CINTA KEDUA 12 B
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Pria yang pernah gagal dalam kapal pertamanya hanya bisa menggeleng mendengar jawaban sang istri. Padahal sejak masih di rumah, ia sudah memberikan saran untuk memakai apa yang ada. Namun, menolak karena alasan yang cukup membuat tawa terlepas begitu saja. Tidak memungkiri sisi ini pun mampu menarik perasaan terjatuh lebih dalam.
“Ngapain malu? Cantik itu tidak harus dandan. Dua hal itu hanya sebagai cara menutup kekurangan diri. Dan itu membuat kita berani menjadi orang yang tidak memaksa keadaan. Kita punyanya begini, ya, udah terima. Seperti kamu yang selalu punya cara sendiri. Aku pun hanya bisa menerima. Bukankah konsepnya begitu, Sayang ...?” tanya Arfan yang tidak lelah memberi pengertian tanpa penghakiman dan saling menyalahkan.
“Ish! Kamu kok, sekarang jadi tambah bawel, sih?” ujar Nesha yang merasa lebih menerima perhatian berupa peringatan. Meski dulu pernah membenarkan letak kesalahan dalam hidup melalui tulisan, tetapi kini lebih terasa karena menggunakan lisan.
Arfan sekali lagi menahan tawanya. “Aku bawel? Kan, dari dulu juga kamu manggil aku bawel. Udah sih, jangan ngambek. Aku ambilin makanan aja, ya? Mau tidak?” tawar sang pria sembari melihat tempat yang menyajikan makanan cukup ramai. “Tapi, ramai ... nanti, lah. Atau mau minum?” tawarnya lagi.
“Ambil bareng aja gimana? Aku pengin milih minuman dan camilan yang aku suka,” tanya Nesha seakan memohon.
Pria yang tidak bisa menolak keinginan sang wanita langsung mengiakan. Keduanya pun menuju tempat camilan dan minuman. Entah bagaimana jalannya acara, yang pasti semua tamu terlihat duduk bersantai sembari makan dan minum.
Nesha sengaja berjalan sedikit lambat agar perih pada kaki tidak semakin menjadi. Akan tetapi, saat menunggu prianya mengambilkan bagian untuknya, satu sapaan berhasil membuatnya menoleh.
“Nesha? Akhirnya kalian datang juga. Aku sama istri nungguin loh. Ingin tahu keromantisan kalian. Arfan-nya mana?” Ravi bertanya sembari menatap penampilan seorang Nesha—wanita yang mampu menyembuhkan sahabatnya.
“Ada. Lagi ambil minum. Itu dia,” jawab Nesha yang menunjuk Arfan tengah berjalan ke arahnya. Setelah itu terdiam dan menjadi pendengar obrolan keduanya. Mereka dipersatukan satu meja dengan deretan empat kursi.
Ravi tampak mengeluarkan satu bungkus rokok dan korek di meja. Ia sengaja melakukan sebagai bentuk solidaritas antar teman. “Fan, rokok ...,” tawarnya yang sudah mengambil sebatang dan menjadi kepulan asap. Seolah tidak mempunyai beban akan kehidupan.
Pria yang pernah berjanji ingin lebih menyayangi diri sendiri tersenyum, dan menjawab, “Makasih, Vi ... tapi kebetulan lagi belajar hidup sehat. Ya, udah hampir dua bulan mengurangi rokok.”
“Iya, kah? Bagus sih. Moga aja nanti aku bisa seperti kamu. Selain untuk hidup sehat, kamu juga ingin melindungi Nesha, kan? Aku tidak menyangka kisah kalian menjadi nyata dan bahagia. Yang terpenting lagi, kamu jadi lebih menjaga privasimu di dunia maya. Apa Nesha begitu istimewa untukmu? Padahal dia adalah orang yang membuat hidupmu semakin hancur,” tanya Ravi tanpa basa-basi. Sebagai teman sekaligus tetangga, ia tidak ingin melihat seorang Arfan menjadi pecundang kedua kali. Di mana rela merendahkan diri untuk satu keadaan.
Pertanyaan Ravi sukses membuat penghuni meja terdekat menoleh. Menatap dengan sorot mata yang entah. Sementara Nesha dan Arfan saling pandang. Keduanya tidak menyangka akan mendapat pertanyaan begitu pribadi, sedangkan kepulan asap yang mulai menyebar semakin menyedot setengah udara bersih dari paru-paru.
