CINTA KEDUA 16
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Terkadang menutupi satu kenyataan bukan berarti ingin menyakiti. Akan tetapi, ada satu titik keinginan untuk melindungi orang yang kita sayang. Lebih baik tidak tahu sama sekali asal kondisi hati dan pikiran terjaga daripada mengetahui segalanya yang kemudian menggoreskan luka.
Ya, Arfan memilih berbohong untuk melindungi wanita di depannya dari dinginnya sikap akibat hujan turun tanpa henti menggenangi pipi. Apalagi Nesha baru saja mencoba baik-baik saja setelah mendengar perkataan orang tentangnya. Jika sampai tahu ada video unggahan acara di rumah Ravi, maka bisa dipastikan komentar-komentar itu akan beralih fungsi seperti belati.
“Sayang enggak bantuin Ibu lagi? Kenapa masih berdiri di situ? Atau mau nemenin minum kopi biar semakin manis?” Sang pria sengaja mengalihkan topik pembicaraan. Ia benar-benar tidak mau perdebatan salah semalam terulang.
Nesha sendiri mulai janggal melihat sikap sang pria. Kemarin ia bilang kalau Ibu akan bisa mengerti akan keadaan untuk bisa berdua karena jarak yang memisahkan. Akan tetapi, sekarang justru bibir itu menyuruh untuk membantu pekerjaannya. Padahal semua pekerjaan itu sudah hampir selesai dengan bantuan sebisanya.
“Kamu aneh tahu, enggak?’ tanyanya pada pria yang kini benar-benar menjadi nyata untuknya. Meskipun harus menghadapi badai sekuat tenaga, tetapi kedua tangan tidak lelah memohon dalam doa agar ikatan selalu terjaga.
Pria yang ingin mencoba menjalani hidup lebih baik meletakkan ponsel di dekat kopi. Ia mendekat dan menggenggam kedua tangan yang tanpa lelah menulis kata rindu dan paragraf-paragraf. Mata beningnya pun seakan meminta untuk bertemu di satu titik.
“Sayang, dengerin ... ya, aku mungkin memang aneh. Karena sering buat kamu nangis dengan hal-hal sepele. Tapi, ujungnya aku juga sendiri yang ingin menangis jika lihat kamu menangis terluka. Jadi, mau kamu bilang apa pun tentangku, aku terima. Dan aku juga lelah kalau kita beda pendapat pasti selalu berujung saling menyalahkan. Kalau kita salah terus, terus siapa yang bener” ujar Arfan yang mengakui isi hatinya untuk menciptakan ketenangan suasana. Ia sungguh tidak mau melihat Nesha meneteskan air mata hanya karena kesalahan yang bukan darinya. Meskipun ia tahu bahwa kehadiran cinta itu adalah hak sepenuhnya Tuhan sekali pun bukan di waktu yang tepat.
Nesha sendiri semakin tidak mengerti apa yang dikatakan sang pria. Hatinya meyakini ada sesuatu yang tidak boleh ia tahu. Namun, logikanya berpikir mungkin ada alasan tertentu kenapa harus menyimpannya. Diam dan mencoba percaya adalah jalan satu-satunya. Ia yakin, cepat atau lambat pasti juga akan tahu. Sebab lingkungan tempat tinggal memudahkan segala kabar bisa terdengar dari mulut beberapa tetangga yang suka terlibat obrolan hangat. Kabar itu nantinya akan diceritakan tanpa tertinggal oleh sang mertua.
“Rebutan dalam perbedaan pendapat itu memang baiknya rebutan salah, Mas ... karena membuat kita menjadi lebih mengerti sifat dan sikap pasangan. Coba kalau rebutan bener, bisa-bisa perdebatan naik level,” terang wanita yang terkadang memiliki sifat keras kepala.
“Iya, Sayang, iya ... kita masuk aja, yuk?” Arfan pura-pura menghentikan obrolan yang tidak akan menemukan ujung seperti sebelumnya.
“Katanya tadi mau buat kata-kata. Enggak jadi?” tanya Nesha mengingatkan lagi apa yang dilakukan sang pria sebelumnya.
Arfan menggeleng, lalu mengambil gelas kopinya dan mendorong lembut bahu wanitanya masuk rumah. Ponsel pun tidak lupa dimasukkan saku celana. Biarlah tentang video itu tersimpan untuk saat ini.
Keduanya bermain kereta-kereta selayaknya bocah hingga berhenti di ruang tamu. Pria yang berusaha menjadi perisai untuk melindungi hati seorang Nesha meminum kembali kopinya. Sungguh kehidupan yang dulu menjadi mimpi kini bukan lagi ilusi. Di mana setiap pagi ada seseorang yang menyuguhkannya segelas kopi penuh cinta. Kebiasaan yang lama hilang akhirnya datang. Meskipun dari seorang wanita yang kehadirannya sempat menjadi penghalang, tetapi memiliki jutaan kasih sayang yang tidak mudah hilang.
Sementara Nesha hanya menatap dalam diam sikap pria di sampingnya dengan pikiran yang berkelana jauh. Meskipun begitu ia tahu jika diamnya adalah untuk kebaikan. Entah karena tidak ingin menuang cuka di atas luka atau memang tidak tahu akan menjadi lebih baik. Ia sungguh tidak ingin lagi bergelut dengan pikiran sendiri, yang terpenting sekarang telah bersama dan tetap bergandengan dalam hal baik juga genting.
“Mas ...,” panggil Nesha tiba-tiba.
“Ya ... kenapa, Sha?” sahutnya sembari meneguk kopi yang perlahan berkurang.
“Kata-katanya udah nemu?”
“Gampang lah ... nanti aja. Oh, ya, kotak hadiah semalam enggak dibuka? Aku penasaran isinya.” Arfan lagi dan lagi mencari pembahasan lain agar tidak menyinggung hal sensitif, yakni hati.
Wanita yang semalam mendapat hadiah kejutan dari Ravi menepuk dahinya sendiri. Ia lupa membuka untuk melihat isinya karena terlalu memikirkan omongan orang. Padahal orang itu belum tentu memikirkan hidupnya.
“Aku lupa, Mas. Penasaran juga. Bentar, aku ambil dulu,” jawab Nesha, lalu berlari kecil menuju kamar.
Sang mertua yang hendak memberi tahu kesiapan sarapan menatap menantunya heran karena berlarian di rumah. “Sha ... kok, lari-lari? Ada apa?” tanyanya yang berhasil menghentikan langkah sang menantu.
Nesha berbalik, “A-anu, Bu ... saya lupa semalam dapat hadiah dari acara Ravi, tapi belum dibuka. Tadi Mas Arfan nanyain. Katanya mau lihat isinya. Aku juga penasaran,” jelasnya, “saya ambil dulu, Bu ...,” lanjutnya lagi lalu masuk kamar dan mengambil kotak merah jambu di meja. Setelahnya keluar menuju ruang tamu menemui sang pria.
Ia dapat melihat sepasang ibu dan anak telah duduk berjejer di ruang tamu. Ada ikatan istimewa di antara keduanya. Mereka saling bicara yang diselimuti canda tawa. Meskipun sang mertua tinggal sendiri karena ayah prianya telah berpulang lebih dulu, tetapi kehangatan hubungan ibu dan anak itu terlihat nyata.
Entah kenapa ada nyeri dalam d**a. Pemandangan di depan mata adalah keadaan yang tidak mungkin lagi bisa terulang. Sebab kedua orang tua lebih dulu pergi dan membiarkan dirinya sendiri tertatih dalam setengah perjalanan. Bahkan, sang ibu tidak pernah tahu kalau seorang Nesha menjadi penulis hingga kematian meminangnya.
“Aku jadi kangen sama Ibu. Berikanlah tempat yang layak di sisi-Mu, ya Allah ... meski sesungguhnya ibuku bukanlah ahli surga,” batinnya, lalu ikut bergabung bersama sang pria dan mertua.
Sang mertua langsung menyambut dengan pertanyaan ketika melihat kotak merah jambu di tangan menantu. “Jadi itu kotaknya? Seperti bagus banget, ya? Coba buka, Sha ... Ibu juga jadi penasaran isinya,” ucapnya memberi perintah.
Arfan pun sama. ”Iya, Sayang ... apalagi aku. Awas aja nanti kalau Ravi kasihnya lebih bagus wadah dari isinya,” ujar sang pria yang tahu betul sosok Ravi suka bercanda.
Nesha menatap dua orang di depannya dengan perasaan yang entah. Antara penasaran dan takut kecewa. Karena dari luar kotak terlihat mewah, tetapi isinya entah. Akan tetapi, perlahan jemarinya membuka kotak itu dengan sedikit menyipitkan mata. Setelah terbuka, ternyata isinya sebuah gelang berhiaskan ukiran dedauan yang terhubung menyatu dalam lingkaran utuh. Meski terlihat sederhana, tetapi tatanan beberapa permata putih seperti bunga mekar menjadikannya mewah.
Arfan dan sang ibu terdiam melihatnya. Tentang hal menebar kebaikan, Ravi memang tidak pernah setengah-setengah sejak dulu. Ia mulai berpikir jika gelang itu mungkin sengaja diberikan sebagai kado pernikahannya dengan Nesha.
“Bagus banget gelangnya, Sha ....” Sang mertua langsung jatuh hati pada pandangan pertama.
“Iya, Sayang ... coba pakai, pasti kamu tambah cantik,” ujar sang pria ikut memberi komentar. Karena memang aslinya gelang itu terlihat bagus.
Nesha menatap dua manusia yang terpesona keindahan gelang dalam kotak. Namun, sedetik kemudian beralih menatap pergelangan tangannya sendiri yang telah memakai gelang dengan kesederhanaan. Ada ketidakrelaan jika harus melepas dan menggantinya sebab rasanya sangat berarti.
Entah dari mana awalnya, ia tiba-tiba ingin menawarkan wanita yang melahirkan prianya untuk memakainya. “Ibu mau pakai?” ucapnya sembari mengambil gelang itu dan memberikannya pada sang mertua.
Wanita yang mengakui kecantikan gelang tersebut menatap anak dan menantunya bergantian. Ia merasa malu jika harus memakai barang yang bukan miliknya. Akan tetapi, tatapan Nesha seakan mempersilakan jika ingin memakainya.
“Ka-kamu serius nawarin Ibu yang makai? Memang kamu tidak ingin seperti wanita-wanita lain? Yang memakai perhiasan saat di rumah dan bepergian?” tanya sang mertua memastikan.
Nesha tertawa. “Ibu tanyanya kok, begitu? Lagian saya jarang pergi dan sering di rumah. Kalau Ibu mau, pakai aja. Tidak apa-apa. Perhiasan dari Arfan dulu juga masih ada. Saya udah cukup pakai gelang yang ini. Tidak mencolok tapi cukup berarti karena ada hiasan emasnya,” jawabnya sembari memperlihatkan pergelangan tangannya.
Sementara Arfan memilih menjadi pendengar jika dua wanita sudah berbicara tentang perhiasan dan perasaan. Karena apa pun yang dilakukan Nesha, ia akan selalu mendukungnya. Baik mimpinya menjadi penulis dan segala tingkahnya yang kadang di luar dugaan.
Sang mertua yang mengetahui ada kerelaan menerima gelang itu dan memakainya. Ia akan menganggap sebagai pinjaman, bukan kepemilikan. Memang terlihat lebih cantik ketika sudah menghiasi tangan.
“Terima kasih, Sha ... Ibu juga minta maaf karena kemarin sudah memberikan sepatu yang kamu tidak suka. Ibu pikir kamu akan menyukainya karena terlihat sempurna di kakimu. Tapi, malah justru menyakitimu. Ibu jadi merasa bukan ibu mertua yang baik untukmu karena hal sekecil itu tidak tahu,” ucapnya dengan suara mengandung sesal sambil melirik kaki menantunya yang kemungkinan masih dihiasi pelester.
“Ibu tidak perlu minta maaf. Saya tahu Ibu punya perhatian. Makanya saya menghargai dengan memakainya. Jadi, Ibu tidak perlu merasa bersalah. Justru saya yang berterima kasih karena Ibu sudah mau menjadi ibu mertua dan menerima menjadi istri untuk Mas Arfan, anak Ibu," jawab Nesha seolah mengungkapkan rasa syukurnya bisa memiliki sebuah keluarga kembali.
“Ya, sudah. Tidak usah diteruskan lagi. Nanti Ibu jadi ingin nangis membahas hal ini. Dan kamu tidak perlu berterima kasih. Karena kamu itu anak Ibu,” ujarnya sembari menahan bulir bening agar tidak menetes membasahi pipi. “Ibu mau ke warung sebentar, beli gula aren. Persediaan di dapur tinggal sedikit. Kamu tidak usah ikut,” ujarnya lagi.
Nesha pasrah dan menurut perkataan sang mertua. Mungkin memang baiknya berdiam diri di rumah. Apalagi sang pria tengah menatapnya dengan senyum kancil. Akan tetapi, keduanya memilih terlibat obrolan ringan dalam suasana sarapan pagi.
Sementara Bu Maryam menuju warung untuk membeli apa yang diperlukannya. Keadaan warung selalu tampak dipenuhi tetangga-tetangga. Entah memang karena sedang berbelanja atau sekadar mencari teman bicara. Namun, Bu Peni mulai jarang terlihat sejak kejadian beberapa hari lalu. Meski pernah membicarakan sang menantu, tetapi sebagai manusia yang memiliki hati ada rasa khawatir dan peduli antar tetangga.
“Maaf, Bu ... saya mau beli gula aren sekilo,” ucapnya sedikit keras karena suara beberapa ibu-ibu yang tengah melihat ponsel secara bersamaan.
“Eh, Bu Maryam. Ditunggu, ya, Bu ...." Pemilik warung segera menimbang gula aren sesuai takaran.
Ketika tengah mengambil uang, gelang dari menantu tidak sengaja terlihat oleh para ibu-ibu. Entah apa yang tengah mereka tonton, tetapi pertanyaan salah satu dari mereka membuat d**a kembali terbakar amarah.
“Bu Maryam? Kebetulan sekali, apa Ibu tahu kalau video Nesha jadi tranding di dunia maya? Kita baru tahu kalau ternyata mantunya Bu Maryam menjual kisah hidupnya yang ternyata jadi orang ketiga untuk Arfan demi sebuah hadiah kejutan.”
Seketika Bu Maryam berbalik, menatap tajam wanita berbaju biru langit. Ada rasa tidak terima dalam hati yang perlahan menjerat amarah. Meskipun itu benar adanya, tetapi mereka tidak pernah tahu apa yang Nesha dan Arfan jalani. Bukan mendukung yang dilakukan sang anak, tetapi tentang cinta dan ketentuan Tuhan tidak akan ada yang bisa menghindar apalagi menolak. Karena Tuhan-lah yang menancapkan cinta itu, dan hanya Dia juga yang berhak membuangnya.
“Dasar kompor! Jadi ingin nyumpel pakai cabai! Apa kalian pikir Nesha ingin hidupnya begitu? Kenapa jadi orang selalu memandang kesalahan hanya dari satu sisi? Sampai kapan kamu jadi omongan orang, Sha ... Ibu yang jadi tidak tenang mikirin perasaanmu. Ibu tidak ingin kamu lelah dengan semua dan memilih pergi karena tekanan.”
-----***-----
Bersambung