CINTA KEDUA 17
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Kembali mendengar sesuatu yang tidak mengenakan hati tentang orang terdekat terkadang bisa begitu gampang membakar amarah hingga hangus terpanggang. Walaupun hal itu sebuah kebenaran di atas kesalahan, tidak seharusnya selalu menggoreng terus-menerus dan menjadikan topik hangat yang berkepanjangan. Hal itu sama saja seperti sebuah penghakiman. Padahal hanya Tuhan yang paling berhak menjatuhkan hukuman sekaligus pengampunan.
Bu Maryam menyayangkan sikap para tetangga yang asal bicara tanpa memikirkan akibatnya. Namun, sebagai mertua dari wanita yang tengah jadi bahan pembicaraan, ada keinginan untuk menegur tanpa harus menjadi seperti mereka. Apalagi ia sudah berjanji pada sang menantu untuk bisa menahan amarah.
“Sabar ... harus bisa sabar! Tahan emosi! Demi nama Nesha yang sudah terlanjur sebagai orang paling bersalah untuk pernikahan Arfan di mata orang, dan juga menjaga nama sang mantu agar tidak bertambah jelek. Padahal jika mau mengenal dekat, Nesha adalah tipe orang yang menyenangkan meski punya kehidupan sendiri, yakni menulis,” batinnya sembari menarik napas berkali-kali dan mengembuskannya pelan. Tentang keinginannya menyumpal mulut dengan cabai biarlah hanya sebagai wacana saja.
Setelah mendapat sedikit ketenangan, wanita yang selalu berusaha menjadi mertua terbaik melangkah mendekat. Bu Maryam menatap satu per satu orang-orang di depannya dan merekam dalam memori otak.
Dengan wajah setenang mungkin, Bu Maryam bertanya, “Maksudnya video apa, ya? Kok, bawa-bawa Nesha jadi orang ketiga? Maksudnya jual kisah yang seperti apa?”
Wanita berbaju biru muda itu menyerahkan ponselnya. “Bu Maryam lihat aja sendiri. Nesha terang-terangan bilang kalau bukan istri dan menantu yang baik. Dan kabar yang selama ini berembus tentang kegagalan Arfan dulu jadi semakin jelas karena kehadiran dia. Apa Bu Maryam tidak malu punya menantu yang sudah dianggap orang ketiga alias pelakor? Perebut laki orang,” tanyanya dengan suara bernada ketidakusakaan.
Bu Maryam sengaja tidak menjawab. Ia hanya memfokuskan pada video yang menurutnya cukup romantis. Meski ujungnya membuat langit-langit mata ingin menurunkan gerimis, tetapi kesimpulan mereka tentang Nesha terlanjur mengiris hati. Entah kenapa yang melintas dalam benaknya adalah saat Nesha berdiri sambil menahan sakit pada kakinya.
“Ah, coba saja kamu bilang dari awal, Sha ... pasti kamu tidak perlu mengalami situasi sulit itu," batinnya penuh sesal, lalu beralih melirik wanita yang memberikan tatapan tajam. Mungkin pikirannya memang dipenuhi aura negatif untuk Nesha—sang menantu.
Dengan ketenangan yang mulai meleburkan perasaan amarah, Bu Maryam mengembalikan ponsel wanita di depannya. Ia tidak ingin membuang tenaga lebih banyak menghadapi hal yang menambah beban jiwa. Apalagi di balik video itu ada kisah tidak biasa yang sengaja ingin berdamai bersama waktu.
“Saya tidak akan bicara banyak tentang video ini. Bahkan jika kehadiran Nesha memang kesalahan, saya tidak malu. Terserah Ibu-ibu mau ngomong apa. Saya tidak ingin menjadi orang yang ikut membuat mantu menangis. Karena saya sendiri menyaksikan kehidupannya sekarang dengan Arfan," ujar Bu Maryam yang mulai bisa mengontrol emosi. Walaupun jauh di dalam hati menyimpan debar-debar yang memanaskan d**a. “Ah, iya satu lagi ... kalau kalian menganggap mantu saya menjual kisahnya, kalian bisa baca di plat-platfrom online. Atau di komunitas aplikasi biru. Cari saja Nesha Dianti," imbuhnya lagi, lalu membayar belanjaan dan melangkah pergi.
Ia tidak lagi peduli apakah mereka bisa memahami kata platform dan komunitas yang pernah diceritakan Arfan dulu. Karena ia sendiri juga sampai saat ini tidak begitu tahu. Ia hanya tahu jika sang menantu suka menulis melalui ponsel. Entah seperti apa dan bagaimana, ia tidak begitu memahami karena batasan usia yang sudah terlanjur tua.
Sementara ibu-ibu yang membicarakan Nesha hanya saling pandang. Mereka baru pertama kali mendengar platfrom. Entah aplikasi apa, mereka saling bertatap mencari jawab.
“Kalian tahu apa yang dibilang Bu Mar tadi? Kok, saya baru dengar pe-pe—” ujar wanita berbaju biru muda yang kesulitan menirukan.
“Platfrom!” sahut wanita di sebelahnya.
“Iya itu! Maksudnya apa, ya? Masa iya Nesha menjual kisahnya di tempat lain juga? Jadi, bukan hanya video ini?” tanya wanita yang masih tidak juga mengerti.
“Ah, entah lah! Mungkin Bu Mar terlalu membela mantunya. Makanya jadi begitu. Sudah tahu salah, masih aja dibela!” timpal wanita satunya lagi.
Pemilik warung yang mendengar mulai merasa risih. Meskipun hanya bertatap muka sesekali dengan menantu Bu Maryam karena memang jarang ke warung, tetapi membicarakannya terus-menerus pun terasa keterlaluan. Karena namanya hidup tidak ada yang pernah tahu kedalamannya kecuali orang tersebut. Jujur, dalam hatinya ada kesan tersendiri pada sosok Nesha setelah melihat sikapnya pada Bu Peni beberapa hari lalu. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, tetapi tidak tahu apa.
Dengan satu tangan di pinggang, pemilik warung keluar dan menghampiri ibu-ibu yang hanya duduk-duduk manja. “Ibu-ibu, sebelumnya maaf ... kalau udah selesai belanja sebaiknya pada pulang ke rumah masing-masing. Takut obrolan kalian semakin memperkeruh keadaan. Padahal sebagai tetangga, kita tidak pernah tahu keadaan yang sebenarnya. Tapi, sudah bicara yang di luar hak kita. Semisal mantunya Bu Mar memang orang ketiga, toh, urusan mereka berdua. Ngapain jadi komentator? Yang ada malah bikin provokator. Kalian bubar gih!” ujarnya tanpa ada niat membela siapa pun. Karena memang bukan haknya ikut bicara.
“Huuuuuuu ...!” Mereka kompak bersorak untuk hal yang menurutnya lucu. Di mana masih ada orang yang membenarkan seorang Nesha.
“Ya udah. Kita pulang! Terima kasih belanjanya,” ucap salah satu wanita yang terlihat tidak suka, lalu mengajak lainnya membubarkan diri meninggalkan warung.
Pemilik warung hanya bisa menggeleng melihat kepergian mereka. Meski merasa heran, tetapi membicarakan orang memang budaya yang sulit dihilangkan dari seorang wanita. Mungkin sudah kodratnya sebagai keturunan hawa yang sekali berucap membuat bibir terbuka. Hal itu menandakan bahwa wanita memang suka bicara tanpa mau diam.
“Dasar, ibu-ibu tukang kompor. Suka banget ngomongin kejelekan orang. Padahal orang yang diomongin tidak pernah menjelekkan mereka. Hidup memang kadang tidak adil,” lirihnya, lalu kembali ke warung melanjutkan aktifitasnya.
~
Di tempat lain, Bu Maryam menahan emosi sebisa mungkin tanpa mengucapkan kata-kata umpatan atau apa pun hingga sampai ke rumah. Seperti pesan sang menantu yang melarang untuk membalas omongan orang. Karena tidak ada gunanya menyangkal kebenaran untuk sekadar alasan pembelaan.
“Nesha tidak boleh tahu tentang ini. Bisa-bisa nangis lagi seperti semalam. Ya Allah ... apa salah jika Nesha menjadi bagian dari Arfan? Kenapa kesalahan justru jatuh padanya? Padahal bukan salahnya jika dulu Arfan dan Wening gagal bertahan,” tanyanya pada diri sendiri. Namun, jawaban itu mungkin tidak akan pernah ada.
Wanita pemilik surga itu menarik napasnya dalam sebelum memasuki rumah. Ia tidak ingin Arfan dan Nesha bertanya macam-macam karena adanya perbedaan pada wajahnya. Setelah sedikit merasa tenang, tangannya kemudian membuka pintu. Akan tetapi, sang anak justru membuka terlebih dulu dari dalam.
“Ibu?!”
“Arfan?!”
Keduanya terkejut. Pandangan mata pun seakan mencari alasan satu sama lain. Bahkan, wanita yang dipanggil ibu itu melirik kanan kiri, depan belakang untuk memastikan keberadaan sang menantu.
“Ibu kenapa?” tanya Arfan penasaran.
“Nesha mana?" tanyanya masih dengan mata mencari.
“Kenapa memangnya? Tadi habis sarapan, dia mandi dan lagi nulis.”
“Syukurlah ...,” jawab sang ibu sembari mengelus dadanya. Ada ketenangan karena Nesha berada di kamar dan tidak melihat kepulangan dirinya dari warung.
“Ibu kenapa, sih? Apa terjadi sesuatu?” Arfan mencoba bertanya apa yang terjadi.
Bukannya menjawab, sang ibu malah menarik tangan anaknya untuk menjauh dari pintu rumah. Setidaknya agar suara mereka tidak terlalu terdengar hingga ke kamar.
Arfan sendiri semakin heran melihat tingkah ibunya. Seperti ada sesuatu yang terjadi. Padahal tadi sebelum ke warung masih baik-baik saja.
“Apa kamu tahu video yang lagi jadi topik hangat di aplikasi biru?" bisik sang ibu. Ia takut Nesha mendengar dan membuatnya terluka.
“Maksud Ibu video yang dari acara Ravi?” tebak Arfan sekalian memastikan.
Sang ibu mengangguk. “Kamu tahu tidak? Tadi Ibu tahu di warung. Ada gerombolan ibu-ibu yang lagi nonton. Eh, malah bilang macam-macam. Yang Nesha jadi pelakor lah, Nesha jual kisahnya lah. Kalau tadi Ibu tidak ingat pesan mantu, sudah tak cabein satu kilo itu mulut,” ujarnya dengan napas menggebu, seolah sengaja meluapkan amarah pada tempat yang benar.
Pria yang sudah tahu lebih dulu terdiam. Ia tidak tahu kalau sang ibu tenyata mengetahui lebih cepat dari perkiraannya. Tidak menutupi pula jika Nesha pun kemungkinan bisa tahu.
“Bu ... bisa tidak, kalau tentang video ini kita rahasiakan dari Nesha. Aku tidak mau dia nangis lagi kayak semalam. Karena sampai gula jadi asin, dia akan tetap menyalahkan dirinya sendiri,” pinta Arfan seakan memohon.
“Maksud kamu Nesha jangan sampai tahu? Apa mungkin? Kita hidup di kampung, Fan. Mau kabar serahasia apa pun, pasti bakal sampai ke orangnya. Contohnya seperti kemarin di warung. Mana tahu kalau Nesha bakal dengar sendiri dan ketemu Wening segala,” jelasnya tanpa menghilangkan budaya hidup di kampung. Di mana satu orang bicara, pasti akan banyak tetangga yang tahu.
“Iya juga, sih, Bu ... tapi, jika dia belum tahu, ya, kita berusaha diam. Syukur dia tidak pernah tahu,” ujar Arfan masih berharap tidak ada lagi luka yang menjadi alasan hujan menggenangi pipi wanitanya.
Tanpa mereka sadari, wanita yang baru saja berusaha baik-baik saja mendengar obrolan antara ibu dan anak itu. Niat hati ingin membuat segelas s**u, tetapi keadaan pintu rumah terbuka menarik perhatiannya.
Nesha mendekat. Telinganya mendengar tentang hal yang tidak pernah tahu. “Apa ada hal yang tidak boleh saya tahu?”
Seketika Arfan berbalik, menatap wanita yang tengah membawa gelas. Kedua mata beningnya mengurung rasa bersalah tanpa ampun. Melemparkan sisi hati pada pilihan yang tidak mudah.
“Mampus! Baru juga berharap Nesha tidak tahu, ini malah langsung tahu! Memang benar, yang namanya rahasia itu tidak bisa tersimpan lama. Mau cepat atau lambat, pasti tahu juga. Aku harus jawab apa? Aku sungguh tidak ingin lihat kamu nangis lagi, Sha ... ”
-----***-----
Bersambung
Tidak lelah meminta jejak love untuk Nesha dan Arfan. Kenes dan Danesh di Suami Online, juga Mayasha dan Lian dalam Terjerat Cinta Wanita Panggilan. Terima kasih bijaksana.