Arfan menatap pria yang mengaku tetangga sekaligus teman. Pertanyaan itu tidak salah, hanya keadaan yang tidak tepat. Dengan menarik napas dalam, ia menjawab, “Nesha memang salah satu alasan yang membuat hidupku dulu semakin hancur, tapi Nesha jugalah yang menjadi alasan terbesar untuk tidak menghancurkan diri lebih parah. Dan dia bukan hanya istimewa, tapi lebih dari itu. Bersamanya aku kembali menemukan apa arti hidup. Dan dia mengajarkan bahwa ketulusan itu ada. Karena dia tidak pergi meski tahu aku bukan pria baik.”
“Ah, iya, satu lagi ... kamu bisa tolong matikan rokokmu? Nesha tidak suka asap rokok,” imbuh Arfan tanpa lagi mempedulikan tatapan orang-orang.
Ravi tertawa dan bergegas membuang batang rokok yang masih tersisa setengah ke tanah. Lalu menginjaknya hingga padam. Sementara kedua wanita di sisi hanya bisa melihat dengan pikiran masing-masing. Nesha yang merasa terharu, dan istri Ravi merasa kagum akan sikap Arfan yang cukup berani. Dalam hati, ia ingin menjatuhkan hadiah kejutan untuk mereka.
Pelan, istri Ravi menarik ujung baju sebagai kode mendekat. “Aku ingin memberi hadiah kejutan itu untuk Arfan dan Nesha. Gimana? Kamu setuju? Kisah mereka itu berbeda. Bahkan, mereka ke sini dengan tampilan seadanya. Tidak memaksa ingin dilihat orang seperti yang lain,” bisiknya. Ravi mengangguk setuju.
Sementara Nesha tiba-tiba merasa lelah karena perih pada kaki semakin membuat tidak nyaman. Apalagi ditambah mendengar obrolan yang hampir menurunkan gerimis di sudut mata. Dengan menahan perih, ia berucap lirih, “Mas, kita pulang aja yuk?”
“Emang kenapa? Kamu marah karena pertanyaan Ravi?” tanya Arfan mencari tahu alasan wanitanya meminta pulang sebelum acara selesai.
Nesha menggeleng, “Bukan. Bukan karena itu.”
Ketika tengah mencari jawaban untuk satu alasan, suara Ravi yang menggunakan pengeras suara berhasil membungkam seluruh suara, termasuk Nesha dan Arfan.
“Selamat malam semuanya. Terima kasih atas kehadiran Teman-teman dalam acara anniversary pernikahan saya dan istri yang ke-17 tahun. Meski hidangan dan tempat seadanya, saya harap kalian menikmatinya. Langsung saja, sesuai janji, saya ingin menyampaikan siapa pasangan yang berhak mendapat hadiah kejutan. Ini murni dari penglihatan mata saya dan istri selama kalian berada dalam acara. Hadiah kejutan itu saya berikan kepada ...,” Ravi membuat jeda sejenak untuk sekadar mengambil napas. “Jatuh kepada pasangan Arfan dan Nesha ... silakan maju ke sini untuk menerima hadiah kejutan dari saya,” lanjutnya lagi yang mendapatkan tepukan tangan dari pasangan lain.
Sementara nama pasangan yang tengah membahas akan pulang atau mengikuti acara hingga selesai menjadi saling pandang. Akhirnya bukan dua hal itu yang menjadi alasan keduanya bangkit dari kursi. Melainkan untuk menerima hadiah kejutan dari pemilik acara.
Arfan mengulurkan tangannya agar bisa berjalan bersama. Akan tetapi, ketika baru akan melangkah satu rintihan dari wanitanya terdengar jelas.
“Aw ...!” Nesha merintih menahan kaki yang semakin terasa perih dan panas. Dahinya pun tampak mengeluarkan keringat.
“Sha? Kamu kenapa? Apanya yang sakit?” tanya Arfan mulai panik.
“Sakit, Mas ... kakiku,” jawab Nesha lagi sembari menggigit bibir untuk menahan hujan jatuh membasahi pipi.
Seketika Arfan mengingat sepatu yang diberikan sang ibu untuk menantunya. Di mana wajah Nesha terbaca menolak, tetapi ada rasa tidak enak.
“Dasar ngeyel! Keras kepala! Harusnya kalau tidak suka itu bilang, bukan ditahan. Untuk apa menyenangkan orang lain jika membuat kamu tidak nyaman dan malah kesakitan. Bikin aku jadi gemes!”
-----***----
Bersambung
Jangan lupa tinggalkan jejak love untuk Nesha dan Arfan. Terima kasih bijaksana. ????