CINTA KEDUA 13
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Mengetahui orang terdekat berpura baik-baik saja padahal sedang melawan sesuatu yang tidak sejalan dengan keinginan terkadang membuat hati tertipu perasaan. Meski berusaha memendam amarah, tetapi ada satu rasa di mana diri menjadi orang yang gagal melindungi. Ya, gagal menjadi orang paling memahami sekaligus mengerti tanpa harus menunggu kode.
Arfan sendiri masih tidak habis pikir dengan sikap wanita yang tengah meringis perih sambil memegang kakinya. Panggilan dari Ravi dan tepuk tangan tidak lagi ia pedulikan. Dalam pikirannya hanya ada satu, yakni bagaimana cara mengembalikan rasa nyaman yang terenggut rasa ketidakenakan.
“Apa kamu mau lepas sepatu?” tawar sang pria untuk membebaskan perih pada kakinya. “Tapi, masa nyeker,” ujarnya lagi seakan bicara sendiri. Akan tetapi, setelah itu ia mengingat menyimpan sesuatu di jok motor.
Wanita yang sudah merasakan perih hanya bisa mengangguk setuju. Bahkan, ia kembali dalam posisi duduk untuk sekadar menyamarkan sakit.
“Kamu tunggu sebentar. Aku janji tidak lama,” pamit sang pria lalu berlari kecil keluar acara. Namun, ia tidak lupa meminta kode pada Ravi agar memberi jeda sejenak sampai keadaan Nesha sedikit membaik.
Tidak membutuhkan waktu lama, Arfan telah kembali dengan sepatu putih yang sengaja dibawa sebagai antisipasi kalau terjadi apa-apa sama Nesha. Ia tahu kalau dulu, wanitanya kerap memakai sepatu begitu untuk bepergian agar lebih nyaman.
“Mana kakimu? Sini?” ujar Arfan yang telah meletakkan sepatu putih di rerumputan.
Nesha pasrah dan menyerahkan kaki yang terasa perih juga panas pada sang pria. “M-mau diapain, M-mas?” tanyanya dengan suara terbata.
“Udah diem! Tidak usah banyak tanya.” Arfan sengaja melepas sepatu yang menghilangkan rasa nyaman dan memberi pelester penutup luka pada kedua ujung kaki belakang. Lalu memakaikan sepatu putih yang sebenarnya ingin terpakai saat berangkat.
Seketika wanita yang berusaha menahan perih itu sedikit lega. Ada kenyamanan pada kaki yang tidak bisa diungkap kata. Meksipun masih ada sisa perih dan panas, tetapi itu lebih baik. Perlakuan pria di depannya pun berhasil membuat cinta semakin kuat bertakhta. Bahkan, mampu menitikan gerimis dari sudut matanya.
“Makasih, Mas ... aku tidak tahu kalau kamu bawa sepatu yang ini juga,” ujar Nesha malu-malu karena mendapat perhatian di depan orang banyak.
“Ngapain bilang makasih? Kan, udah jadi tanggung jawabku untuk bisa menjadi pria yang kamu andalkan. Selain itu, aku juga ingin berperan bukan hanya sebagai suami. Tapi, sebagai ayah sekaligus teman,” jawab Arfan sembari mengusap pipi penuh sayang. “Ya udah, sekarang kita ke Ravi dulu baru pulang. Gimana?” tanyanya lagi dan mengulurkan tangan sebagai tanda permintaan persetujuan.
“Ehmm ....” Wanita yang kini semakin kuat menghadapi badai kehidupan menerima uluran tangan seorang Arfan tanpa ragu. Segala sakit perih yang menggores raga pun seketika samar tergantikan perasaan bahagia bisa bersama dan berjalan saling bergandengan.
Beberapa pasangan lain pun ikut terharu melihat seorang Arfan bisa kembali menemukan wanita yang tanpa malu dengan keadaannya. Sebab penampilannya memang begitu sederhana. Akan tetapi, ada sesuatu yang entah apa mampu menyihir mata hati menjadi terpesona.
Begitu juga Ravi. Ia tahu betul jika Arfan adalah pria yang baik. Mungkin benar, sikap seorang pria itu tergantung dari bagaimana wanita di sisinya menerima segala bentuk kekurangan dan kelebihan diri tanpa banyak tuntutan. Karena kabar yang ia dengar, Nesha adalah tipe wanita yang tidak banyak tingkah dan selalu berada di rumah memainkan hobinya dengan ponsel. Ya, istilah kerennya penulis.
