“Ini ada sedikit radang. Mungkin kemarin terlalu banyak teriak atau terlalu banyak makan es krim,” kata dokter yang memang sejak Çakti lahir sudah merawat anak tersebut. Zahra dan Athaya sangat memperhatikan kesehatan Çakti anak kebanggaan mereka.
“Ke mana maminya?” tanya dokter Dokter Zaenal Osmanny.
“Maminya pas dinas ke Bali, baru berangkat subuh tadi,” jawab Athaya.
“Tadi subuh belum panas Dok. Jadi saya juga nggak lapor dan kebetulan juga Çakti tidurnya sama maminya. Jadi memang berangkat sekolah juga belum panas,” kata Endah yang masuk ruang periksa. Memang hanya Endah dan Athaya yang masuk. Tadi sejak tidur di mobil tangan ibu April sudah dilepas oleh Çakti.
“Oh begitu. Jadi maminya nggak bisa ikut karena sedang dinas ya. Tapi enggak apa-apa kok. Ini biasa saja, nggak perlu dikawatirkan. Tapi jangan banyak bergerak dulu ya. Besok libur saja sekolahnya, dua atau tiga hari,” kata dokter tersebut karena melihat Çakti menggunakan seragam PAUD.
“Baik Dokter,” jawab Endah.
Tadi saat masuk ruang periksa Athaya sudah berupaya menghubungi Zahra tapi tidak bisa. Ponselnya dimatikan. Itu tandanya dia sedang meeting. Memang seperti itu kalau Zahra bekerja, dia tak mau diganggu oleh telepon.
‘Tenang saja Mi, Çakti hanya terlalu kelelahan seperti dugaan Papi tadi. Kemarin memang dia kan banyak teriak jadi ada sedikit radang di tenggorokannya. Dokter sudah kasih obat. Ini Papi sama Endah ada di rumah sakit!’ Athaya langsung mengirim pesan agar istrinya tenang bekerja.
Dan pesan tersebut hanya centang satu, artinya memang ponsel istrinya belum aktif. Athaya yakin begitu ponsel itu aktif dia akan langsung dihubungi oleh istrinya, atau bisa juga Alla langsung menghubungi Endah dan melakukan video call bila dia sudah kembali ke kantor. Untuk dirinya dan Alla, Çakti adalah fokus hidup mereka.
“Terima kasih Dokter,” kata Athaya sambil menerima resep yang diberikan oleh dokter tersebut.
“Seperti biasa ya, kalau panasnya sudah turun obatnya dihentikan saja. Kalau obat turun panas di rumah masih ada pakai yang di rumah saja tidak perlu beli baru. Saya hanya tambahkan vitamin saja,” jelas dokter Zaenal.
“Baik Dokter,” jawab Endah karena memang biasanya kalau Athaya tidak sempat menemani, Endah dan Zahra yang bawa Çakti untuk imunisasi atau periksa kesehatan.
“Maaf ya Bu jadi ngerepotin Ibu. Biar kami antar Ibu saja ke sekolah dulu baru kami bawa Çakti pulang,” ucap Athaya sehabis menebus resep yang dokter berikan.
“Tidak perlu Pak. Tidak perlu. Saya nanti dari sini saja langsung naik ojek ke sekolahan, kasihan Çakti bila harus mutar ke sekolahan dulu,” tolak bu guru Aprilia dengan sopan.
“Wah jangan dong Bu, kalau begitu Ibu ikut saja dulu ke rumah. Nanti saya antar atau nanti bisa juga sopir yang antar. Jangan naik ojek lah,” kata Athaya. Dia tak enak ibu guru putranya dibiarkan naik ojek padahal telah menemani hingga ke rumah sakit.
“Baiklah bila tidak ngerepotin,” jawab April.
“Tidak Bu. Malah kami yang merepotkan Ibu,” kata Athaya. Maka April pun ikut dulu ke rumahnya Çakti.
Sampai di rumah, Endah langsung memberikan obat turun panas yang memang sudah ada di rumah. Tidak usah beli lagi.
“Abang Çakti, Nanny bikin bubur dulu ya. Abang di sini sama Papi ya,” pamit Endah. Dia harus membuat bubur untuk Çakti, karena tadi dokter bilang harus diberi makanan lembut dulu karena radangnya membuat Çakti susah menelan. Pasti dia akan rewel untuk makan.
Zahra yang keturunan Sunda - Ambon memang menyebut anak sulungnya dengan panggilan ABANG, bukan Mas sesuai dengan keturunan Athaya.
“Enggak mau, nggak mau,” tolak Çakti sambil menggeleng.
“Sama Bu guru saja ya? Sama Miss ya?” bujuk April lembut. April membujuk Çakti.
“Miss, akan bercerita ya,” kata April. April membujuk Çakti dia menceritakan sebuah kisah sementara Athaya duduk di kursi yang memang ada di kamar Çakti tersebut. Dia bingung mau mendekat pada Çakti ada bu guru yang belum dia kenal.
Tak lama pun Çakti tidur. Mungkin karena pengaruh obat yang baru diminumnya.
“Terima kasih ya Bu, Ibu sudah membantu saya,” ucap Athaya tulus. Saat tak ada istrinya dia terbantu karena bu guru bisa mengatasi kerewelan putranya.
