja melengkapi ketidaksempurnaan dirinya tengah menangis sendirian.
“Oh, ya, udah. Ibu doakan semoga kalian berjodoh hingga maut memisahkan. Ibu juga berharap kalian berdua bisa menghadapi semua masalah kehidupan tanpa harus saling melepaskan dan meninggalkan,” ucapnya serupa doa.
“Amiin, Bu ... aku ke kamar dulu.” Arfan akhirnya berlalu menuju kamar meninggalkan sang ibu. Pikirannya hanya tertuju bagaimana keadaan Nesha sekarang. Ia tidak ingin lagi menjadi pria yang membiarkannya sendirian bersama air mata. Cukup sudah dulu ia menumpahkan hujan ketika keadaan semakin rumit dan bertambah sulit untuk bertahan hidup.
“Sampaikan permintaan maaf Ibu,” ucapnya setengah berteriak karena melihat punggung itu perlahan menjauh.
Sementara Arfan berbalik sejenak memberikan senyuman sebagai jawaban permintaan sang ibu. Ketika pintu kamar terbuka, ia dapat melihat Nesha dengan pakaian yang sudah berganti biasa. Meskipun begitu wajahnya tidak bisa berbohong masih menyiratkan segenggam luka. Bahkan, bibir itu masih terbaca menahan sisa perih di kedua kakinya.
Pria yang tidak pernah lelah memahami seorang Nesha mengambil duduk di sebelahnya. Ia menatap wajah yang dulu sering ditatap melalui gambar dengan senyum entah. Walaupun memang benar dulu saling mengukir lara dengan ujung belati, tetapi keduanya tetap bersimpati hingga perasaan itu terus terpahat dalam hati. Bahkan, keduanya terang-terangan mengaminkan bisa bersama suatu saat nanti. Kekecewaan pada biduk rumah tangga masing-masing akhirnya menuntun Tuhan menjawab doa-doa yang tidak pernah lelah melangit hingga menembus belas kasih-Nya.
“Sayang ....” Arfan memanggil dengan suara yang sengaja lirih.
“Dalem, Mas ...,” sahut Nesha tanpa menoleh ke arah sang pria.
“Sedalem apa? Sumur? Atau lautan?” tanyanya lagi yang sengaja menyelipkan canda agar wanita di sebelahnya tertawa.
Nesha kali ini menoleh dan memberi tatapan tajam untuk pria yang selalu bercanda saat membahas hal penting. “Enggak lucu tahu, Mas! Lagi enggak karuan juga,” protesnya seakan masih belum bisa melupakan omongan orang-orang. Dalam diam, ia kini menyadari alasan sang mertua untuk tidak keluar rumah. Namun, entah kenapa masih ada rasa bersalah yang mengendap kuat di dasar jiwa. Mungkin selamanya perasaan itu akan selalu menjadi pengingat sampai akhir hayat. Meskipun Arfan tidak pernah menyalahkan kehadirannya yang kurang tepat.
“Ya, siapa juga yang lagi ngelawak, Sha ... aku memang lagi tanya sedalam apa perasaanmu untukku. Malah dikira ngelawak. Lagian aku ini bukan badut yang harus membuatmu tertawa dengan bayaran,” jawab Arfan dengan wajah serius; tanpa tawa, tanpa gurau canda.
Wanita penyuka aksara itu mencari keseriusan pada wajah pria di sebelahnya. Ia memang menemukan keseriusan pada mata beningnya. Akan tetapi, tidak seharusnya mempertanyakan kembali kedalaman perasaan yang jelas sudah tahu.
“Kenapa masih bertanya tentang pertanyaan yang udah tahu jawabannya? Apa dari dulu hingga sekarang kamu enggak pernah bisa merasakannya?” Nesha sengaja membalikkan kata-kata yang dulu pernah terucap dari sang pria, yakni untuk apa menjawab pertanyaan yang sudah tahu jawabannya.
Seketika Arfan mengacak rambut yang tidak tertutup hijab penuh kasih. “Dasar! Sekarang udah pinter membalikkan kata” jawabnya dengan sudut bibir yang membuat lesung pipi. “Jika kamu masih bisa mengingat apa yang dulu pernah aku katakan dan tuliskan, berarti kamu juga ingat jika hubungan yang selama ini kita rajut hingga detik ini adalah titipan Tuhan. Aku yakin kamu masih ingat tentang ucapanku dulu. Di mana aku enggak pernah menyalahkan kehadiranmu pada rumah tanggaku. Karena memang sebenarnya udah rusak sebelum kamu hadir. Jadi, aku mohon ... kamu jangan lagi menenggelamkan segala salah. Kamu itu enggak salah. Udah berapa kali aku bilang kalau semua ini ada salahku. Aku yang tidak bisa menjamin kebahagiaan dia. Dan sekarang kamu ...,” jelas sang pria panjang kali lebar seakan kembali membuka luka lama. Karena bagaimanapun yang namanya perpisahan pastilah memberi kesakitan.
Sebagai wanita yang pernah kehilangan jati diri, Nesha tidak tahu lagi harus menjawab apa tentang perkataan sang pria. Karena memang sampai kapan pun ujung dari semuanya tetap saling berebut siapa yang paling bersalah. Ia sendiri hanya bisa menyalahkan diri saat rumah tangganya tidak bisa bertahan karena perasaan yang perlahan berubah dan hilang sama sekali. Keadaan dan sikap suami terdahulu perlahan mematikan rasa hati juga mimpi. Selain itu ada situasi di mana langkahnya ingin pergi sejak lama, tetapi tertahan keadaan dan kesempatan.
Ya, bertemu dan mengenal seorang Arfan membuat Nesha menemukan sosok pria yang menuntunnya dalam kebaikan dan tidak mematikan impiannya sebagai penulis. Beberapa cerita pendek dan n****+ yang ia diskusikan selalu mendapat efek positif. Bahkan, membuatnya menerima gelar juara meski bukan sebagai pemenang pertama. Sementara dulu, ia harus menjadi istri pembangkang karena tetap melakukan hal tidak diperbolehkan. Namun, bersama Arfan langkahnya sebagai penulis menemukan titik jalan menggapai harapan secara perlahan.
Keduanya seolah dipertemukan semesta meski dengan cara tidak biasa. Karena mereka menjadi seseorang yang saling melengkapi untuk kekurangan masing-masing. Mengingat semua itu membuat Nesha tidak kuasa membendung gerimis turun dari sudut matanya. Apalagi ditambah mendengar ucapan pria di hadapannya. Hal itu semakin membuat gerimis turun semakin deras membasahi pipi.
Sementara Arfan menjadi salah tingkah melihat wanitanya kembali menangis. Padahal perkataannya tidak menyiratkan bentakan atau apa pun itu. “Sha ... kok, malah nangis? Tambah kenceng lagi. Oke, kalau ucapanku tadi salah, aku minta maaf. Udah dong ... jangan nangis lagi. Kenapa masih cengeng aja? Cup ... cup ... cup!” ujar Arfan berusaha menenangkan. Ia masih berpikir bagaimana cara menghadapi sikap dan sifat wanita yang selalu di luar nalar. Mungkin benar jika wanita adalah mahkluk bumi yang paling rumit.
Perlahan suara tangisan berhenti. Punggung tangan juga tidak lelah menghapus pipi yang basah hingga jejak air mata menghilang. Akan tetapi, Nesha masih terdiam. Ia hanya bisa mengucapkan ribuan terima kasih telah menghadirkan Arfan di hidupnya dalam diam.
Arfan sedikit lega. “Kita salat dulu lalu tidur, ya? Kamu enggak usah nulis dulu. Istirahat aja,” ujarnya yang selalu memberi peringatan wanitanya untuk tidak memaksa menulis ketika pikiran dan hati tengah bertentangan.
Nesha mengangguk, lalu mengambil wudu dan bediri di belakang sang pria menjadi makmum. Keduanya merendahkan diri di hadapan Sang Pemilik Bumi dengan segala kerendahan. Doa pun tidak lupa dipanjatkan untuk kehidupan yang kini tengah dijalani. Setelahnya mereka merebahkan diri sambil berpelukan untuk memeluk mimpi yang ditemani bulan bintang di langit sana. Biarlah skenario yang Tuhan berikan bisa diperankan dengan sebaik-baiknya.
~
Ketika mentari mulai menembus langit gelap dan berhasil menyulap awan kembali memutih, kedua manusia yang terikat hubungan luar biasa telah bangun dan menyelesaikan kewajibannya sebagai makhluk Tuhan. Nesha sendiri sudah merasa lebih baik dari sebelumnya dan langsung membantu sang mertua sebisanya.
Sementara Arfan menikmati suasana pagi di teras rumah. Ia sesekali memperhatikan dedaunan yang dibasahi embun. Ternyata daun-daun itu tidak perlu ikut mengubah warnanya untuk membuat embun jatuh cinta. Mungkin seperti Nesha dan dirinya yang tidak perlu berubah menjadi orang lain untuk jatuh cinta.
“Ah, kenapa baru sadar jika bersama Nesha aku bisa menjadi diri sendiri. Entah aku yang kadang cuek, diam, dan peduli sekali pun, sikapnya tetap sama. Selalu menyambut hadirku dengan rindu. Maafkan aku jika pernah sengaja membuatmu terluka, Sha ...,” batinnya sembari menatap dedaunan yang dikuncupi bunga. Entah kenapa ada keinginan untuk mengabadikan dedaunan itu dalam sebuah foto dan mengunggahnya di media sosial.
Ketika tengah mencari kata-kata yang tepat sebagai pendamping foto tersebut, Nesha datang dengan secangkir kopi di tangan.
“Wah ... makasih kopinya, Sayang ... tahu aja kalau lagi pengin kopi,” ujarnya sembari pikiran mencari kata yang indah, tetapi belum juga mendapatkan.
Sementara Nesha hanya menggeleng melihat pria yang tengah mencoba tegukan kopi pertamanya sambil bermain ponsel. “Ada sesuatu di hape, kah? Sampai minum kopi tanpa melihat gelasnya,” tanyanya ingin tahu.
“Enggak ada apa-apanya, Sayang ... cuma ingin upload foto tapi mikir kata apa yang cocok. Itu aja,” jawabnya dengan penjelasan sejujur-jujurnya. Ia tidak ingin lagi membuat air mata semalam kembali tumpah. Akan tetapi, tiba-tiba ia mendapati kejadian acara di rumah Ravi menjadi tranding dalam aplikasi biru. Berbagai ragam komentar seakan menambah keramaian; baik komentar yang menyalahkan sekaligus menghujat dan ada beberapa komentar untuk menguatkan dengan alasan takdir Tuhan adalah sebuah rahasia.
Arfan menatap wanita yang masih berdiri di hadapan dengan tatapan entah. Bola mata bening itu seakan bertanya ada apa.
“Nesha enggak boleh tahu kalau Ravi mengunggah video semalam. Apalagi baca kolom komentar. Bisa-bisa nanti rebutan salah sampai tujuh hari tujuh malam. Belum lagi hujan yang baru saja reda pasti kembali deras. Maafkan aku jika jadi pria yang menyembunyikan kenyataan. Aku hanya ingin kamu tidak mengingat lagi dan menyalahkan diri sendiri seperti semalam.”
-----***-----
Bersambung
Hai, hai, Kak. Jangan lupa tinggalkan jejak lovenya untuk Nesha dan Arfan. Kenes dan Danesh di Suami Online. Mayasha dan Lian di Terjerat Cinta Wanita Panggilan. Terima kasih bijaksana.