“Jalan Tuhan memang tidak terduga. Aku pikir kisah kalian hanya sebuah wacana, tahunya bisa sampai pada titik saling menerima. Ya, meski aku tahu pasti ada banyak luka dan air mata yang telah tercipta,” batin Ravi yang sedikit tahu perjalanan hidup seorang Arfan.
Tanpa disadari, pria yang terlihat selalu tegar meneteskan bulir bening menatap dua manusia di hadapan. Dengan tangan bergandengan erat dan ada pancaran keinginan saling melindungi.
Ravi membuang wajah sesaat, lalu menyambut pasangan yang akan berhak mendapat hadiah kejutan bersama suara tepuk tangan. “Sekali lagi mari kita beri tepuk tangan yang meriah untuk pasangan paling romantis malam ini. Memang sedikit berbeda penampilan yang tertulis dalam undangan, tapi saya beralih memilih mereka justru karena hal ini. Mereka datang dengan keadaan seadanya tanpa memaksakan hal yang tidak seharusnya. Selain itu, saya melihat ada perhatian dan cinta dari keduanya. Walaupun kabar di desa cukup membuat heboh, tetapi saya sadar, bahwa ada sesuatu dari mereka yang tidak kita miliki, yaitu ketulusan. Oleh karena itu, saya bersama istri setuju menjatuhkan hadiah kejutan untuk mereka,” ucapnya panjang kali lebar mengalahkan sambutan ketua RT.
Satu kotak merah berukuran sedang berhiaskan pita merah jambu kini diberikan Ravi pada Nesha—wanita yang berhasil menghancurkan dan menghidupkan kembali seorang Arfan. Bahkan, tepukan dari pasangan yang hadir pun bertambah semakin riuh.
“Silakan, Sha ... mungkin ada beberapa kata yang ingin disampaikan,” ujar Ravi sembari memberikan mik pada wanita yang masih terlihat bingung.
Nesha sendiri menatap pria yang dulu pernah diperjuangkan dalam doa dengan mata berkaca-kaca. Namun, usapan lembut pada punggungnya seolah memberi kekuatan untuk hati dan langkahnya tetap bertahan menghadapi dunia.
“Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih. Padahal sebelum berangkat saya merasa malu karena kalah segalanya dari kalian semua. Tapi, saya tidak ingin membatasi gerak pria yang pernah memberi bahagia juga air mata. Saya tahu, kalian semua mungkin sudah mendengar kabar tentang keadaan saya sebagai menantu. Tapi, sekali lagi ini adalah hidup saya. Saya yang telah memilih berjalan bersama dengan pria seperti Arfan. Mungkin, saya bukan istri salihah dan menantu terbaik. Tapi, saya selalu berusaha memahami bahwa hidup kadang tidak sesuai apa yang diharapkan. Bahkan, kalian mungkin tidak tahu apa yang telah kami lalui untuk bisa sampai di titik sekarang. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas hadiah kejutan ini. Buat Ravi dan istri semoga selalu sehat dan bahagia,” ucap Nesha dengan mata yang tanpa sengaja menurunkan gerimis. Padahal sebelumnya sudah berjanji tidak akan ada air mata.
Pria yang sadar pernah menggoreskan lara langsung membawa wanitanya ke dalam pelukan. Mengecup keningnya lembut untuk sekadar memberi ketenangan. “Jangan nangis, dong, Sha ... kan, udah janji tadi ...,” bisik Arfan tepat di telinga.
Ravi melihat adegan bak drama televisi itu, lalu mengabadikan momen penuh haru dalam ponselnya. Ada keinginan mengunggah keromantisan keduanya di media sosial. Biar semua tetangga dan seluruh dunia tahu masih ada cinta untuk hati yang pernah patah terluka. Akan tetapi, tujuan utamanya adalah untuk membungkam mulut tetangga yang terkadang membandingkan Wening dan Nesha. Ya, Ravi tahu semua itu tapi memilih diam dan sengaja mengadakan acara ini agar mereka menyaksikan sendiri kebahagiaan kedua seorang Arfan.
“Baiklah ... terima kasih untuk Nesha dan Arfan yang telah hadir. Dan saya juga mengucapkan selamat sekali lagi. Dengan ini saya menyatakan acara anniversary pernikahan kami telah selesai. Sebagai oleh-oleh dari kami, silakan mengambil bingkisan yang tersedia di meja sebelum pintu keluar. Sekali lagi terima kasih atas kehadiran dan doa semuanya,” ucap Ravi mengakhiri acara.
Sementara Nesha dan Arfan pun memilih pulang bersama yang lain setelah berpamitan pada tuan rumah. Keduanya tidak berhenti saling tersenyum meski menatap objek yang berbeda. Nesha yang berbinar dengan kotak di tangan, sedangkan Arfan tersenyum bahagia melihat wanitanya tidak lagi menangis. Meskipun tangan membawa sepatu pemberian sang ibu, rasa bahagia itu tetap ada.
“Segitu bahagiakah dapat hadiah dari Ravi? Sampai lupa sama aku. Tadi waktu di rumah katanya malu mau ikutan ... eh, sekarang malah aku yang malu. Karena kalah sama kotak merah itu.” Arfan sengaja menggoda ketika sampai di tempat roda dua berada.
“Bukan lupa, Mas ... pura-pura lupa aja. Soalnya tidak ada angin dan hujan, malah dapat rezeki begini. Aku tidak tahu kalau kamu sama Ravi berhubungan sedekat itu. Padahal dulu dia pernah meminta untuk melepaskan dan melupakanmu karena cinta yang kupunya adalah salah. Bahkan, dia menyuruh memilih antara hitam dan putih. Tapi, aku kekeh memilih menjadi hitam sekaligus putih untukmu. Karena aku tahu dan percaya, bahwa ikatan kita bukanlah ikatan biasa,” jawab wanita yang tiba-tiba mengingat siapa sosok Ravi dalam perjalanan kisahnya.
Arfan seketika menatap tajam wanita di depannya. Ia baru tahu kalau ada pembahasan begitu serius antara Nesha dan Ravi. Karena ia sendiri sengaja menutup rapat hubungannya dengan Nesha dari orang-orang terdekat.
“Jadi, kamu sama Ravi pernah terlibat obrolan pesan begitu? Kok, baru cerita? Kan, aku bilang dulu tidak usah tukar pesan sama dia,” tanya sang pria yang ingin berpura-pura merajuk.
“Lagian buat apa cerita? Kan, tukar pesan biasa, ih! Tidak perlu marah begitu. Yang penting aku masih di sini sama kamu. Dan perasaan ini, itu tidak berubah,” jelas Nesha berusaha melembutkan sisi amarah dalam diri prianya.
“Yakin? Coba, mana buktinya? Kalau masih sama, coba buktikan. Berani tidak kasih satu ciuman. Di sini.” Arfan menunjuk bibir dengan telunjuknya.
Wanita yang selalu kalah jika berhadapan dengan sang pria melebarkan kedua mata mendengar permintaan cukup berani. Meski menahan malu karena keadaan sekitar yang masih ramai lalu-lalang pasangan lain, Nesha mencoba mendekat dan berjinjit untuk meraih bibir yang sering memberi janji-janji. Akan tetapi, sebelum bibir sang pria teraih, satu obrolan menghentikan gerakannya.
“Aku baru tahu kalau si Nesha ternyata dulunya pelakor. Kasian, Wening. Tapi, kok, bisa mereka hidup begitu bahagia, ya?”
“Udah sih! Itu hidup mereka. Kita tidak pernah tahu apa yang telah mereka jalani. Lagian ada kabar burung kalau pernikahan Arfan sebelumnya memang udah berantakan. Kalau memang takdir membuat Nesha masuk, ya, bukan salahnya juga. Cinta itu bebas mau hadir di mana saja dan pada siapa saja. Termasuk Nesha. Lagian, kejadian tadi di dalam udah cukup menjelaskan bahwa mereka bahagia. Ya benar kata Nesha, dia mau menerima apa pun keadaan Arfan. Itu yang utama dalam sebuah hubungan. Terlepas bagaimana cara mereka dipertemukan, itu tidak penting.”
Seketika Nesha merasa terbagi dua sisi. Di mana hatinya selalu benar untuk perasaannya, dan sikapnya yang terlanjur salah karena memang menjadi orang ketiga untuk seorang Arfan.
“Apa sampai nanti orang-orang akan menganggap aku sebagai pihak ketiga? Sedangkan orang-orang tidak tahu apa yang terjadi antara aku dan Arfan juga Mbak Wening. Takaran sakit itu pun kadang masih menghantui ketika malam tiba. Di mana aku harus berperang melawan keresahan hanya untuk harapan seorang Arfan baik-baik saja. Lalu salahkah aku jika takdir kini menjawab semua doa-doaku untuk hidup bersama?”
-----***----
Bersambung