“Tidak apa-apa Pak. Saya nggak merasa terganggu kok. Saya jadi malah merepotkan Bapak karena nanti akan diantar sopir,” ucap Aprilia.
“Enggak usah dengan sopir. Saya saja yang antar karena saya harus kembali ke kantor,” balas Athaya.
“Saya harus langsung kembali ke kantor, jadi sekalian nganterin Ibu Guru,” jelas Athaya.
“Baik Pak.”
“Sudah bobok ya dan Çaktinya?”
“Sudah. Sudah bobok. Mungkin pengaruh obatnya,” balas bu guru.
“Alhamdulillah. Saya tadi juga sudah tinggalkan pesan di ponsel maminya karena barusan saya telepon belum bisa. Saya sudah beritahu dia Çakti tak perlu dikhawatirkan.”
“Pasti nyonya masih meeting Pak.” balas bu guru, dia beringsut pelan agar Çakti tak terganggu.
“Biasa seperti itu, nanti juga dia langsung telepon ke rumah bila tahu Çakti sudah di rumah. Saya tadi sudah tinggalkan pesan saat kita di rumah sakit, lalu begitu sampai di rumah. Saya juga kasih tahu dia Çakti sudah tidur dan saya sekarang mau berangkat ke kantor,” panjang lebar Athaya merinci apa yang dia lakukan pada istrinya.
”Endah, saya berangkat ke kantor ya. Saya sudah beritahu nyonya semua hal tentang Çakti. Kalau dia telepon kamu perjelas ya?”
“Iya Tuan saya akan jelaskan kepada nyonya apa yang dokter berikan tadi,” jawab Endah.
“Terima kasih Endah. Saya berangkat,” ucap Athaya. Siang ini Bandung mendung tebal.
“ Iya Tuan,” jawab Endah.
“Terima kasih Bu Guru sudah merepotkan,” ucap Endah saat mengantar bu guru ke depan.
“Tidak ada yang direpotkan. Tidak apa-apa,” jawab Aprilia.
“Sudah lama mengajar di TK Bu?” tanya Athaya basa basi. Tak enah bila mereka hanya diam sepanjang perjalanan.
“Cukup lama lah, tiga tahun di sini,” balas April
“Wah baru ya, baru lulus?” tanya Athaya.
“Iya, saya S1 PGTK baru tiga tahun lalu. Langsung bekerja di sini,” jawab April.
“Wow masih muda banget,” kata Athaya.
“Pasti sangat beruntung laki-laki yang mendapatkan Ibu, karena sayang anak-anak dan sabar,” ucap Athaya. Dia merasa guru TK pasti ekstra sabar.
“Aah …. Siapa yang mau sama saya gadis desa,” ujar April merendah. Dia asli dari desa Cigeunang di Bogor, kuliah di Bandung dan langsung kerja di Bandung juga jadi tak kembali ke desanya. Padahal dulu niatnya ingin mengajar di desa, memajukan desanya.
“Pasti banyak Bu. Saya yakin kok. Ibu cantik dan pintar,” kata Athaya. Dia tak sadar, sudah memuji seorang perempuan bukan istrinya. Itu hanya spontanitas saja. Tak keluar dari hatinya. Sejak dulu dia tak pernah berniat mendua.
“Bapak bisa saja ah,” jawab April yang merasa sedikit bangga dibilang cantik oleh seorang Athaya.
“Eh by the way saya besok tanyanya ke siapa ya, untuk menanya perkembangannya Çakti. Nggak mungkin kan saya tanya sama ibunya sedang saya lupa enggak punya nomornya Mbak Endah,” ucap April.
“Tanya ke nomor saya saja, enggak apa-apa,” jawab Athaya.
“Oh boleh Pak. Bisa saya catat nomornya?” pinta April.
Athaya langsung menyebutkan nomornya untuk di save April.
“Ibu enggak apa-apa sudah siang begini ke sekolah? Apa masih ada orang atau saya antar saja Ibu ke rumah? Motornya biar tinggal di sekolahan saja. Besok pagi-pagi saya jemput ibu ke rumah untuk antar ke sekolah karena kesalahan saya membuat Ibu jadi seperti ini,” ucap Athaya.
“Enggak perlu lah Pak.”
“Sudah saya antar ke rumah saja-lah. Ini sudah gerimis loh,” desak Athaya.
“Wah iya ya. Saya juga nggak bawa jas hujan lagi,” Aprilia dia lupa memasukkan jas hujan ke motornya.
“Ya sudah. Di mana rumahnya?” tanya Athaya. April pun menyebutkan nama rumahnya. Sebenarnya bukan rumah sih, hanya tempat kostnya sejak dia kuliah dulu.
Saat tiba di rumah kost April, ternyata hujan mulai deras.
“Sebentar ya Bu. ada payung kok. Saya ambilkan payung dulu,” tanpa turun Athaya mengambil payung di jok belakang mobilnya. Athaya langsung mengembangkannya di luar, dia langsung memutar mobil ke arah kursi depan untuk memayungi Aprilia.
“Wah saya jadi merepotkan ya Pak.”
“Nggak. Nggak apa-apa.”
Mereka pun berjalan dengan rapat karena hujannya cukup deras.
“Maaf!” kata Athaya yang tak sengaja bibirnya menyentuh ujung bibir Aprilia karena saat itu Aprilia kepleset dan Athaya refleks menolongnya.