“Saya langsung pulang ya,” pamit Athaya. Dia jadi gugup sendiri akibat bibir mereka bersentuhan tak sengaja.
“Iya Pak. Iya,” Aprilia pun tak kalah gugup.
“Terima kasih telah mengantar saya.”
Athaya langsung berbalik arah menuju mobilnya. Dia segera menuju ke
Kantor. Dia manager HRD, tak baik memberi contoh buruk. Tadi dia memberitahu sekretarisnya putranya sakit dan dia harus mengurusnya tapi berjanji akan kembali.
‘Bibirnya manis, pasti belum pernah disentuh siapa pun,’ lamun Athaya sepanjang jalan menuju kantornya.
Wajah manis ibu guru Aprilia tadi membuat dia tak konsentrasi menyetir.
“Aduh bahaya ini. Aku bisa kecelakaan. Lebih-lebih saat hujan!” Athaya bergumam. Akhirnya Athaya berupaya fokus agar tidak menabrak atau ketabrak.
Sepanjang siang sampai sore wajah Aprilia terus terbayang. Athaya benar-benar tak bisa bekerja dengan benar hari ini.
“Dia sangat gagah. Selisih usia juga nggak jauh dari aku. Sayang dia sudah punya anak dan istri. Tapi enggak apa-apa sih kalau dia mau, aku pun mau. Gagah, mapan, pasti karirnya bagus. Dan dia yang mengambil keperawanan bibirku” ucap April sambil mengu-lum bibirnya sendiri.
“Ah andai bisa lebih. Bukan hanya menyentuh seperti tadi,” Aprilia terus membayangkan dia sedang melakukan ci-uman dengan Athaya. Bahkan dalam bayangannya dia melakukan hal yang lebih. Saling pagut tanpa malu, tanpa ragu. Aprilia benar-benar membayangkan itu. Padahal sebelumnya tak pernah dia menginginkan hal tersebut. Tapi sentuhan bibir Athaya tadi membuat dia menjadi sangat ingin melakukannya dengan yang sebenar-benarnya. Buksn hanya sentuhan sekilang tapi saling berbalas.
Aprilia membuka pakaian seragam juga hijabnya . Dia adalah gadis berhijab, bukan hanya karena sekolah TK tempatnya mengajar adalah yayasan muslim, tetapi juga karena memang sejak kuliah dia menggunakan hijab atas kemauan sendiri. Dia merasa aman berhijab saat kost sendirian di kota besar.
“Bagaimana kondisi Çakti saat ini?” tanya Athaya begitu tiba di rumah. Dia pulang cepat karena hari ini tak ada Zahra di rumah. Jadi dia harus menemani Çakti, terlebih saat ini putranya sedang sakit.
“Demamnya sudah sedikit turun Tuan, makannya hanya habis sedikit, setidaknya dia tidak kosong perutnya. Obat juga sudah masuk. Vitamin sudah masuk dan dia tadi sudah ngobrol dengan nyonya,” lapor Endah lengkap.
“Baguslah kalau seperti itu. Nanti malam seperti biasa dia tidur sama kamu ya. Karena nggak mungkin kan dia tidur sama saya. Kalau nanti dia rewel kamu tak bisa masuk ke kamar saya,” kata Athaya. Memang biasa seperti itu bila Zahra dinas luar. Çakti akan tidur bersama Endah. Bukan tidur di kamarnya sendiri yang ada pintu penghubung dengan kamar Athaya.
“Ya tuan. Saya mengerti kok,” jawab Endah.
‘Bagaimana kondisi Çakti malam ini?’ sebuah pesan masuk ke ponselnya dari nomor yang belum tercatat di daftar kontak Athaya.
Athaya memperhatikan profil pemilik nomor tersebut.
“Ah rupanya ibu guru cantik tadi. Aku kan memang hanya menyebut nomorku tapi tak minta nomornya” ucap Athaya pelan. Athaya men-save nomor Aprilia. Dia menuliskan nama kontak dengan GURUNYA ÇAKTI.
‘Alhamdulillah, dia sudah lumayan turun suhunya. Makannya masih belum mau. Masih lemas. Mungkin karena radang. Tenggorokannya sakit sehingga dia susah menelan,’ jawab Athaya.
‘Semoga cepat sembuh,’ balas Aprilia cepat.
‘Terima kasih atensinya Bu,’ balas Athaya.
Athaya memperhatikan profil orang yang sedang berbalas pesan dengan dirinya. Dia lihat gadis sangat cantik dan kembali dia membayangkan bibir yang dia sentuh tadi siang. Ada yang berdiri di tubuh bagian bawahnya. Meminta pelepasan.
‘Saya akan menengok besok pulang sekolah,’ tulis Aprilia.
Membaca itu tentu saja ada Athaya senang, dia berharap dapat bertemu lagi dengan gadis yang telah mampu memporak porandakan konsentrasi kerjanya.
‘Saya akan ada di rumah saat Anda tiba.’
‘Wah tidak perlu Pak. Nanti jadi merepotkan Bapak.’
‘Tidak. Itu jam makan siang. Saya bisa pulang. Dan memang harus pulang selama Çakti sakit, sedang maminya belum pulang,’ ungkap Athaya memberi alasan logis.
‘Baiklah. Sampai bertemu besok,’ Aprilia memutuskan menyudahi komunikasi mereka malam ini. Sejak sore memang dia tak sabar ingin menghubungi papinya Çakti yang belum dia ketahui namanya. Dia harus cari di buku besar siswa bila ingin cari data diri papinya Çakti itu.
“Wah kok dia mau ketemu ya? Bikin aku tambah semangat,” ucap Aprilia sambil memandang wajah tampan Athaya yang sedang duduk di meja kerjanya yang terpampang di profil foto lelaki idamannya itu.
Aprilia tahu dia salah menyukai lelaki yang telah mempunyai anak dan istri, tetapi tetap saja dia ingin mencoba merasakan cinta seorang lelaki.
“Bagaimana kondisi Çakti siang ini?”Athaya bertanya pada Endah saat dia baru saja masuk ke rumahnya siang ini. Ketika tiba di rumah dia tidak melihat ada motor lain selain motor satpam dan motor operasional rumah. Dia tentu tak mau janjian lebih lanjut. Sejak semalam tak ada komunikasi apa pun dengan gurunya Çakti. Bahkan namanya pun dia belum tahu. Mereka tak kenalan secara resmi jadi tak saling tahu namanya.
“Baik Pak. Tadi habis makan dan sekarang ada bu gurunya sedang bercerita pada Çakti di kamarnya. Mungkin sebentar lagi Çakti akan tidur,” jawab Endah yang baru saja keluar dari kamar majikan kecilnya.
“Oh ada bu guru? Mau apa dia?” tanya Athaya seakan tak tahu kalau Aprilia akan datang.
“Menengok Çakti Pak,” balas Endah. Dia langsung pamit untuk menaruh piring kotor bekas makan Çakti.
“Oke.” jawab Athaya, dia langsung masuk kamar putranya.
“Selamat siang Bu,” sapa Athaya saat membuka pintu kamar putranya. Endah mendengar itu lalu pintu ditutup oleh Athaya.
“Eh sudah pulang Pak?”
“Iya, ini jam makan siang.”
“Çakti baru saja tidur,” ucap bu Aprilia sambil mengusap kening Çakti.
“Terima kasih ya sudah menyempatkan datang,” ucap Athaya.
“Nggak apa-apa kok Pak,” kata Aprilia yang duduk di pembaringan Çakti.
Athaya pun ikut duduk di sebelahnya. Dia lihat Aprilia mengusap kening Çakti. Athaya pun ikut mengusap kening putranya sehingga tangan mereka bertumpukan.
Aprilia memandang wajah Athaya karena tangannya dipegang oleh lelaki itu.
Tanpa ragu Athaya mengusapt tangan ibu guru tersebut.
“Tangan yang lembut, selembut orangnya,” rayu Athaya.
“Bapak jangan begitu ah, nanti nggak enak sama maminya Çakti.” Aprilia mencoba menepis tangan Athaya tapi tak bisa.
“Enggak apa-apa kok cuma pegang tangan. Memangnya nggak boleh?” tanya Athaya sambil terus mengusap lembut tangan April. April merasakan sensasi yang belum pernah dia rasa sebelumnya. Bahak tangan yang dipegang, bagian bawah miliknya berkedut.
“Boleh sih Pak. Nggak apa-apa kok.” Aprilia tak ragu mengucapkan itu. Dia tak menolak apa yang Athaya lakukan, karena dia ingin membuktikan apa yang dia bayangkan kemarin sore. Dia ingin merasakan pagu-tan panas dengan pasangan. Karena belum pernah pacaran, dia merasa mumpung ada yang mau ya sikat saja.
Athaya menarik jemari Aprilia, sehingga Aprilia terjerembab jatuh kedalam pelukannya.
“Pak jangan,” bisik Aprilia, dia mencoba mencegah terjadi hal yang sebenarnya sangat dia inginkan.
Bisikan Aprilia yang terdengar seperti desah membuat Athayaa hilang kewarasan.
Athaya tak menjawab. Dia hanya memandang mata Aprilia. Aprilia membalas tatapan itu tanpa malu,, perlahan wajah Athaya semakin menunduk. Dia mengecup lembut bibir Aprilia. Tak ada balasan dari Aprilia yang memang belum berpengalaman sama sekali.
Athaya berupaya melu-mat bibir Aprilia. Tetap tak ada balasan.
“Buka mulutmu perintah Athaya lirih.
Aprilia pun membuka mulutnya dan Athaya langsung memasukkan lidahnya.
Aprilia belajar dengan cepat,, dia membalas apa yang Athaya lakukan. Bahkan tanpa ragu dia memegang kepala Athaya seakan tak ingin melepaskan lelaki tersebut. Aprilia tak ingin semua itu cepat selesai. Dia sangat menyukai apa yang baru dia rasa ini.
“Aku ingin lebih,” bisik Athaya dengan napas terengah.
“Jangan Pak. Jangan,” kata Aprilia. Antara sadar dan tidak. Dia juga tak ingin semua berkelanjutan, tapi tak ingin berhenti.
“Bahaya Pak. Ini di rumah nanti bisa ketahuan Mbak Endah atau juga ketahuan pembantu yang lain. Saya tak mau ada keributan,” kata Aprilia.
“Kalau begitu ayo kita keluar,” jawab Athaya. dia kembali mengecup bibir Aprilia sebelum dia keluar kamar lebih dulu.
“Tuan, makan siang sudah siap. Mungkin Tuan bisa makan dengan ibu guru sebelum Tuan kembali ke kantor,” ucap seorang pembantu pada Athaya yang baru keluar dari kamar Çakti dengan rambut acak-acakan.
“Iya saya memang niatnya ingin makan siang di rumah setelah melihat Çakti. Kalau memang sudah disiapkan panggil aja Bu gurunya biar nanti kami makan bersama. Habis itu saya akan kembali ke kantor,” balas Athaya sambil berjalan ke meja makan.