PART 3 - ASRAMA

1320 Kata
Malam sudah datang sejak beberapa jam lalu. Dingin udara terus terasa di luar rumah. Untungnya, rumah sederhana milik Lina sudah tertutup rapat. Ia dan si lelaki sama-sama berada dalam rumah. Mereka sedang duduk di sofa, menghadap televisi yang menyangkan film bioskop, yang tayang berbulan-bulan lalu. Memang begitulah tayangan televisi. Beberpa film bioskop yang sudah turun layar, yang tidak ditayangkan lagi selama berbulan-bulan atau sudah satu tahun sejak penayangan di bioskop, akan di putar di televisi. Biasanya menjelang libur panjang, hari raya, ataupun ulang tahun stasiun televisi tersebut. Lina dan si lelaki tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka hanya menyalakan televisi. Mereka tidak menontonnya. “Kamu wangi deh, “ si lelaki menghirup aroma tubuh milik Lina. Ia sudah merangkul tubuh si perempuan. Si lelaki memang kerap sekali berprilaku mesra. Membuat Lina nyaman dan sering tersipu malu. Padahal mereka bukan anak remaja lagi. Namun, sensasi keromantisan tidak bisa hilang begitu saja. Lina kerap kali mendapatkan perlakukan manis dari si lelaki. Lengan atas Lina sudah dihirup oleh hidung milik si lelaki. “Senengnya endus-endus tubuhku mulu, “ cibir Lina. Meskipun sejujurnya ia senang akan hal itu. Lina senang saat si lelaki bisa berkunjung ke rumahnya. “Abisan kamu wangi, tapi aku lebih senang meluk kamu, kayak sekarang ini “ lelaki itu benar-benar memeluk Lina. Mereka sudah berganti posisi. Lebih mudah untuk saling memeluk. “Gombal, kayak Dilan aja, “ film Dilan 1990 memang yang sedang diputar di televisi. Jadi, Lina mengumpamakan si lelaki ini dengan Dilan yang penuh gombal. Begitulah tanggapan Lina. “Tapi kan kamu suka, “ si lelaki mencolek hidung Lina. Membuat pipi Lina memerah. Lina hanya memakai tangtop berwarna hitam. Ia terlihat begitu seksi dimata si lelaki. Pun lelaki itu juga bertelanjang d**a. Tubuh si lelaki masih bagus. Meskipun usianya sudah tiga puluh-an. Dengan secara alami Lina merebahkan tubuhnya di sofa. Si lelaki sudah berada di atasnya. Ciuman hangat tersalurkan dengan baik. Lelaki itu pintar sekali memainkan bibirnya. Lina benar-benar merasakan kenikmatan yang sungguh indah. Lelaki itu pandai sekali membuat wanitanya puas. Lina menikmati ciuman itu. Ia membiarkan si lelaki menikmati bibirnya. Pun sesekali Lina diberikan kesempatan untuk melakukan hal yang sama. Aroma menggairahkan sungguh terasa nyata. Lina dan si lelaki terbuai dengan suasana malam yang sungguh memabukkan. Malam di rumah milik si perempuan. Sofa adalah tempat bermuaranya ciuman yang menggairahkan. Keduanya masih asyik b******u. Lina tak kuasa memperlihatkan wajah bahagianya. Pun dengan si lelaki yang merasa puas. Yang merasa bahwa ini adalah bahagia yang sesungguhnya. Mereka benar-benar menikmati kenikmatan, yang mungkin bagi orang lain adalah kenikmatan sesaat. Bagi mereka, ini adalah sebuah rasa yang patut untuk mereka syukuri. Mereka benar-benar tidak memperdulikan hal-hal lain. Hanya fokus pada satu sama lain. Si lelaki fokus pada bibir Lina. Sesekali ia menghentikan ciuman. Lalu mengusap bibir lembut itu. Lalu membisikkan kata-kata manis yang terdengar begitu merdu di telinga Lina. Mereka benar-benar dimabuk asmara. Cinta adalah simbolisasi nafsu yang beradu dengan nyata. Cinta yang mereka punya adalah nafsu sesaat. Mereka tidak menganggap itu. Bagi mereka, ini adalah cinta yang sesungguhnya. Bagi mereka, ciuman ini adalah implementasi dari cinta yang benar-benar cinta. “Jangan tinggalin aku, “ pinta Lina kala ciuman terhenti. Lelaki itu menatap Lina dengan penuh keyakinan. Ia benar-benar menginginkan Lina. “Tidak akan pernah, “ Lelaki itu mengusap rambut milik Lina. Ia benar-benar siap melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan. Lelaki itu mulai menelusuri kembali tubuh milik si perempuan. Mereka benar-benar menikmati waktu yang berharga ini. Lina merasakan lehernya yang ikut dikecup oleh si lelaki. Apakah ini surga? Apakah yang sedang mereka lakukan adalah sebuah kebenaran? Apakah rasa cinta ini benar nyata adanya? Bisakah Lina terus bersama dengan si lelaki? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul begitu saja kala si lelaki mulai melepas ikat pinggang yang dikenakannya. Mereka sudah siap pada tahan selanjutnya. Mereka benar-benar akan melakukan itu. Bercinta adalah bahagia yang nyata, benarkan itu? Saat segalanya akan segera di mulai, ponsel milik si lelaki berbunyi. Lagi, hal ini sering terjadi. Namun, kali ini si lelaki membiarkannya dering ponsel mengeluarkan suaranya. Ia tetap melanjutkan apa yang seharusnya dilanjutkan. Lelaki itu benar-benar merasakan gairah yang tidak berkesudahan. Salahkan gairah ini? Apakah neraka akan menjadi tempat untuk pulang? *** Sekolah asrama ini terkesan menyeramkan. Banyak pohon tumbuh dengan rindang, suasananya begitu asri. Banyak bunga cantik yang sengaja ditanam untuk menambah estetika sudut-sudut sekolah. Cat putih. Gedung tinggi. Tawa anak SMA yang berlalu-lalang di koridor. Sekolah asrama yang tidak jauh beda daripada sekolah pada umumnya. Mahendra akan menjalani hari-harinya di sekolah asrama dekat ujung kota ini. Ia harus siap dengan hal-hal yang akan terjadi di hidupnya selama menjalani rutinitas menjadi murid SMA asrama. Mahendra mulai menelusuri koridor sekolah. Ini masih jam istirahat. Anak-anak banyak yang berlalu lalang. Sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Banyak yang fokus pada ponsel yang digenggamnya. Sekolah asrama ini merupakan salah satu sekolah modern di Indonesia. Tidak ada peraturan yang mengharuskan muridnya untuk tidak bermain ponsel. Bisa dibilang, sekolah ini mirip dengan sekolah internasional pada umumnya. Hanya saja, siswa dan siswi bertempat tinggal di gedung asrama yang terletak beberapa meter dari gedung-gedung kelas. Awalnya Mahendra mengira jika sekolah asrama ini hanya dikhususkan bagi murid laki-laki. Ternyata tidak. Baguslah. Mahendra tidak suka jika ditempatkan di sekolah yang khusus pria. Tidak suka saja. Mang Ujang sudah tidak mengantarnya lagi. Mahendra memasuki ruang tata usaha sendirian. Tidak ada yang mengantarnya sebagai perwakilan wali murid. Ia sendirian. Sudah terbiasa. Mama pasti sudah mengurus kepindahannya dengan sangat baik. Mahendra hanya ke ruang tata usaha untuk menandatangani berkas dan mengambil kunci asrama. Mahendra harus terbiasa berbagi kamar. Tidak ada lagi ruang privasi. Tidak ada lagi kamar pribadi yang biasa ia dekorasi sesuai dengan keinginannya. Mahendra harus berbagai kamar dengan seseorang. Untunglah asrama cukup mewah. Jadi, setiap kamar hanya diisi oleh dua orang. Lebih baik daripada berbagi kamar dengan tiga orang bahkan lebih. Mulai memasuki kamar tidurnya. Ada dua ranjang di sana. Saling bersebrangan. Dua meja belajar. Dua lemari. Berbagai perabotan lainnya yang sengaja di taruh sebagai pelengkap kamar berbagi. Dilihat dari barang sang pemilik kasur sebelah, Mahendra menyimpulkan jika anak yang berbagai kamar dengannya adalah si kutu buku. Tipikal anak yang menjadikan belajar sebagai hobi terdepan. Lihatlah, buku-buku yang berada di meja belajarnya. Di dinding dekat tempat tidur pun tertulis jadwal harian atau targetan si pembuat jadwal. Tepat sekali. Mahendra tidak salah menduga. Anak yang akan berbagai kamar dengannya, adalah lelaki rajin. Ya baguslah, semoga saja tidak ada hal-hal aneh, dan anak itu mau berbagai kamar dengannya. “Mahendra ya?” seorang lelaki dengan perawakan cukup tinggi masuk dalam kamar. Baru saja Mahendra meletakkan koper dekat ranjang kamarnya. “Iya, kamar lo disini?” Mahendra membalikan pertanyaan itu. Walapun sudah bisa ia duga. Lelaki berkacamata ini pastilah teman satu kamar dengannya. Mahendra menghampirinya. “Iya, gue Gilang, “ ia mengulurkan tangannya. Mahendra membalas jabatan tangan itu. “Mahendra,” singkat dan jelas. Mahendra merasa anak yang ada di depannya adalah orang yang cukup ramah. “Hari ini langsung masuk kelas?” Gilang bertanya kembali. Ingin mengakrabkan diri. Baginya, akrab dengan teman satu kamar itu sangat penting. “Nggak kayaknya, lagian udah istirahat juga, “ balas Mahendra sambil kembali mendekati kopernya. Ia akan menaruh barang-barang yang dibawanya ke asrama ini. “Iya sih, yaudah istirahat saja, gue duluan, “ Gilang berpamitan. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Ia harus segera masuk kelas. Mahendra mengangguk untuk membalas perkataan Gilang. Lelaki itu segera meninggalkan kamar. Mahendra kembali sibuk menata baju-baju dalam koper. Ia tidak membawa baju yang terlalu banyak. Tidak membawa barang-barang yang tidak perlu. Ia bawa yang ia butuhkan saja. Buku atau jurnal pribadinya selalu ia bawa. Ia membutuhkan jurnal itu untuk mencatat hal-hal penting yang menarik perhatiannya. Mahendra masih mematikan ponselnya. Meskipun ia sudah membereskan barang bawaannya, tetapi ponsel yang ia bawa masih saja tidak ia hidupkan. Ia tidak mau diganggu oleh mama. Pasti Mahendra akan terus di telpon. Mama akan bawal menanyakan ini dan itu perihal kepindahannya ini. Mama selalu saja berusaha mengawasi Mahendra. Ia tidak suka. Berasa sekali bahwa ia sedang di kekang. Ia ingin bebas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN