PART 2 - PERNIKAHAN

1288 Kata
Pernikahan yang sempurna itu seperti apa? Apakah harus memiliki pasangan yang satu profesi? Apakah sang suami harus tajir melintir? Apakah sang istri harus memiliki sikap lemut nan penurut? Apakah harus berpacaran terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah? Hera dan Bagas adalah pasangan suami istri yang terbentuk karena perjodohan. Mereka tidak berpacaran lebih dulu. Pun hanya saling mengenal lewat kedua orang tuanya. Orang tua Hera merupakan anggota partai politik yang sudah memulai kariernya sejak lama. Bisa dibilang bahwa orang tua Hera adalah ahlinya dibidang politik. Papa Hera lah yang membuat Bagas bisa ikut serta masuk dalam partai politik tersebut. Hingga kini, Bagas menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Keduanya sepakat untuk menikah. Pernikahan yang disebabkan oleh perjodohan, ternyata tidak seburuk itu. Mereka berhasil melewati masa-masa pernikahan dengan tetap berpegang teguh pada janji suci pernikahan yang terlah mereka ikrarkan. Buktinya, Rara lahir dan menjadi pelengkap keluarga kecil tersebut. “Aku janji, akan selalu berusaha menjadi suami yang baik, “ ucap Bagas kala malam pertama, pernikahan mereka. Keduanya, sama-sama lelah habis menyambut tamu. Pernikahan mereka dilaksanakan di gedung mewah. Pun keduanya yang langsung pulang ke hotel setelah acara selesai. Mereka sudah sama-sama selesai mandi. Aroma wangi tubuh masing-masing membuat ruangan semakin nyaman untuk di hirup. Keduanya terlihat begitu segar. Riasan pada wajah Hera sudah dibersihkan. Wajahnya kembali natural. Cantik yang alami. Bagas yang memiliki kumis tipis pun terlihat begitu gagah sekaligus manis. Mereka sama-sama saling pandang. Inilah pernikahan impian keduanya. Bisa menikah dengan dihadiri oleh orang-orang yang berharga dalam hidupnya. Bisa saling pandang dengan pasangan di kamar tempat mereka akan bercinta. “Makasih sayang, aku juga akan berusaha menjadi istri yang baik, aku akan belajar masak, “ Hera tersenyum. Awal-awal pernikahan memang begitu. Hera belum pandai masak. Namun, seiring berjalannya waktu. Hera sudah pandai menyajikan sarapan terbaik untuk suami dan anaknya. “Kamu nggak nyesel kan nikah sama aku?” Bagas menanyakan hal itu. Bagas bukan dari kelaurga politik. Papa Bagas bekerja sebagai seorang dokter, sementara ibunya bekerja sebagai guru di sekolah dasar. Sedangkan keluarga Hera merupakan keluarga yang sangat disegani di lingkungannya. Bisa dibilang keluarga yang cukup kaya raya nan dermawan. “Ih nggak kali, kalau nyesel, aku batalin pernikahannya, “ Bagas tersenyum senang mendengarnya. Ia mulai duduk dekat istrinya. Tangan Bagas sudah menelusuri rambut lembut milik sang istri. Hera sedikit tersipu malu dengan perlakuan Bagas. Meraka akan menjalani rutinitas sebagai pasangan suami istri, di malam pertama ini. Bagas sudah merasakan gairah nan penuh cinta kala ia sudah berhasil memegangi pipi sang istri. Ciuman terjadi begitu saja. Terasa begitu lembut di bibir masing-masing. Bagas memulainya dengan mengecup dahi sang istri. Lalu, ciuman itu berhasil membawa keduanya tenggelam dalam gairah malam pertama yang sungguh memabukkan. Terasa begitu nikmat dan penuh syukur. Segalanya terjadi tanpa harus dijelaskan dengan diksi indah milik sang pujangga. Momen kebersamaan Bagas dan Hera, yang selanjutnya adalah milik mereka berdua. Entah gairah yang memabukan. Entah ciuman yang sangat nyaman. Entah rasa pertama yang sungguh tidak dengan mudahnya bisa didefinisikan. *** Hari pertama di sekolah baru. Perjalanan menuju sekolah berasrama itu cukup jauh. Terletak di dekat perbatasan antara Jakarta dan Provinsi Banten. Sekolah berasrama yang sangat asri. Mahendra pergi ke sekolah dengan membawa koper lengkap yang sudah disimpan dalam bagasi mobil. Ia tidak ditemani mama. Hanya sang sopir yang mengantarnya. Dalam perjalanan ini, Mahendra terus memandangi jalan raya yang selalu saja ramai. Sedikit macet yang menghambat perjalanan mereka. Mahendra tidak ingin sekolah asrama. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak. Mama sudah mendaftarkannya dengan di sekolah itu. Mama memiliki kenalan di sana. Mahendra dengan mudahnya bisa masuk, meskipun ia langsung masuk di kelas sebelas. Bukan murid baru. Papa tidak jadi marah. Sebab mama sudah menjelaskan bahwa anaknya itu akan disekolahkan di tempat yang aman. Dimana Mahendra tidak bisa dengan mudahnya membolos sekolah. Mahendra akan fokus pada sekolahnya. Agar suatu saat nanti, bisa menjadi seorang dokter hebat, sesuai keinginan mama dan papa. Lagi, Mahendra harus menurut. Ia tidak bisa membantah. Yang bisa ia lakukan adalah mengikuti saja. Biarlah ia bersekolah asrama. Setidaknya, ia akan jauh dari mama dan papa. Setidaknya Mahendra tidak akan terus menerus diceramahi oleh mama. Tidak akan dituntut ini-itu oleh papa. “Masih jauh mang?” Mahendra bertanya pada sang sopir yang duduk di sampingnya. Ia lebih suka duduk di sebelah sopir. Ia tidak mau duduk di belakang. Ia bukan raja. “Masih, Hendra mau makan dulu?” jam tangan Mahendra sudah menunjukan pukul dua belas. Mereka memang berangkat sejak pukul sepuluh. Terkena macet dan berakhir seperti ini. Sopir keluarga Mahendra itu sudah lama bekerja dengan keluarga Parasetya. Ia pun paham bahwa Mahendra tidak suka diperlakukan dengan manja. Mahendra tidak suka jika ia dipanggil Aden ataupun Tuan Muda. Bagi Mahendra, hal itu sinetron sekali. Ia ingin dipanggil biasa saja. “Boleh, Mang Ujang juga makan ya, “ Mang Ujang yang memang asli Sunda ini sering memanggil Mahendra dengan sebutan Hendra saja. *** Jakarta memang selalu ramai. Rumah Lina berada dekat perbatasan Jakarta dan Provinsi Banten. Ia akan mengunjungi kafe di dekat jalan raya yang cukup macet itu. Lina sudah mengenakan pakaian yang pas. Tidak terlalu mencolok. Pun ia masih tetap terlihat cantik, dengan rambut sebahunya itu. Lina memakai lipstik yang tidak terlalu tebal. Tidak mencolok. Tidak menor. Ia sedang menunggu seseorang di kafe bernuansa modern minimalist ini. Kafe yang nyaman dan i********:-able. Tidak terlalu ramai. Ia sengaja meminta bertemu di kafe tersebut. Lina tidak mau bertemu di Kafe dekat kantor orang yang sedang ditungguinya. Iya, orang yang sedang Lina tunggu pekerja kantoran. Ya, bisa dibilang seperti itu. Kafe memang selalu dijadikan tempat yang paling tepat untuk bertemu. Jakarta adalah rumahnya bagi kafe-kafe. Banyak sekali kafe dengan berbagai macam jenis. Ada yang menjadikan kafe adalah tempat untuk mengobrol biasa. Tempat untuk reuni. Tempat untuk menyatakan perasaan ataupun tempat untuk berkumpul biasa. Lina sudah duduk di pojok kafe tersebut. Ia juga sudah memasan capuccino yang baru saja dihirupnya. Lina suka mencium aroma kopi. Begitu kuat. Aroma yang sangat enak untuk di cium. Lalu saat ia sudah berhasil mencium aroma kopi. Cangkir kopi pun sudah ia letakkan di meja. Saat itu, orang yang sedang ditungguinya datang. Orang itu langsung mengecup dahi Lina. Membuat perempuan itu tersipu malu. Orang yang ditungguinya adalah seorang lelaki. Ia tidak memakai seragam kantoran. Ia memakai kaos biasa. Terlihat seperti anak muda. Si lelaki juga mengenakan topi hitam yang membuat tampilannya tidak mencolok. Setidaknya, pikir si lelaki. “Sudah nunggu lama ya, maaf, “ lelaki itu merasa bersalah. Ia harus berganti pakaian terlebih dahulu sebelum meneumi Lina. Mereka cukup sering bertemu di kafe ini. Mereka memang tidak setiap hari bertemu. Namun, adakalanya pertemuan yang dilakukan sesekali dalam beberapa minggu adalah jalan terbaik untuk melepas rindu. Lina benar-benar merindukan si lelaki. Ia senang karena bisa melihat wjaah lelakinya. Ia senang bisa memperlihatkan senyuman termanisnya. Sementara itu, Mahendra dan Mang Ujang juga berada di kafe yang sama dengan Lina dan lelakinya. Mereka tidak saling mengenal. Setidaknya untuk saat ini. Namun, Mahendra masih melihat ke arah dua orang itu. Seperti sedang mengamati. Mahendra sudah bisa menduga. Ia sudah menganalisa tingkah laku anatara dua orang yang terlihat mesra di sudut kafe. “Mereka pasangan selingkuhan, pasti si lelaki sudah punya anak, “ Mahendra mengucapkan itu. Sedikit berbisik pada Mang Ujang. “Hus.., jangan sembarangan, nanti di denger, “ Mang Ujang juga memperhatikan. Ia lebih baik tidak ikut berkomentar. Toh bukan urusannya. “Zaman sekarang, selingkuh seolah jadi tren ya mang, “ Mahendra tidak mau diam, ia tetap berkomentar. Ia tidak suka dengan yang namanya perselingkuhan. Ia sudah mengamati banyak hal, jadi tidak salah jika Mahendra menduga bahwa orang yang di sana sedang berselingkuh. Tempat duduk Mahendra dan Lina tidak terlalu jauh. Si perempuan itu, bisa mendengar apa yang diucapkan anak berseragam SMA itu. Ia tidak mengelak ucapan anak itu. Ia tidak mau membalasanya. Biarlah orang berkata sesuai dengan apa yang dilihatnya. Toh mereka tidak tahu betul, apa yang sebenarnya terjadi. Begitulah prinsip Lina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN