CINTA KEDUA 14
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Kesalahan dalam hidup memang terkadang bisa abadi meski waktu telah menguburnya bersama hari. Bahkan, angin saja mengetahui kapan harus datang dan hilang. Begitu juga dengan sebuah kabar. Meskipun telah berusaha mengajak berdamai dalam keseharian, tetapi terkadang waktu mengingatkan kembali tanpa sengaja. Oleh karena itu, sepahit dan seperih apa pun resiko dari kesalahan lebih baik menghadapi, bukan menghindarinya.
Ya, Nesha selama ini telah berjuang menerima segalanya bersama air mata dan luka lara. Ia hanya menyimpan untuk diri sendiri ketika kehadirannya menambah kehidupan seorang Arfan semakin hancur. Namun, bayang kepedihan itu kini kembali mengingatkan masa-masa paling menyakitkan. Di mana hati hanya bisa merasakan luka sang pria tanpa bisa melakukan apa pun selain mendoakannya.
“Apa takdir Tuhan ini pun masih sebuah kesalahan? Aku akui egois karena bertahan di hati seorang Arfan tanpa memikirkan orang lain. Aku hanya ingin menjadi orang yang tidak pergi meski tahu segala kekurangan yang dia miliki. Dan aku sadar, memang tidak akan ada pembenaran apa pun untuk wanita sepertiku," gumamnya lagi saat kisah perjalanan dulu kembali teringat jelas dalam bayang. Bahkan, bulir bening menetes membasahi pipi tanpa disadari.
Pria yang ikut mendengar ucapan dua wanita di sebelahnya hanya bisa terdiam. Ia tidak mungkin menghentikan angin yang menerbangkan suatu kabar. Biarlah kabar itu menghilang sendirinya bersamaan sejuk yang tidak lagi membelai jiwa. Karena mau bagaimanapun menyangkal, kisah bersama Nesha memang begitu adanya.
Arfan menatap wanita yang hendak memberi ciuman, tetapi harus gagal karena dua ucapan pembuka cerita lalu. Padahal dirinya sama sekali tidak menyesal berada di posisi sekarang, yakni melepas wanita yang ingin mengejar bahagia dan memilih wanita yang tidak malu berkata rindu tanpa mengenal keadaan dan situasi.
“Hei ...,” panggilnya lembut, “Apa ucapan mereka mengingatkan kamu tentang kita dulu? Bukankah aku udah pernah bilang tidak ada penyesalan tentang kita? Mau dunia berkata apa tentangmu, bagiku bukan kamu yang salah. Aku yang salah karena dulu menawarkan hati untukmu di saat keadaan tidak karuan. Jadi, aku mohon jangan lagi menangis. Jika Tuhan akhirnya membawa kita bersama, itu memang udah jadi kehendak-Nya. Katanya tadi mau kasih ciuman, malah berubah tangisan,” lanjutnya lagi dibarengi usaha menghentikan gerimis yang terlanjur menggenangi pipi.
Wanita pemilik nama lengkap Nesha Dianti itu menatap prianya dengan mata berembun. Sisa-sisa gerimis di sudut mata masih menghalangi pandangan. Ia bisa tahu jika prianya akan selalu menjadi yang paling bersalah dalam kisah ini. Akan tetapi, sebagai wanita tetaplah ia menjadi yang paling bersalah karena dulu berani merespons tawaran seorang Arfan untuk menjadi bagian setengah hatinya. Meskipun pada akhirnya menggoreskan lara yang berkepanjangan. Namun, doa yang tidak pernah lelah berhasil menguatkan hati dan raga untuk saling bertahan dalam sebuah kesalahan dengan bayang-bayang jeruji sel kehilangan beralaskan tikar kepedihan.
Dengan mata yang masih berkaca-kaca ia mencoba membuka bibirnya. “Bukan kamu yang salah, Mas. Aku yang salah karena menerima dan membuka pintu. Makanya hubungan yang dulu bisa ada akhirnya melukiskan luka dengan tinta air mata. Kalau ditanya menyesal pun, aku juga tidak menyesal. Karena memang kamu sudah terlanjur di sini,” jawabnya sembari menunjuk dadanya sendiri. Di mana nama sang pria terukir indah dan hangat bersama balutan doa yang selalu melangit setiap waktu.
Entah kenapa perih yang beberapa tahun telah berubah bekas kini seakan kembali basah. Kotak hadiah pun tidak lagi mencerahkan wajah seorang Nesha. Bahkan, rasa sakit pada kaki tidak lagi terasa perih. Jika boleh meminta, ia pun tidak ingin menjadi orang ketiga untuk sang pria, tetapi Tuhan semakin menanam perasaan itu kuat di jantung hati. Hingga diri tidak berdaya melawan segalanya.
Arfan seketika membawa wanita yang kerap membuatnya berebut salah ke dalam dekapan. Bibir seolah kehabisan kata untuk menenangkan. Karena mau sampai kapan pun, jika membahas siapa yang paling salah tidak akan pernah menemukan ujung.
“Sayang ... lebih baik kita pulang, ya? Aku takutnya kita di sini rebutan salah sampai pagi. Kan, enggak lucu. Belum lagi nanti Ibu khawatir di rumah. Masalah ini biarkanlah seperti adanya. Hidup ini kita yang jalani. Kita fokus aja sama hidup yang udah kita pilih. Dan tulisanmu. Aku enggak pengin denger kamu merajuk hanya karena kehilangan paragraf. Kita pulang, ya?” ajaknya lagi dan lagi tanpa kenal lelah.
Nesha hanya mengangguk. Ia menurut ketika sang pria menuntun ke arah roda dua. Matanya melirik gerak Arfan yang menyimpan sepatu dari sang mertua ke jok motor. Begitu juga kotak hadiah yang beberapa menit didapatkan tidak lupa ikut menjadi penghuni.
Perjalanan pulang kali ini terasa berbeda. Tidak ada lagi canda tawa seperti ketika berangkat. Entah kenapa keduanya seakan membisu. Arfan yang memilih diam karena fokus berkendara, sedangkan wanita di belakangnya bergelut dengan pikirannya sendiri. Bahkan, angin malam yang meniupkan ujung jilbab tidak cukup menenangkan keresahan.
Pria yang sengaja memberi ruang wanitanya berdamai bersama kisah lalu langsung memasukkan roda dua ke garasi. Sementara Nesha turun lebih dulu dan langsung masuk kamar.
Arfan sendiri hanya bisa menarik napasnya dalam melihat perubahan sikap yang hanya sekejap. Meskipun dirinya telah menanggung segala salah di pundaknya untuk kisah terdahulu, tetapi Nesha selalu berpikir kesalahan terbesar ada padanya. Ia masih mengingat betul berapa kali wanitanya menuliskan kata maaf yang diakhiri emoji menangis. Hal itulah yang membuat hati kecilnya tetap bertahan dalam hubungan tanpa nama.
“Aku harus gimana lagi biar kamu ngerti kalau semua yang udah terjadi bukan kesalahanmu, Sha ... aku berpisah dengan Wening memang karena keadaan yang tidak bisa diperbaiki meski aku udah berusaha. Dan semua itu bukan karena kamu. Justru aku yang merasa bersalah pada kalian. Karena aku tidak bisa menjadi pria yang menjamin sempurnanya kebahagiaan. Bahkan, kesabaranmu saat ini kadang kerap menamparku jika malam tiba,” ujarnya dengan hati yang tiba-tiba merasakan perih, lalu masuk rumah setelah memastikan roda dua dalam keadaan aman. Namun, ia tidak lupa mengambil sepatu dan kotak hadiah dari jok motor.
Dari ruang tamu, ia dapat melihat Nesha hanya melempar senyum seadanya ketika berpapasan sang ibu di depan kamar. Hal itu sudah sangat menjelaskan ada kesedihan yang kini menyelimuti hati dan akal.
Wanita yang melahirkan pria bernama Arfan sengaja tidak menyapa dan memilih mendekat pada sang anak. Ada banyak pertanyaan yang mengganggu pikiran karena sikap menantunya terlihat berbeda.
“Nesha, kenapa, Fan? Apa terjadi sesuatu di sana? Kenapa pulang-pulang wajahnya malah seperti habis kehilangan tulisan?” tanyanya sangat ingin tahu apa yang terjadi. Padahal sebelum berangkat, wajah sang menantu terlihat cantik dan bahagia.
Arfan duduk di sofa yang diikuti sang ibu. Entah kenapa rasanya begitu berat menceritakan apa yang terjadi. Karena ia tahu ibunya pasti akan kepikiran. Apalagi berhubungan dengan perjalanan kisah lalu. Kisah yang mengingatkan kembali kehancuran dirinya bersama Wening. Padahal semua luka itu telah mengering dan berbekas.
“Fan?! Ditanya malah diam! Mantu Ibu kenapa?!” tanya sang ibu kedua kali.
“Aa-anu, Bu ... biasa lah, denger omongan orang yang tidak-tidak. Emm, emang bener yang mereka bilang, sih. Mereka pada tahu kalau Nesha dulu hadirnya di waktu yang salah. Meski ada yang mengerti tapi ada yang mengatakan dia pelakor. Jadinya kita rebutan salah. Dan dia jadi begitu sekarang. Padahal aku udah bilang kalau di sini aku yang paling bersalah karena membuat Nesha punya perasaan sebegitu dalam,” jelas Arfan tanpa berpikir menyembunyikan hal yang sebenarnya. Karena bagaimanapun memang ia lebih pantas yang diteriaki penjahat dalam biduk rumah tangganya. Bukan Wening apalagi Nesha.
Sang ibu langsung mengerti apa yang diucapkan anaknya. Meski tidak tahu dan tidak mau tahu lagi alasan kegagalan dulu, ia tetap menyayangkan orang-orang yang berbicara tanpa pernah berpikir apakah menyakiti atau tidak. Seandainya hal itu benar pun, ia akan memasang badan untuk menantunya. Karena memang telah menjadi bagian dari keluarga sekaligus wanita yang kini menemani sisa hidup anaknya.
“Karena inilah Ibu melarang Nesha keluar rumah. Ibu tidak mau dia mendengar omongan yang menyakiti hatinya seperti tadi. Dia pasti sakit meski omongan itu benar adanya. Karena ketika sudah mengakui kesalahan tapi masih terus dipojokkan, pasti rasanya lama-lama akan tidak biasa lagi. Coba aja tadi Ibu ikut ke acaranya Ravi. Ibu pasti sumpel tuh, mulut dengan cabai. Biar kepedesan!” ujar wanita yang akan selalu menjadi perisai untuk seorang Nesha Dianti.
Arfan tertawa. “Ibu bisa saja. Terima kasih telah mencintai Nesha, Bu ... jujur, aku awalnya ragu ninggalin dia sendiri sama Ibu. Takut seperti kisah di sinetron. Tapi, lihat Ibu begini jadi lumayan tenang jika nanti berangkat ke kota lagi,” ucapnya sembari menggenggam tangan wanita yang dipanggil ibu.
“Kamu ngomong apa sih? Nesha kan, istrimu, mantu Ibu. Itu berarti anak ibu juga. Kamu tidak perlu berterima kasih. Justru Ibu yang berterima kasih karena Nesha sudah mau menjadi istrimu. Terlepas bagaimana kalian dipertemukan, Ibu tidak ambil pusing. Karena Ibu melihat cinta kalian lewat mata sendiri, bukan dari omongan orang yang kadang menggoyahkan nurani,” jawabnya dengan senyum penuh cinta. Akan tetapi, senyum itu perlahan sirna ketika melihat sepatu pemberiannya berada di meja.
Arfan yang tahu senyum itu hilang langsung bertanya, “Kenapa, Bu?”
“Itu ...,” tunjuknya ke arah meja. “ Kok, sepatu yang Ibu kasih buat Nesha ada di situ? Memangnya tidak dipakai?” tanyanya ingin tahu.
Pria berusia 45 tahun itu menatap sepasang sepatu di meja. Sungguh, kejadian di rumah Ravi adalah kejadian yang tidak ingin terulang lagi. Ia tidak ingin melihat Nesha berpura-pura sok kuat lagi demi menahan sakit.
“Oh ... tadi di sana kakinya perih. Mungkin sedikit lecet, tapi sudah dikasih plester. Dia itu tidak bisa pakai sepatu yang terlalu feminim, Bu. Nesha lebih nyaman pakai sepatu biasa. Untung tadi aku bawa, jadi tidak semakin parah sakitnya. Eh, malah jadi pindah sakit hati,” jelasnya tanpa berniat menyinggung perasaan sang ibu.
Sesaat Bu Maryam menatap sepatu yang memang terlihat sempurna untuk kaum hawa. Akan tetapi, malah menyakiti sang menantu. Sementara sang menantu hanya tersenyum dan mau memakai hingga sampai di acara. Hal itu membuat rasa bersalah perlahan merayap menempel pada dinding hati.
“Harusnya kalau tidak suka kamu bilang, Sha. Biar Ibu tahu mana kata yang harus dipendam agar tidak menyakitimu. Kalau begini jadi merasa bukan mertua baik untukmu. Maafkan Ibu, Sha ....”
-----***------
Bersambung
Jangan lupa tinggalkan jejak love untuk Nesha dan Arfan. Kenes dan Danesh di Suami Online. Mayasha dan Lian di Terjerat Cinta Wanita Panggilan. Terima kasih bijaksana.