PART 4 - SEBUAH RENCANA

749 Kata
Lina masih menatap suaminya yang tertidur lelap. Semalam mereka bercinta dengan penuh gairah. Sungguh menikmati sensasi yang sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi mereka. Namun, Lina benar-benar merasa bahagia akan itu. Suaminya benar-benar sempurna. Mesikpun ia tidak selalu tinggal di rumahnya. Kadang kala hanya sekali dalam seminggu, sang suami menemuinya. “Udah pagi, ayo sarapan, “ Lina menepuk p****t suaminya yang tersembunyi dibalik selimut. Semalam mereka benar-benar tanpa buasana. Hanya dibalut selimut sebagai pelengkap rutinitas. Sang suami berbalik badan. Tubuh bagian atasnya sedikit terekspos. Cukup atletis, ditambah ia tersenyum manis. Lengkaplah sudah pemandangan indah di pagi hari yang Lina dapatkan ini. Sang suami adalah kesempurnaan yang terjadi setiap pagi seminggu sekali. “Bobo lagi?” sang suami tersenyum menggoda. Ia menarik Lina. Tepatlah perempuan itu berada dalam dekapannya. Lebih tepat terada di atas tubuhnya. Dagu milik Lina sudah tertempel pada d**a bidang sang suami. “Masih pagi udah ngegoda aja nih, “ Lelaki itu tersenyum manis. Lina memainkan jarinya. Ia menelusuri pipi sang lelaki. Berawal dari d**a, lalu ke pipi. “Emang nggak mau?” suaminya tak berhenti menggoda. Ia mengelus bahu istrinya. “Udah pagi, kamu emang nggak berangkat kerja?” Lina masih berusaha menolak. Meskipun aroma tubuh sang suami justru membuatnya ingin tetap berada di pelukannya. “Nggak papa telat dikit, “ masih saja menggoda. Lina tidak tahan lagi dengan raut manis wajah sang suaminya itu. “Udah bangun ah, aku udah masak, nanti masakannya keburu dingin, “ Lina mulai duduk di ranjang. Di sebelah sang suami. Ia tidak lagi berada di atas tubuh sang suami. “Sekali aja, “ suaminya itu memeluk Lina dari belakang. Ia membisikan kata tadi tepat di telinga sang istri. Nafas sang suami bisa ia rasakan pada kulitnya itu. Ia memang pintar membuat Lina tergoda. Suaminya benar-benar memberikan kehagatan di pagi hari. Ciuman lembut terasa di punggung Lina. Perlahan tangan sang suami mulai menyentuh lengan atas Lina. Memabukkan. Seolah mereka adalah sepasang pengantin baru. Yang masih dicandu rasanya bercinta pada pertama kali. “Kan aku ke sininya seminggu sekali, nggak papa ya nambah jatah lagi, “ bahasanya seperti anak remaja saja. Ia benar-benar membuat Lina tersenyum lucu. Benar-benar seperti anak ekcil yang menginginkan gulali. “Kamu kesini buat nagih jatah bercinta doang?” Lina mulai menyindir suaminya dengan senyuman mematikkan itu. “Ya nggak, kan urusan bercinta itu bonus dari hubungan suami istri, kan?” lagi. Suaminya itu benar-benar menggoanya. Ia menatap Lina dengan tatapan penuh candu. Ia menempelkan hidungnya pada hidung Lina. Terasa geli sekaligus membangkitkan hasrat Lina. *** Minggu. Hari yang menyenangkan. Mahendra telah menjalani beberapa hari di sekolah barunya itu. Belajar di sekolah asrama tidak jauh berbeda dengan sekolah lamanya. Ia bisa beradaptasi dengan cepat. Ia pun tidak berusaha untuk mencuri perhatian. Hanya saja, beberapa murid mulai medekatinya. Mereka menawarkan padanya sebuah perteman masa remaja yang mengasyikkan. Mahendra tidak langsung menolak. Ia menerima setiap siapa saja yang mau mengobrol dengannya. Ia tidak pilih-pilih. Ia hanya akan menjadi murid biasa. Yang tidak terlalu menonjol. Dan tentunya, tidak akan pernah berkelahi lagi. Setidaknya ia akan berusaha menahan emosi. Mahendra sudah mengikat janji dengan dirinya perihal mengontrol emosi. “Kalau hari minggu gini, anak-anak boleh keluar?” Mahendra mengajak Gilang mengobrol. Mereka sedang berada dalam kamar. Tentu saja Gilang sedang membaca sebuah komik sambil tiduran di kasurnya. Mahendra duduk di kursi belajar milik Gilang. “Boleh kok, bahkan ada yang keluar pas malam minggu begini, biar bisa lebih lama main-main di luarnya, “ Gilang menaruh buku di dadanya. Ia menganggapi ucapan Gilang, yang membuat lelaki itu heran. “Emang nggak ketahuan?” Gilang sudah menduga jika Mahendra akan mengutarakan pertanyaan yang tadi diucapkannya itu. “Nggak dong, kan ada jalan pintas terbaik buat keluar dari asrama, “ Gilang terlihat begitu yakin. Mahendra mengangguk. Ia kira Gilang tidak akan mengetahui hal-hal seperti ini, nyatanya anak serajin itu pun tahu bagaimana caranya membolos sekolah. Bagaimana caranya keluar dari asrama. Mahendra mulai tertarik dengan pembicaraan ini. Ia menginginkan membolos juga. Tentunya membolos untuk kepentingan darurat saja. Mahendra tidak akan main-main. “Tapi ya secara logika, satpam disini cukup ketat dan galak, kok bisa mereka keluar dengan mudah, “ satpam sekolah asrama ini memang terkenal tidak terlalu ramah terhadap para murid. Mahendra mengetahuinya dari obrolan beberapa teman kelas saat mengikuti pelajaran matematika. “Murid-murid disini kan lebih cerdas. Maksudnya ya mereka akan punya banyak trik biar bisa ngelakuin hal-hal yang mereka ingin lakukan, termasuk membolos, “ Gilang mulai duduk. Ia mensejajarkan posisi duduk dengan Mahendra. “Lo mau bolos?” Mahendra disodori pertanyaan yang membuatnya seketika langsung mengangguk. “Ada hal penting yang pengen gue selidiki, “ ujar Mahendra. Sepertinya Gilang mulai tertarik dengan topik yang akan dibahas teman sekamarnya ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN